Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Potret orang asing di tengah...

New town, pemukiman yang sedang dibangun di dekat kuala tanjung (asahan) khusus untuk karyawan pt inalum mereka yang terlibat dalam proyek asahan. corak bangunannya atau gaya arsitekturnya berbau jepang. (kt)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kota belum bernama, dewasa ini sedang dibangun di dekat Kualatanjung (Asahan), Sumatera Utara. Untuk mencapai tempat itu, tidak sulit. Sebuah jalan beraspal terbentang sampai ke pintu kota yang dijaga petugas keamanan bersenjata. Pada sebilah papan di atas gerbang, tertulis kata-kata Welcome to New Town. Kota ini khusus dibangun untuk mereka yang terlibat dalam Proyek Asahan. Lepas dari gardu penjagaan, tersembul beberapa bangunan dengan nama asing: seperti assembly hall, dormitory, junior high school. Begitu pula pelbagai sarana kehidupan, tradisional dan modern tersedia di sana: masjid, gereja, kolam renang, stadion bola kaki, lapangan tennis -- juga lapangan golf sembilan lubang. Rumah sakit tentu ada, lengkap dengan ruang operasi dan klinik KB. Mirip Kuil Tidak kurang penting adalah supermarket dan tanah kuburan serta yang disebut sewage plant. Yang disebut terakhir ini, satu-satunya di Indonesia, kata Ir. Sugema, Kepala Otorita Asahan di Kualatanjung -- bermanfaat sebagai alat pembersih kotoran dan menjamin agar kota bebas polusi untuk selamanya. Direncanakan selesai tahun 1982, tempat pemukiman yang untuk sementara disebut New Town itu, mempunyai luas 200 ha dan sanggup menampung 12.000 jiwa. Khusus untuk 2.100 karyawan PT Inalum, kontraktor utama yang membangun Proyek Asahan, dibangun berbagai tipe rumah. Areal selebihnya dimanfaatkan untuk perumahan pegawai administrasi, pemda dan bea cukai. Diperkirakan sekitar 1000 orang Jepang akan menempati rumah-rumah yang corak bangunannya tampak lain. Yaitu kamar tidurnya agak kecil, tidak seimbang dengan besar rumahnya. "Seperti rumah di Perumnas, hanya muat satu tempat tidur saja," kata seorang buruh bangunan. Ciri Jepang tampak lebih menyolok pada balai pertemuan yang ujung-ujung atapnya lancip mencuat, mirip kuil di negeri matahari terbit. Gedung sekolah yang bertingkat itu juga memperlihatkan garis bangunan yang berbau Jepang. Melihat keadaan kota ini, kekhawatiran akan merembesnya "kultur Jepang", mulai terdengar di sana-sini. Di Soroako, pusat proyek nikel milik PT Inco (Kanada), tidak akan ditemukan gaya arsitektur yang khas seperti di New Town. Tapi persentuhan langsung antara penduduk pribumi dan unsur-unsur kehidupan Kanada yang dibawa karyawan asing Inco, sudah tidak mungkin dihindarkan. Sejak kota pemukiman Soroako dibaptis sebagai desa nikel pada 1964, wilayah sekitarnya ikut berkembang. Jumlah penduduk meningkat dari 1350 menjadi 10.438 jiwa. Kaum pendatang merupakan mayoritas. Jika dulu penduduk masih bisa bersawah dan berladang, sekarang semua tanah sudah masuk wilayah Inco. Mencari damar dan rotan juga sulit, karena "PT Zeds & Co menebang kayu di hutan sini," tutur seorang pedagang damar dan rotan, H. Ranggo. Masih untung para petani dan pencari rotan serta damar sekarang bekerja di PT Inco atau dipenggergajian kayu. Dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran orang asing di Soroako telah memperkenalkan pribumi dengan listrik, televisi (ada stasiun bumi yang dibangun Inco), bank, klub malam, bar dan seluk-beluk usaha pertambangan yang kesibukannya berlangsung 24 jam. Di tempat terpencil di kaki pegunungan Verbeek itu, aneka jenis sarana olahraga tersedia. Karyawan asing lebih banyak bermain tennis, golf atau rugby sementara pribumi memilih bola kaki, volley, pingpong dan bulutangkis. Di panggung Taman Segala Bangsa (semacam gedung pertemuan), sekali waktu orang asing mementaskan Shakespeare, kali lain mereka nonton pencak silat. Tidak kurang penting adalah kampanye kebersihan yang pernah membuat penduduk merasa terganggu karena orang bule tidak segan-segan memeriksa kolong rumah mereka. Pada mulanya PT Inco sendiri menanggulangi sampah, tidak terkecuali yang bersumber dari rumah penduduk. Tapi usaha ini belakangan dihentikan. Mungkin Inco kewalahan, karena ternyata penduduk masih tetap membuang sampah seenaknya. Kehidupan malam dan jenis hiburan yang dibutuhkan karyawan asing (Amerikat Serikat) di proyek LNG Bontang (Kalimantan Timur) telah menyibakkan tabir adat penduduk setempat. Tapi listrik yang berkelap-kelip untuk 15.000 penghuni Bontang hanya menawarkan mimpi bagi penduduk 11 desa di sekitarnya. "Padahal kalau Pertamina mau menyalurkan penerangan ke desa kami, daya terpasangnya cukup," keluh seorang penduduk. Meskipun begitu, jumlah penduduk meningkat dari 27.000 (sebelum ada proyek LNG) menjadi 34.000. Mereka adalah petani, nelayan dan buruh. Tidak terkecuali wanita penghibur yang mengalir dari Jawa yang diperkirakan berjumlah 350 orang. Di Soroako hiburan bisa dicari di bioskop, klub malam atau sebuah bordil di luar kota. Membawa wanita pribumi untuk tinggal bersama di rumah atau dijadikan istri kontrakan oleh karyawan asing, bukan lagi sesuatu yang aib di kawasan itu. Tarif kontrakan bisa sampai Rp 60.000 sebulan. Meskipun begitu, "mendapat wanita di sini susah," ucap Kim, orang Korea yang bekerja pada Indo Marine -- sebuah perusahaan kontraktor di sana. "Bicara dengan seorang wanita saja, pandangan orang sekitar sudah lain," tambah Kim. Gara-gara hiburan juga, masyarakat sekitar Kualatanjung mengeluh diam-diam. Sejak proyek peleburan aluminium dibuka di sana, banyak perawan kampung tertimpa musibah, hamil di luar nikah. Pekerja PT Inalum yang dianggap berkantung tebal itu, dituding sebagai biang keladinya. Namun sebegitu jauh tidak sampai terjadi keributan -- sebaliknya makin banyak saja gadis memotongkan rambutnya ke salon. Mereka pun tidak canggung-canggung lagi bergaya dengan jeans dan baju kaus. Dunia anak-anak adalah wadah persentuhan yang paling bersih antara asing dan pribumi di tempat-tempat pemukiman itu. Meskipun sekolah untuk mereka terpisah, anak-anak itu tetap saja dapat berbaur dengan akrab. Di Soroako, mereka piknik bersama ke Toraja. Lebih penting lagi, anak-anak Indonesia jadi lebih cepat bisa berbahasa Inggris, sebaliknya anak asing lebih cepat berbahasa Indonesia. Sekolah untuk anak asing di Bontang disebut International School. Guru-gurunya didatangkan dari luar negeri. Sekolah ini hanya sampai tingkat SD, sedangkan National School untuk anak pribumi sampai tingkat SMA. Di Soroako lain lagi. Ada Singkole School dengan dua sistem pendidikan, untuk asing dan Indonesia. Ada Soroako School untuk anak-anak dari keluarga karyawan menengah dan bawah. Guru-guru Indonesianya tidak kurang dari lulusan ITB, IKIP, UI dan Unhas. Peralatan pendidikan, lengkap dan mutakhir. Sekolah di New Town Kualatanjung, menurut Sugema berstatus negeri, kurikulumnya ditentukan P&K. Khusus untuk anak-anak Jepang didirikan sebuah Taman Kanak-Kanak dengan bahasa pengantar dan kurikulum Jepang. New Town adalah kota pemukiman terbaru, dibandingkan dengan Bontang, Soroako, Dumai. Pelbagai sarana yang ada di kota itu jelas lebih lengkap dan modern, jika dibanding dengan kampung-kampung tetangganya. Hal yang sama juga bisa ditemukan di Bontang dan Soroako. Tapi Ir. Sugema, lulusan ITB itu yakin, kota ini tidak akan menjadi kota tertutup, seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Tertutup tentu tidak, tapi kelebihan dalam sarana dan tingkat hidup dari kampung-kampung sekitarnya jelas terlihat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus