Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Peningkatan Efisiensi Operasi dan Distribusi di Pertamina

PADA Tempo edisi 25 November-1 Desember 2019, di bagian Inforial halaman 16-17 terdapat informasi “Pertamina Membangun Infrastruktur Energi demi Ketersediaan & Keandalan Distribusi Energi”.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat - MBM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalamnya disajikan beberapa poin penting terkait dengan judul tersebut, antara lain Infrastruktur Energi, Tingkatkan Kapasitas; Dukung Infrastruktur Hilir, Kilang Tingkatkan Produksi; dan Tetap Melayani dalam Bencana.

Disampaikan dalam suatu alinea bahwa secara berkala Pertamina melakukan evaluasi terhadap pola suplai dan menjalankan inisiatif yang bersifat quick win. Biasanya, inisiatif ini membutuhkan infrastruktur baru yang signifikan dan dapat dilakukan dengan memodifikasi proses bisnis atau sarana fasilitas yang ada. Misalnya optimalisasi pola suplai di Terminal Bahan Bakar Minyak Panjang dan Terminal BBM Tanjung Gerem.

Pertamina melakukan pembenahan supply chain dengan meningkatkan utilitas kapal dan mengurangi integrated port time atau waktu idle kapal tanpa operasi. Dari inisiatif quick win yang dilakukan pada 2019, Pertamina bisa menghasilkan efisiensi yang terus meningkat, jika berbagai pembangunan sarana dan prasarana di seluruh Tanah Air telah beroperasi.

Sebenarnya yang menarik bukan pembangunan infrastrukturnya, melainkan informasi bagaimana teknik dan metode yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi tersebut. Selanjutnya, jika memang terjadi peningkatan efisiensi, tampilkan pengukurannya dalam bentuk satuan unit, waktu, dan jumlah beban (expense) yang bisa dihemat.

Renẽ Johannes

Jakarta Pusat

 


 

Soal Badan Otorita Labuan Bajo

KEHADIRAN Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOP-LBF) dalam rangka mempercepat pembangunan pariwisata di daerah itu menuai kontroversi. Yang terbaru, masyarakat Kota Labuan Bajo secara khusus dan publik luas di Flores menolak penguasaan lahan seluas 400 hektare oleh pihak BOP-LBF untuk apa yang disebut dengan pembangunan kawasan pariwisata Labuan Bajo-Flores.

Penolakan masyarakat kian intens menyusul dikeluarkannya sebuah dokumen yang berisi pengumuman studi analisis mengenai dampak lingkungan atas pemanfaatan lahan tersebut pada 4 November 2019 oleh BOP-LBF. Melalui dokumen itu, publik setempat mendapat informasi bahwa lahan seluas 400 hektare tersebut tersebar di sekitar Kota Labuan Bajo, yaitu di Desa Golo Bilas, Nggorang, Gorontalo, dan  Wae Kelambu. Sementara itu, di atas lahan yang luas tersebut BOP-LBF berencana membangun visitor center, agritourism park, sunset bar, cultural performance park, culinary and farmer market, treetop adventure park, zipline adventure, hilltop dining, forest ecolodge, forest school, forest trail, forest pavilion, visual landmark, local public amenity, dan tourism supporting facilities.

Masyarakat menilai penguasaan lahan bukan strategi yang tepat dalam rangka mempercepat pembangunan pariwisata di daerah itu. Setidaknya ada tiga poin penting yang melatari penolakan masyarakat. Pertama, pemanfaatan lahan akan sangat berdampak buruk dari sisi lingkungan.

Kedua, masyarakat mempertanyakan urgensi pemanfaatan lahan. Dalam sosialisasi rencana kerja BOP-LBF di Labuan Bajo pada 29 Juli 2019, di hadapan peserta rapat BOP-LBF berkukuh mempertahankan pentingnya penguasaan lahan seluas 400 hektare untuk apa yang disebut dengan pengembangan model bisnis pariwisata. Sedangkan menurut publik setempat, jika benar-benar bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, BOP-LBF mesti mengembangkan model bisnis pariwisata yang lebih melibatkan aktor setempat.

Ketiga, warga setempat ragu akan keterlibatan mereka dalam model pengembangan bisnis pariwisata yang ditawarkan BOP-LBF di lahan seluas 400 hektare tersebut. Keraguan mereka bukan tanpa dasar. Kendati ada peluang keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan lahan, bentuk keterlibatan itu dirumuskan dengan begitu minimal. Pasal 26 Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2018 merumuskan, atas lahan seluas 400 hektare itu, masyarakat dapat berpartisipasi dengan penyertaan modal. Keadaan yang serba terbatas dalam banyak segi tentu membuat masyarakat setempat kalah bersaing dengan para investor.

Dari model pengembangan model bisnis pariwisata semacam itu, publik setempat kian menaruh curiga BOP-LBF memperparah fenomena land grabbing yang terjadi di Labuan Bajo hari-hari ini. Alih-alih mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat setempat, BOP-LBF ditakutkan hanya akan menjadi corong atau jembatan bagi oligarki untuk dapat menguasai dan mendapat akses serta manfaat atas tanah, air, laut, pesisir, pantai, dan pulau-pulau di sekitar Kota Labuan Bajo.

 

Venansius Haryanto

Labuan Bajo, Flores Barat, Nusa Tenggara Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus