AKHIR-akhir ini program listrik pedesaan banyak disoroti di
Indonesia (laporan utama TEMPO 2 September). Beberapa strategi
listrik pedesaan dapat dilaksanakan di Indonesia, dan menurut
pendapat saya ada efek sampingan yang tidak diinginkan dalam
program-program yang sedang dilaksanakan. Kalau suatu strategi
lain dicetuskan, sebagian besar efek sampingan ini dapat
dihindari.
Dalam terbitan Bulletin of Indonesian Economic Studies terakhir,
kami telah melaporkan hasil suatu penelitian mengenai program
listrik pedesaan (lihat "Rural Electrification -- Is it Time?",
BIES, July 1978. Kesimpulan terpenting yang dapat ditarik dari
penelitian ini adalah:
(1) Kalau program listrik pedesaan dinilai dari segi ekonomis
saja, priorita utama program tersebut harus diragukan pada masa
kini, terutama dibandingkan dengan sarana fisik dan sosial lain
yang dibutuhkan rakyat desa (misalnya air leding, jalan,
sekolah, puskesmas dls). Menurut pengalaman, baik di Indonesia
maupun di negara lain, banyak program listrik pedesaan
mengecewakan dan sering lebih menguntungkan lapisan masyarakat
desa yang lebih mampu. Hal ini disebabkan: (a) betapapun murah,
lapisan masyarakat desa yang miskin masih tidak mampu membeli
listrik (b) tarip listrik yang ditetapkan (dan syarat lain,
seperti kwantitas wat minimum yang harus dipasang) mengakibatkan
hanya lapisan masyarakat desa lebih mampu bisa merasakan
manfaatnya dan (c) kadang-kadang lapisan masyarakat desa yang
kurang mampu diikutsertakan dalam proyek listrik gotong-royong
(yang berarti mereka dipungut pajak dalam bentuk fisik) walaupun
mereka tidak menikmati listrik. Satu efek sampingan lain yang
mungkin akan terjadi adalah pengangguran. Listrik merupakan
teknologi baru di desa, dan dalam jangka waktu pendek ada
kemungkinan teknologi baru itu akan lebih mengurangi daripada
menambah kesempatan kerja.
(2) Jika pemerintah Indonesia ingin memberikan prioritas utama
kepada program listrik pedesaan karena alasan sosial dan
politik, strategi yang terbaik ialah memperluas jaringan listrik
di Jawa dan melanjutkan program instalasi pembangkit diesel di
luar Jawa. Di Jawa Tengah, proyek percobaan yang akan dilakukan
dengan bantuan Amerika Serikat dan Kanada nampaknya mempunyai
prospek cukup baik, sebab ongkos memasang listrik di rumah
(connection charges) akan sangat rendah. Meski begitu dapat
diramalkan proyek itu akan terus membutuhkan subsidi, sebab daya
beli masyarakat setempat lebih rendah daripada yang diperkirakan
dalam rencana proyek tersebut, yang mengasumsikan masyarakat
desa mampu membayar sekurang-kurangnya Rp 1.000 per bulan untuk
listrik.
(3) Akhir-akhir ini, baik pemerintah Indonesia maupun
donor-donor asing telah mengutamakan perumusan suatu strategi
pembangunan yang efektif dalam mengatasi masalah kemiskinan
terutama di daerah pedesaan. Bila pemerintah Indonesia ingin
mengambil tindakan untuk mengurangi kemiskinan pedesaan, tidak
mustahil suatu program listrik pedesaan akan menunjang tujuan
ini. Tetapi, program tersebut harus dirumuskan dengan teliti
agar tujuan dapat dicapai. Tidak setiap program listrik pedesaan
akan berhasil dalam mencapai suatu kenaikan kesejahteraan rakyat
miskin. Khususnya program-program listrik pedesaan yang
menetapkan bahwa terlalu banyak wat hendaknya disambung per
rumah tangga (misalnya lebih dari 100 wat), tidak akan membantu
golongan masyarakat miskin didesa. Justru yang dibutuhkan adalah
suatu strategi listrik pedesaan, yang memperbolehkan rakyat desa
memasang sekurang-kurangnya 50 wat dalam rumahnya -- dengan
rekening sekecil Rp 500 per bulan atau ke bawah.
PETER McCAWLEY
Department of Economies
Research School of Pacific Studies
Australian National University,
Canberra ACT Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini