Memoar tentang Profesor Ali Hasjmy pada TEMPO, 26 Januari 1991, pada umumnya sudah betul, sekalipun di sana-sini ada kesilapan kecil yang tak mengganggu. Hanya dalam tulisan yang termaktub dalam halaman 64-65 terdapat kesilapan yang mengganggu pengertian yang hakiki. Untuk membetulkan kesilapan, perlu saya jelaskan sebagai berikut: Setelah saya (A. Hasjmy) dilantik menjadi Gubernur Aceh pada 27 Januari 1957, saya dengan perantara seorang "DI Kota" mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh DI untuk bertemu. Tak lama kemudian, dalam Ramadan (April 1957), setelah berbuka puasa, kami (A. Hasjmy, Muhammad Isya, Kepala Polisi Sumatera Utara/Aceh, dan Teungku Abdulwahab Seulimeun, guru A. Hasjmy) pergi dengan sedan tua ke Kampung Lamteh, 7 km dari Banda Aceh. Pada waktu itu, Panglima Syamaun Gaharu tak ikut. Di Lamteh, bertempat di rumah Pawang Lemang -- seorang DI terkemuka -- kami berjumpa dengan beberapa tokoh DI, di antaranya Hasan Ali (Perdana Menteri Darul Islam), Ishak Amin (Bupati Darul Islam Aceh Besar), Ibrahim Saleh, Komandan Resimen DI. Beberapa hari kemudian, Panglima Syamaun Gaharu bersama staf Kodam yang penting datang ke Lamteh pada malam hari. Waktu itu saya tidak ikut karena ke Jakarta, melaporkan hasil pertemuan Lamteh I kepada Perdana Menteri Juanda, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Setelah dua pertemuan Lamteh itu, pada Mei 1957, tanpa pengawal kami pergi ke Mardlatilla, Markas Besar DI di tengah rimba, untuk menjumpai Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pertemuan Lamteh dan Mardlatillah ini dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lain dan sebagai puncaknya adalah pada 1959, pemerintah pusat mengirim sebuah misi ke Aceh untuk bermusyawarah dengan pimpinan Darul Islam. Misi ini dikenal dengan misi Hardi. Hasilnya, kepada Aceh diberikan Daerah Istimewa, dan Darul Islam kembali ke pangkuan Republik Indonesia. A. HASJMY Ketua Umum Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh Banda Aceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini