BERITA yang cukup ramai pekan lalu datang dari dunia kesenian, tumben: tentang kerja sama antara majalah sastra Horison dan penerbit Majalah TEMPO. Semula adalah rencana bantuan penerbit TEMPO untuk menggairahkan kembali hidup majalah sastra yang sudah berumur 27 tahun itu. Dalam beberapa tahun terakhir, majalah ini meng- alami krisis dana. Juga, semakin tidak diperhatikan orang. Isinya semakin kurang bergairah karena tulisan-tulisan yang menarik diterbitkan di tempat lain. Kemudian, dipimpin oleh Mochtar Lubis dan Hamsad Rangkuti, pamornya yang dulu ada di tahun 1970-an pudar. Tirasnya terakhir cuma 2.500. Karena itulah akhir tahun lalu Yayasan Indonesia, penerbit Horison, berapat. Diputuskan untuk mencari dana dari luar termasuk, antara lain, akan mencoba meminta uang dari Yayasan yang mengelola lotre SDSB. Tapi ada jalan yang lebih dekat: menghubungi penerbit Majalah TEMPO. Sastrawan Ali Audah-lah, salah seorang anggota, yang mengusahakan adanya kerja sama itu. Maka terjadilah pertemuan antara pihak Yayasan Indonesia (diwakili oleh Ali Audah, Hamsad Rangkuti, Pemimpin Redaksi Horison, dan Mochtar Lubis, Pemimpin Umum dan Ketua Yayasan) dan pihak TEMPO (diwakili oleh Goenawan Mohamad, Mahtum, dan Zulkifly Lubis). Pertemuan di kantor TEMPO itu akhirnya menyepakati beberapa pokok rencana kerja sama antara kedua penerbit majalah itu (selanjutnya, baca rubrik Media). Disepakati, majalah sastra itu akan tidak bersifat komersial, dan sepenuhnya dibantu oleh penerbit TEMPO tak saja dana, tapi juga ide, tenaga, dan manajemen. Kerja sama akan dicoba selama setahun. Kalau tak cocok, disepakati akan dihentikan. Ikatan TEMPO dengan Horison tidak baru. Salah seorang anggota pimpinan TEMPO, Goenawan Mohamad, sejak lebih dari seperempat abad yang lalu adalah anggota Yayasan Indonesia. Bambang Bujono, kini salah seorang Redaktur Pelaksana TEMPO, mengasuh Horison tahun 19731978. Dan sejak tahun 1982, setiap bulan TEMPO bahkan menyumbangkan sejumlah uang untuk menopang ongkos- ongkos penerbitan Horison. Hubungan antara jurnalisme TEMPO dan dunia sastra tentu saja banyak dipengaruhi oleh ''subversi'' sejumlah sastrawan yang bekerja atau pernah bekerja di TEMPO. Dalam deretan pengasuh TEMPO terdapat nama-nama seperti Bur Rasuanto, Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, Syu'bah Asa, A. Bastari Asnin, Putu Wijaya, dan Leila S. Chudori. Hidupnya dunia sastra, bagi jurnalisme, merupakan kebutuhan mutlak. Jurnalisme, apalagi dengan gaya majalah ini, hanya bisa berkembang baik kalau bahasa Indonesia bergairah, penuh elan. Dan itu hanya bisa terjadi bila banyak penulisan sastra yang bermutu. Itu semua jadi alasan kami membantu Horison. Maka, kami pun menampilkan tenaga muda: Nirwan Dewanto, Taufik Rahzen, dan S. Malela Mahargasarie. Kemudian terjadilah peristiwa pekan lalu. Tiba-tiba, meskipun tak disetujui oleh mayoritas pengurus Yayasan Indonesia, Mochtar Lubis memutuskan untuk membatalkan kerja sama antara TEMPO dan Horison, hanya beberapa hari setelah Horison gaya baru yang disambut hangat oleh dunia kesenian itu terbit. Ya, sudah. Semoga Horison akan terus hidup seperti dicita-citakan. Kami ucapkan selamat bekerja bagi pengurus lama untuk melanjutkan kerja. TEMPO masih bersedia membantu, lo, jika diminta. Silakan!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini