Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi tengah menggodok calon Panglima TNI baru.
Sejumlah menteri dan elite partai politik ikut cawe-cawe.
Jenderal Andhika Perkasa bersaing dengan Laksamana Yudo Margono.
PEMILIHAN Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini menyerupai kontestasi politik. Kandidat pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto menempuh cara-cara tak lazim, seperti membentuk tim pemenangan, melobi kanan-kiri, juga menggunakan jasa pemengaruh buat mengangkat namanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka yang memiliki kans dicalonkan pun mencari perhatian publik. Jalan politik menuju Presiden Joko Widodo, yang akan mengajukan calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan. Layaknya persaingan politik, muncul kelompok-kelompok pendukung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hadi Tjahjanto yang menduduki kursi Cilangkap-1 sejak Desember 2017 akan pensiun pada November nanti. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, jabatan Panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari setiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat kepala staf angkatan. Presiden mengusulkan satu calon untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ada tiga perwira tinggi yang memenuhi syarat menjadi Panglima TNI. Jika jabatan itu diisi bergiliran dari setiap angkatan, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo tidak masuk hitungan. Maka semua mata tertuju pada Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa.
Kabar bahwa Yudo bakal diajukan sebagai calon Panglima TNI bertiup sejak enam bulan lalu. Memiliki sisa masa tugas dua tahun, alumnus Akademi Bersenjata Republik Indonesia 1988 itu mengantongi “keunggulan” pada sistem pergiliran. Karena Panglima sebelum Hadi berasal dari Angkatan Darat—Jenderal Gatot Nurmantyo—giliran berikutnya merupakan Angkatan Laut.
Andika Perkasa, lulusan Akademi Militer 1987, memiliki keunggulan dalam hal lain, yakni kedekatan hubungannya dengan Jokowi. Ia pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden. Menantu mantan Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, itu hanya memiliki sisa masa tugas setahun.
Ketika ujung karier Hadi makin dekat, belum ada tanda-tanda Presiden bakal menyerahkan calon Panglima kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Situasi ini memunculkan perkubuan di lingkup internal tentara. Tak mengherankan bila muncul spekulasi di balik tarik-ulur ini: Presiden memiliki calon lain demi mengamankan jalan politiknya. Kemungkinan ini memerlukan pergeseran jabatan, terutama jabatan kepala staf angkatan sebagai syarat menjadi calon Panglima.
Perebutan pengaruh dari lingkaran Presiden tak terelakkan. Beberapa menteri dan elite partai politik pendukung pemerintah disebut-sebut mendesak Presiden agar memilih calon yang mereka dukung. Sebagai kepala negara dan pemerintahan, Jokowi semestinya tidak perlu memenuhi tekanan politik itu. Pergantian Panglima TNI sepatutnya hanya menjadi rutinitas organisasi tanpa ingar-bingar politik.
Perwira tinggi yang memiliki peluang dicalonkan seharusnya juga tidak melakukan gerakan-gerakan politik. Tak perlulah menggalang dukungan sana-sini, yang lazimnya juga dibarengi kesepakatan bawah tangan pada urusan lain, semacam penganggaran. Selain tidak etis, kegiatan semacam itu akan merugikan institusi tentara baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Jokowi sebenarnya punya modal untuk menentukan pengisi jabatan Panglima TNI sesuai dengan kebutuhan zaman. Ia tak perlu terbebani dengan tuntutan politik. Menjalani periode kedua pemerintahan, ia pun menguasai dukungan dari mayoritas partai politik di Senayan. Walhasil, calon yang diajukan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan TNI secara ideal pada tahun-tahun ke depan.
Presiden harus menyingkirkan hitung-hitungan politik dalam penentuan pengganti Hadi. Dalam hal ini, ia tak perlu memberikan tempat sebagai “kompensasi” kepada perwira tinggi yang tak dicalonkan. Santer terdengar kabar, ia menyediakan kursi menteri atau kepala badan intelijen untuk keperluan itu. Jika benar, manuver semacam itu bisa menarik lebih dalam tentara kembali ke politik, seperti pada masa lalu.
Hitung-hitungan nonteknis-profesional dalam penentuan calon Panglima TNI juga menunjukkan tentara masih menjadi faktor penting dalam politik kita. Dalam negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil, tentara merupakan alat pertahanan negara. Konstitusi menegaskan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi bangsa. Undang-undang mengatur fungsi tentara adalah menjalankan operasi militer untuk perang dan selain perang yang didasari keputusan politik negara.
Tidak sepatutnya ada ruang politik praktis dalam pemilihan Panglima TNI, kecuali bagi mereka yang menginginkan tentara kembali menjadi penopang kekuasaan absolut penguasa layaknya 32 tahun era Orde Baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo