SEBUAH kota belum bernama, dewasa ini sedang dibangun di dekat
Kualatanjung (Asahan), Sumatera Utara. Untuk mencapai tempat
itu, tidak sulit. Sebuah jalan beraspal terbentang sampai ke
pintu kota yang dijaga petugas keamanan bersenjata. Pada sebilah
papan di atas gerbang, tertulis kata-kata Welcome to New Town.
Kota ini khusus dibangun untuk mereka yang terlibat dalam Proyek
Asahan.
Lepas dari gardu penjagaan, tersembul beberapa bangunan dengan
nama asing: seperti assembly hall, dormitory, junior high
school. Begitu pula pelbagai sarana kehidupan, tradisional dan
modern tersedia di sana: masjid, gereja, kolam renang, stadion
bola kaki, lapangan tennis -- juga lapangan golf sembilan
lubang. Rumah sakit tentu ada, lengkap dengan ruang operasi dan
klinik KB.
Mirip Kuil
Tidak kurang penting adalah supermarket dan tanah kuburan serta
yang disebut sewage plant. Yang disebut terakhir ini,
satu-satunya di Indonesia, kata Ir. Sugema, Kepala Otorita
Asahan di Kualatanjung -- bermanfaat sebagai alat pembersih
kotoran dan menjamin agar kota bebas polusi untuk selamanya.
Direncanakan selesai tahun 1982, tempat pemukiman yang untuk
sementara disebut New Town itu, mempunyai luas 200 ha dan
sanggup menampung 12.000 jiwa. Khusus untuk 2.100 karyawan PT
Inalum, kontraktor utama yang membangun Proyek Asahan, dibangun
berbagai tipe rumah. Areal selebihnya dimanfaatkan untuk
perumahan pegawai administrasi, pemda dan bea cukai.
Diperkirakan sekitar 1000 orang Jepang akan menempati
rumah-rumah yang corak bangunannya tampak lain. Yaitu kamar
tidurnya agak kecil, tidak seimbang dengan besar rumahnya.
"Seperti rumah di Perumnas, hanya muat satu tempat tidur saja,"
kata seorang buruh bangunan.
Ciri Jepang tampak lebih menyolok pada balai pertemuan yang
ujung-ujung atapnya lancip mencuat, mirip kuil di negeri
matahari terbit. Gedung sekolah yang bertingkat itu juga
memperlihatkan garis bangunan yang berbau Jepang. Melihat
keadaan kota ini, kekhawatiran akan merembesnya "kultur Jepang",
mulai terdengar di sana-sini.
Di Soroako, pusat proyek nikel milik PT Inco (Kanada), tidak
akan ditemukan gaya arsitektur yang khas seperti di New Town.
Tapi persentuhan langsung antara penduduk pribumi dan
unsur-unsur kehidupan Kanada yang dibawa karyawan asing Inco,
sudah tidak mungkin dihindarkan.
Sejak kota pemukiman Soroako dibaptis sebagai desa nikel pada
1964, wilayah sekitarnya ikut berkembang. Jumlah penduduk
meningkat dari 1350 menjadi 10.438 jiwa. Kaum pendatang
merupakan mayoritas. Jika dulu penduduk masih bisa bersawah dan
berladang, sekarang semua tanah sudah masuk wilayah Inco.
Mencari damar dan rotan juga sulit, karena "PT Zeds & Co
menebang kayu di hutan sini," tutur seorang pedagang damar dan
rotan, H. Ranggo. Masih untung para petani dan pencari rotan
serta damar sekarang bekerja di PT Inco atau dipenggergajian
kayu.
Dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran orang asing di Soroako
telah memperkenalkan pribumi dengan listrik, televisi (ada
stasiun bumi yang dibangun Inco), bank, klub malam, bar dan
seluk-beluk usaha pertambangan yang kesibukannya berlangsung 24
jam.
Di tempat terpencil di kaki pegunungan Verbeek itu, aneka jenis
sarana olahraga tersedia. Karyawan asing lebih banyak bermain
tennis, golf atau rugby sementara pribumi memilih bola kaki,
volley, pingpong dan bulutangkis. Di panggung Taman Segala
Bangsa (semacam gedung pertemuan), sekali waktu orang asing
mementaskan Shakespeare, kali lain mereka nonton pencak silat.
Tidak kurang penting adalah kampanye kebersihan yang pernah
membuat penduduk merasa terganggu karena orang bule tidak
segan-segan memeriksa kolong rumah mereka. Pada mulanya PT Inco
sendiri menanggulangi sampah, tidak terkecuali yang bersumber
dari rumah penduduk. Tapi usaha ini belakangan dihentikan.
Mungkin Inco kewalahan, karena ternyata penduduk masih tetap
membuang sampah seenaknya.
Kehidupan malam dan jenis hiburan yang dibutuhkan karyawan asing
(Amerikat Serikat) di proyek LNG Bontang (Kalimantan Timur)
telah menyibakkan tabir adat penduduk setempat. Tapi listrik
yang berkelap-kelip untuk 15.000 penghuni Bontang hanya
menawarkan mimpi bagi penduduk 11 desa di sekitarnya. "Padahal
kalau Pertamina mau menyalurkan penerangan ke desa kami, daya
terpasangnya cukup," keluh seorang penduduk.
Meskipun begitu, jumlah penduduk meningkat dari 27.000 (sebelum
ada proyek LNG) menjadi 34.000. Mereka adalah petani, nelayan
dan buruh. Tidak terkecuali wanita penghibur yang mengalir dari
Jawa yang diperkirakan berjumlah 350 orang.
Di Soroako hiburan bisa dicari di bioskop, klub malam atau
sebuah bordil di luar kota. Membawa wanita pribumi untuk tinggal
bersama di rumah atau dijadikan istri kontrakan oleh karyawan
asing, bukan lagi sesuatu yang aib di kawasan itu. Tarif
kontrakan bisa sampai Rp 60.000 sebulan. Meskipun begitu,
"mendapat wanita di sini susah," ucap Kim, orang Korea yang
bekerja pada Indo Marine -- sebuah perusahaan kontraktor di
sana. "Bicara dengan seorang wanita saja, pandangan orang
sekitar sudah lain," tambah Kim.
Gara-gara hiburan juga, masyarakat sekitar Kualatanjung mengeluh
diam-diam. Sejak proyek peleburan aluminium dibuka di sana,
banyak perawan kampung tertimpa musibah, hamil di luar nikah.
Pekerja PT Inalum yang dianggap berkantung tebal itu, dituding
sebagai biang keladinya. Namun sebegitu jauh tidak sampai
terjadi keributan -- sebaliknya makin banyak saja gadis
memotongkan rambutnya ke salon. Mereka pun tidak
canggung-canggung lagi bergaya dengan jeans dan baju kaus.
Dunia anak-anak adalah wadah persentuhan yang paling bersih
antara asing dan pribumi di tempat-tempat pemukiman itu.
Meskipun sekolah untuk mereka terpisah, anak-anak itu tetap saja
dapat berbaur dengan akrab. Di Soroako, mereka piknik bersama ke
Toraja. Lebih penting lagi, anak-anak Indonesia jadi lebih cepat
bisa berbahasa Inggris, sebaliknya anak asing lebih cepat
berbahasa Indonesia.
Sekolah untuk anak asing di Bontang disebut International
School. Guru-gurunya didatangkan dari luar negeri. Sekolah ini
hanya sampai tingkat SD, sedangkan National School untuk anak
pribumi sampai tingkat SMA.
Di Soroako lain lagi. Ada Singkole School dengan dua sistem
pendidikan, untuk asing dan Indonesia. Ada Soroako School untuk
anak-anak dari keluarga karyawan menengah dan bawah. Guru-guru
Indonesianya tidak kurang dari lulusan ITB, IKIP, UI dan Unhas.
Peralatan pendidikan, lengkap dan mutakhir.
Sekolah di New Town Kualatanjung, menurut Sugema berstatus
negeri, kurikulumnya ditentukan P&K. Khusus untuk anak-anak
Jepang didirikan sebuah Taman Kanak-Kanak dengan bahasa
pengantar dan kurikulum Jepang.
New Town adalah kota pemukiman terbaru, dibandingkan dengan
Bontang, Soroako, Dumai. Pelbagai sarana yang ada di kota itu
jelas lebih lengkap dan modern, jika dibanding dengan
kampung-kampung tetangganya. Hal yang sama juga bisa ditemukan
di Bontang dan Soroako. Tapi Ir. Sugema, lulusan ITB itu yakin,
kota ini tidak akan menjadi kota tertutup, seperti yang
dikhawatirkan banyak orang.
Tertutup tentu tidak, tapi kelebihan dalam sarana dan tingkat
hidup dari kampung-kampung sekitarnya jelas terlihat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini