MULAI 16 Oktober sampai 12 hari lamanya, ada Kongres Kehutanan
Sedunia di Jakarta. Ini kongres yang ke-8. FAO pernah mencatat
bahwa dari jumlah seluruh hutan kini, 77% adalah milik umum
(negara) dan tinggal 23% saja hutan milik pribadi. Yang terakhir
ini meliputi orang-orang kaya, kaum ningrat, yang memiliki hutan
untuk arena berburu.
Biarpun jumlah hutan (FAO mencatat hal di atas di tahun 1963)
kini kian menipis lagi, jumlah peserta kongres kehutanan cukup
mentakjubkan. Mungkin mencapai jumlah peserta tertinggi selama
kongres internasional lainnya pernah diadakan di Jakarta. Minggu
lalu, Dirjen Kehutanan Sudjarwo menyatakan jumlah peserta akan
mencapai 2.000 orang dari 82 negara, plus 12 organisasi
internasional. Lebih mentakjubkan lagi, kongres ini akan
menghasilkan 40 ton kertas kerja. Sudjarwo bahkan memperkirakan
tiap peserta akan mernbawa pulang 20 kg kertas kerja, suatu
batas bobot bagi penumpang kapal terbanf kelas ekonomi.
Dalam kesempatan kongres inilah Yayasan lndonesia Hijau -- satu
organisasi sosial yang bertujuan agar manusia sadar bahwa alam
harus dilindungi dan dijaga--turut serta meramaikan kongres ini
dengan pertunjukan Wayang Rimba. Ini bukan cerita wayang
tradisionil biasanya. Sebab Wayang Rimba yang hanya berlangsung
2 jam ini adalah media baru untuk Yayasan Indonesia Hijau.
Ceritanya sendiri berjudul Rimba Tiwikrama, artinya hutan yang
murka, karena tindakan sewenang-wenang dengan cara menggunduli
pohon-pohon yang mengayomi margasatwa.
Yayasan Indonesia Hijau baru saja berdiri. Sekitar 10 bulan yang
lalu. Kini sedang giat menggalakkan jumlah anggotanya, yayasan
ini memulai menandai dirinya dengan majalah cuma-cuma yang
bernama Suara Alam. Majalah ini dibagi-bagikan kepada
murid-murid sekolah, isinya sebagian besar tentang
binatang-binatang yang hampir punah dan kini diteriakkan agar
dilindungi. Juga ada penerangan tentang hutan bakau, eceng
gondok, atau kisah kelinci penakut dan kacang ajaib. Rencananya,
Yayasan Indonesia Hijau juga akan menyelenggarakan acara radio
untuk jangka waktu dekat. Pengasuh yayasan ini sebagian besar
terdiri dari mereka yang mencintai alam dan kelestarian
lingkungan, serta erat bekerja-sama dengan Pusa Perlindungan
Alam di Bogor dan mendapa dukungan penuh dari WWF (World Wild
life Fund).
Indonesia, sebelum terlambat, memang sepatutnya dari sekarang
mulai bertanggungjawab memelihara kelestarian alam dan
penghuninya. Juga kelahiran yayasan ini agaknya lebih menarik
jika dihubungkan dengan berita bahwa macan Jawa (panthera
tigris sondaica) sedang diancam kemusnahan. Sekitar tahun 1851,
penduduk Pulau Jawa bahkan masih mempunyai kepercayaan (hingga
kini demikian, terutama di daerah Jawa Barat), bahwa macan
adalah reinkarnasi (penjelmaan kembali) dari nenek moyang
mereka. Pada masa itu, macan di Pulau Jawa ini masih dalam
jumlah banyak. Cerita tentang orang dimakan macan ketika akan
pergi dari Bandung ke Sukabumi, adalah bukan hal yang aneh waktu
itu.
Awal abad 18, jumlah sang macan kian menipis, sementara jumlah
manusia kian meningkat. Tahun 1921, pemerintah Belanda waktu itu
menyatakan bahwa daerah Ujung Kulon adalah daerah alam lindungan
untuk binatang-binatang seperti rhino, banteng dan macan. Tahun
1940, jumlahnya makin sedikit dan pemerintah membatasi izin
menembak. Tahun 1955, diduga tinggal 20 - 25 ekor macan saja.
Dan 1964 diperkirakan hanya 12 ekor untuk seluruh Pulau Jawa.
Tidak jelas berapa jumlahnya kini.
Macan Favorit
Macan Bali (panthera tigris balica) bahkan musnah sama sekali.
Demikian pula di Sumatera. Dari jumlah yang ratusan banyaknya di
tahun 1936 (bahkan sering berkeliaran di sekitar kampung), kini
jumlahnya kian menipis sesudah 1965. WWF mengusulkan agar daerah
gunung Leuser di Sumatera Utara sebagai daerah terbaik untuk
melindungi panthera tigris sumatrae ini. Tapi kalau pengolahan
hutan dan tanah-tanah di Sumatera kian memuncak, kemungkinan
besar nasib sang macan akan sama saja seperti saudara sepupunya
di Pulau Jawa dan Bali.
Menurut Guy Mountfort, jumlah macan di dunia kini tidak lebih
dari 4.500 ekor saja, sementara di tahun 1920, masih berjumlah
100.000 ekor. Karena semakin menipisnya binatang-binatang
seperti macan, monyet, orang utan dan binatang lindungan
lainnya, keseimbangan alam akan tergugah.
Gemerlap kehidupan megalopolis - pemukiman manusia modern --
cukup mengejutkan penghuni alam lainnya, yaitu margasatwa yang
sebagian besar hidup untuk menjaga keseimbangan alam. Di India,
di Ma&ya Pradesh, kehidupan macan pernah diselidiki dan hasilnya
demikian. Selama 18 bulan, pernah 32 macan mati karena karacunan
folidol. Negara-negara Asia yang para petaninya mempergunakan
dieldrin, endrin, DDT atau folidol sebagai prasarana pertanian,
terbukti memukul kehidupan lestari margasatwa sekitar manusia
itu sendiri.
Macan India ini cukup terkenal indah. Bulunya tebal dan
mengkilat, dengan guratan hitam sebanyak 18 atau 20 garis, macan
jenis ini sering disebut Royal Bengal Tiger. Di tahun 1965,
seorang maharaja di India pernah mengaku telah menembak 1.150
ekor selama hidupnya. Padahal, dulunya maharaja begitu banyak
jumlahnya. Karena seorang yang menggemari olahraga berburu jika
hanya menembak 300 atau 400 ekor macan belum berarti apa-apa.
Kini, tentu saja, jumlah macan India yang indah ini kian
menipis. Karena dijadikan macan favorit bagi para maharaja, para
pangeran dan pemburu selama ratusan tahun lamanya. Tidak akan
lama lagi, kemungkinan besar macan hanya akan jadi dongeng untuk
anak cucu. Sama seperti cerita burung bulbul dalam 1001 malam.
Ini kalau sang macan tidak dilindungi dari kepunahan hutan yang
kian meluas. Lewat Yayasan Indonesia Hijau inilah diharapkan
pengertian akan hal itu mulai tumbuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini