Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Petualangan memburu baung

Ikan baung di sungai-sungai kal-sel hanya dapat dipancing dengan umpan khusus berupa daging ikan yang telah dibusukkan. penangkapan dilakukan malam hari dengan pancing yang memuat ratusan mata kail.(ils)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKAN baung adalah ikan ningrat yang tidak mau menelan sembarang makanan. Banyak terdapat di sungai-sungai besar di Kalimantan Selatan, baung biasanya ditangkap pada malam hari. Karena itu cukup rumit membuat umpannya. Ramuannya sebagai berikut: ikan sepat atau ikan gabus dibusukkan dalam bejana selama 3 - 5 hari. Dagingnya kemudian dihancurkan dan diadon dengan serat kapuk, dicampur lemak sapi, minyak samin, minyak kelapa. Untuk lebih mempertajam bau ditambah lagi dengan telur tembuk. "Bumbu" yang terakbir ini untuk orang luar Sungai Barito artinya telur busuk yang baunya bisa memabokkan orang tujuh keliling. Namun bau yang nauzubillah inilah yang paling disenangi ikan baung. Semakin bau, konon semakin merangsang ikan jenis ini untuk mencaplok umpan tersebut. Biasanya, umpan busuk tadi dipasang di mata kail yang biasanya tidak cuma satu atau tiga. Karena untuk satu rambai, -- istilah jalur pancing yang diikat oleh benang nilon dan ujungnya ada mata kail -- bisa memuat 200 mata kail. Tidak jarang, seorang perawai (nelayan) membawa tiga atau empat rambai. Satu hal yang tabu bagi si perawai: tidak boleh menyebut atau merasa jijik terhadap bau yang menyengat hidung dari umpan yang khas ini. Karena demikian dia menuNp hidungnya, begitu dia menyebut umpan ikan itu bau, hilanglah rezekinya. Begitu kepercayaan para perawai. Tak seekor baungpun akan sudi menelan umpannya. "Sungguh," kau Jamal, seorang perawai, "itulah sumpah kami dan pantangan besar. Jadi kalau tak tahan, janganlah jadi tukang rawai ikan baung." Menurut perkiraan Jamal si perawai dari Antasan Senor di Martapura biaya untuk umpan satu rambai tidak kurang dari Rp 2.000. Para perawai biasanya meninggalkan kampung halaman sampai berminggu-minggu. Menyusuri Sungai Barito, tidak jarang mereka sampai juga ke muara. Dengan jukung (sampan) yang dikayuh oleh seorang atau dua orang perawai, mereka berhanyut sambil memasang umpan dengan melabuh rambai di tempat-tempat yang dianggap banyak ikan. Makan dan tidur tetap di jukung. Perlengkapan selama perjalanan mereka biasanya terdiri dari beras, gula, rokok dan lauk. Ada pula yang membawa kelambu atau obat nyamuk. Sepi dan sabar, itulah yang harus mereka jalankan. Kalau hari lagi baik, biasanya siang hari mereka habiskan dengan menyanyi sekeras-kerasnya. Mendendangkan lagu daerah. Tapi kalau hujan turun, dingin dan basahlah teman mereka, karena jukung hanya diberi selembar kajang untuk penahan panas matahari. Merawai memang termasuk mata pencaharian yang penuh spekulasi. Kalau nasib lagi untung, banyak ikan didapat. Tapi kalau nasib buntung, perawai hanya jadi umpan nyamuk. "Tapi biar tak dapat, hati tetap senang," ujar Jamal yang umurnya baru 36 tahun. Sambungnya lagi: "Hati rasa puas hidup di alam bebas. Dan merawai itu penuh dengan petualangan." Jamal sendiri sering menjelajahi Sungai Martapura sampai ke perairan Sungai Tabuk. Musim ikan biasanya setelah air mulai surut sesudah bah karena hujan. YaiN di saat air sungai dari keruh menjadi jernih. Tidak semua perawai ahli dalam hal membujuk ikan baung. Kabarnya cuma orang-orang yang berasal dari Desa Tunggul Irang, Antasan Senor, Pakauman dan Tambak Anyar (semuanya di Martapura) sajalah yang selalu berhasil dalam hal menangkap ikan baung. Di luar desa-desa tersebut mereka mengalihkan jenis tangkapannya. Yaitu jenis ikan bersisik seperti jelawat, sanggang, tangadak, birahmata, puyau yang ditangkap siang hari. Makanan umpan ikan bersisik tidak secerewet ikan baung. Yaitu tepung dan ampas kelapa, atau jagung yang telah ditumbuk halus. Tidak jarang, keladi rebus pun jadilah. Banih Di Kindai "Kalau hati risau," ujar Jamal lagi, "pergilah merawai ikan baung. Hati akan tenang lagi." Dan ada satu hal lagi (yang terpenting) untuk memenuhi hobby merawai baung ini. "Banih di kindai harus penuh," kata Jamal, "tanpa ada banih di kindai, mustahil bisa merawai dengan tenang." Banih di kindai berarei padi di lumbung. "Dan merawai bisa kecanduan," tambah Jamal lagi. Karena semakin lama baung enak didapat, semakin besar rangsangan untuk menangkapnya. Macam laki-laki tergila-gila akan gadis cantik saja. Kalau kail bergoyang, diuberlah ikan yang cukup besar itu ke dalam sungai. Menguber ikan yang sudah tersangkut di mata kail, menjinakkannya sampai terpegang tangan, melepaskannya dari mata kail untuk disimpan di dalam perut jukung atau tempat ikan khusus yang ditambatkan di tepi jukung -- adalah saat-saat menyenangkan. Mencebur dan menyelam ke dalam air menyelusuri tali nilon, adalah hal yang penuh tantangan dan kegembiraan. Hanya keluh si Jamal: "Cuma sekarang ini, entah mengapa ikan jadi sulit didapat." Mungkin karena polusi air atau populasi manusia yang kian bertambah banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus