Dari ''Angku Kaciak'' Ahmad Syafii Maarif (TEMPO, 25 Juni, Kolom) ada beberapa kesimpulan yang saya peroleh: 1. Sekarang ini, terutama di Sumpur Kudus, hampir tak ada lagi yang percaya pada cerita seperti Angku Kaciak itu, antara lain, karena masyarakatnya sudah berpendidikan. 2. Ukuran terpuji dan tercelanya seorang muslim sepenuhnya bergantung pada kenyataan, apakah sikap dasar perilakunya masih berada dalam bingkai syariat atau sudah keluar dari bingkai tersebut. Bila sudah keluar, sekalipun dipercayai sebagai seorang wali, orang itu pantas dimasukkan dalam kategori wali setan. 3. Pengagungan pada manusia seperti Angku Kaciak mestinya sudah dihilangkan karena hal itu melumpuhkan dan mencemarkan daya kritis rakyat. Saya ingin bertanya kepada Ahmad Syafii Maarif: 1. Apakah cerita seperti Angku Kaciak itu bisa timbul lagi pada zaman sekarang? 2. Apakah yang dimaksud dengan ''bingkai syariat'' itu adalah Quran dan hadis? Ataukah ''paham tertentu''? Lalu, bila pahamnya berbeda dengan paham tertentu itu, apakah ulama akan dicap sebagai wali setan walaupun bingkainya Quran dan hadis? 3. Apakah ajaran Islam dapat ditanggapi dengan logis, kritis, dan skeptis? Misalnya, untuk hadis Nabi: ''Aku menjenguk ke surga dan aku melihat kebanyakan penghuninya orang-orang fakir (miskin). Lalu aku menjenguk ke neraka dan melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita'' (Bukhari dan Muslim). Juga hadis: ''Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran'' (Athabrani). Dan hadis lainnya: ''Tidak akan sukses suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin'' (Attarmidzi). Yang dari Quran: ''Katakan! Segalanya berasal dari Allah'' (Annisa: 78). Juga: ''Dan apa saja yang menimpamu dalam bentuk keburukan, akuilah itu dari dirimu sendiri'' (Annisa: 79). 4. Bagaimana, secara logika, belajar agama dengan orang yang sangat menguasai agama secara ilmiah objektif tapi tak meyakini atau mempercayai agama itu? Ini sesuai dengan pernyataan Anda pada akhir tulisan, ''Ataukah memang para wali ini hanyalah muncul di kalangan orang yang belum bertauhid secara benar, dan beragama berdasarkan subjektivitas yang penuh angan-angan.'' HARUN UTUH Jalan Brigjen H. Hasan Basry 18 RT 14, Alalak Utara Banjarmasin 70125
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini