Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harimau dibedil karena menerkam tiga orang hingga tewas
Penduduk tewas lantaran membunuh anak harimau membuat sang induk ngamuk
harimau mengganas antara lain karena habitatnya terganggu oleh penebangan hutan.
TIGA harimau Sumatera mati terkena jerat kawat baja di kawasan ekosistem Leuseur, Aceh Selatan, akhir Agustus lalu. Kasus itu menambah panjang daftar kematian satwa langka bernama latin Panthera tigris sumatrae tersebut karena dijerat. Tahun lalu kasus serupa terjadi di area konsesi perusahaan hutan tanaman industri di Riau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perburuan memakai jerat membuat populasi harimau Sumatera kian mengkhawatirkan seiring dengan menyempitnya habitat satwa itu karena konversi hutan menjadi perkebunan. Persoalan itu ada sejak era Soeharto. Artikel majalah Tempo edisi 7 Oktober 1989 berjudul "Aumnya Terdengar Memilukan" mengulas kematian harimau Sumatera yang diburu karena memakan orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sunyi kini menguasai Desa Teluk Panjie dan sekitarnya. "Karyawan kami sekarang hanya berani bekerja hingga pukul 2 siang,” tutur Ansari, Kepala Hubungan Masyarakat PT Supra Matra Abadi (SMA), sebuah perusahaan yang mempersiapkan lahan perkebunan di kawasan Kabupaten Labuhan Batu, 480 kilometer dari Medan.
Pada malam hari, sepi makin merajalela. Apalagi di gelap malam itu suara auman harimau, yang terdengar mengiba-iba, sering mengiris suasana. Sang raja rimba tersebut seakan tengah dilanda duka. “Suara aumannya terdengar memilukan,” ujar Abdul Wahab Harahap, pawang harimau yang ikut menjaga desa sepi di Kecamatan Kampung Rakyat, Labuhan Batu, itu.
Hewan buas itu, hingga pekan lalu, masih berkeliaran di sekitar Teluk Panjie. Wahab berhasil melacak jejak kaki hewan itu di kebun karet milik penduduk. Di situ tampak jejak kaki besar dan kecil, sang induk dan seekor anaknya. “Mereka masih terus mencari-cari,” ucap Wahab.
Penduduk Desa Teluk Panjie percaya sang induk harimau masih terus mencari seekor anaknya yang lain yang tewas dibunuh beramai-ramai oleh sekelompok orang. Kisahnya bermula pada 5 September lalu. Hari itu, tujuh buruh PT Abdi Budi Mulya yang bekerja di hutan tersebut menemukan seekor anak harimau yang pingsan tersambar pucuk pohon yang baru dirobohkan dengan gergaji mesin.
Seperti mendapat durian runtuh, para buruh yang dipimpin oleh Slamet itu segera menangkap anak harimau tersebut, membawanya pulang ke kamp kemudian disembelih dan digoreng. Rupanya sang induk mencari-cari anaknya itu. Malam harinya, begitu menurut cerita yang beredar, induk harimau itu mendatangi rumah panggung di tepi hutan tempat para pekerja tersebut menginap.
Adlin yang terbangun dan keluar pondok langsung diserang. Untung kawan-kawannya turun dengan golok dan pentungan sehingga membuat sang macan kabur. Empat hari kemudian, Ojaan Situmorang, 50 tahun, buruh PT ABM, ditemukan tewas. Dua hari setelah itu, PT SMA melapor ke polisi bahwa dua buruhnya, Untung, 20 tahun, dan Yusuf, 40 tahun, hilang. Ternyata, kedua orang itu tewas oleh terkaman raja hutan.
Para pengusaha meminta agar pemerintah daerah setempat turun tangan. Maka, 18 September lalu, Musyawarah Pimpinan Daerah Labuhan Batu pun berembuk. Keputusannya: harimau itu mesti ditembak mati. Soal dia satwa langka? “Apa boleh buat, korban jiwa telah berjatuhan,” ujar seorang pejabat pemerintah daerah yang enggan disebut namanya.
Tim buru sergap yang terdiri atas 15 polisi dan tentara pun dibentuk. Kambing-kambing umpan dipasang di beberapa tempat. Pada 25 September lalu, seorang buruh melihat seekor harimau sedang mencoba membebaskan diri dari sebuah jerat. Petugas satuan pengamanan PT Asam Jawa yang segera datang langsung memberondongkan peluru.
Setelah bangkainya diamati, ternyata sebelah kaki depan si macan jantan itu lumpuh oleh jerat kawat. Setiba di pos PT SMA, ternyata massa menyerbu dan mencincang bangkai itu kemudian memakannya mentah-mentah. Samidi, ayah Untung yang tewas dibunuh harimau, bahkan memasak tulang harimau itu menjadi sop. “Wong anakku dimakannya, dia pun kumakanlah,” kata Samidi.
Napitupulu, Kepala Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, menyesalkan penembakan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang langka itu. “Populasinya kini paling tinggal satu-dua ekor,” ujarnya, masygul. Menurut Napitupulu, harimau mengganas antara lain karena habitatnya terganggu oleh penebangan hutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo