Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar adalah hasil pelemahan KPK.
Etika adalah jantung KPK.
Seharusnya Lili Pintauli Siregar mundur.
JIKA diletakkan dalam rangkaian peristiwa pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, penanganan kasus yang melibatkan komisioner Lili Pintauli Siregar tidaklah mengejutkan. Diketahui menemui tersangka koruptor, oleh Dewan Pengawas Komisi Lili cuma dihukum potong gaji ala kadarnya. Kepolisian tak menggubris ketika Indonesia Corruption Watch melaporkan dia ke polisi. Betapapun hal itu mengecewakan, kita tidak perlu terkejut: KPK memang sudah rusak dan yang terjadi dengan Lili cuma ekor persoalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lili melakukan pelanggaran berat: berkomunikasi dengan tersangka koruptor Muhammad Syahrial, Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara. Dia bertemu dengan Syahrial di pesawat dan menjalin komunikasi setelahnya. Dia meminta Syahrial membantu urusan seorang kolega di pemerintahan dan mengarahkan untuk memilih pengacara yang ia kenal. Menyatakan Lili bersalah, Dewan Pengawas hanya memotong Rp 1,8 juta dari Rp 107 juta total pendapatannya sebagai pemimpin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pengawas punya hak untuk meminta Lili mengundurkan diri. Mengacu pada Pasal 36 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Lili bahkan layak dipidana. Aturan itu jelas melarang pimpinan KPK berhubungan dengan tersangka. Pasal 65 menetapkan ancaman hingga lima tahun penjara.
Asal muasalnya tentulah revisi Undang-Undang KPK pada Oktober 2019. Presiden beranggapan sepak terjang KPK selama ini telah membuat banyak pejabat tidak berani mengambil keputusan. Sepanjang sejarahnya, KPK memang telah meringkus 12 menteri, 152 kepala daerah, 2 polisi, 10 jaksa, serta 281 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Segendang sepenarian, DPR ekstracepat memproses rancangan revisi. Pemerintah menutup telinga terhadap demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang memprotes pelemahan KPK.
Revisi Undang-Undang KPK menyuntikkan racun tepat di jantung Komisi. Pegawai KPK yang tadinya independen dijadikan pegawai negeri di bawah kendali pemerintah—sesuatu yang belakangan membuat sejumlah penyidik dipecat karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan.
Sejumlah kewenangan yang memungkinkan lembaga ini bergerak cepat dan tangkas dipotong. Penyadapan dan operasi tangkap tangan kini membutuhkan izin berlapis. Ditambah terpilihnya pimpinan beretika rendah plus Dewan Pengawas yang lemah, sempurnalah pelemahan KPK itu. Akibatnya langsung terlihat. Sementara sepanjang 2019 Komisi menangani 718 kasus korupsi, tahun lalu hanya 477. Indeks Persepsi Korupsi kita pun memburuk: dari skor 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020. Kompetensi dan kapasitas yang dibangun susah payah lenyap tiba-tiba.
Saat mengumumkan hukuman bagi Lili, Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean berharap putusan itu menjadi pengingat bagi pegawai KPK lain. Entah apa yang hendak ia ingatkan: terhadap Lili, ia memberi hukuman ringan, tapi terhadap 57 karyawan yang terbukti memberantas korupsi, KPK malah main pecat.
Meratapi kehancuran KPK kini tak ada gunanya. Persekongkolan jahat pemerintah, DPR, dan para komisioner telah membuat Komisi masuk selokan. Perjuangan pemberantasan korupsi membutuhkan napas panjang. KPK hari-hari ini harus dipotretkan sebagai si lancung layaknya aparat penegak hukum lain. Hanya reformasi politik yang bisa membuat KPK kembali kuat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo