Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Si hijau yang murka

Yayasan indonesia hijau mengadakan pertunjukan wayang rimba pada kongres kehutanan sedunia di jakarta dalam rangka kampanye pelestarian alam. kampanye juga melalui siaran radio dan majalah suara alam. (ils)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULAI 16 Oktober sampai 12 hari lamanya, ada Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta. Ini kongres yang ke-8. FAO pernah mencatat bahwa dari jumlah seluruh hutan kini, 77% adalah milik umum (negara) dan tinggal 23% saja hutan milik pribadi. Yang terakhir ini meliputi orang-orang kaya, kaum ningrat, yang memiliki hutan untuk arena berburu. Biarpun jumlah hutan (FAO mencatat hal di atas di tahun 1963) kini kian menipis lagi, jumlah peserta kongres kehutanan cukup mentakjubkan. Mungkin mencapai jumlah peserta tertinggi selama kongres internasional lainnya pernah diadakan di Jakarta. Minggu lalu, Dirjen Kehutanan Sudjarwo menyatakan jumlah peserta akan mencapai 2.000 orang dari 82 negara, plus 12 organisasi internasional. Lebih mentakjubkan lagi, kongres ini akan menghasilkan 40 ton kertas kerja. Sudjarwo bahkan memperkirakan tiap peserta akan mernbawa pulang 20 kg kertas kerja, suatu batas bobot bagi penumpang kapal terbanf kelas ekonomi. Dalam kesempatan kongres inilah Yayasan lndonesia Hijau -- satu organisasi sosial yang bertujuan agar manusia sadar bahwa alam harus dilindungi dan dijaga--turut serta meramaikan kongres ini dengan pertunjukan Wayang Rimba. Ini bukan cerita wayang tradisionil biasanya. Sebab Wayang Rimba yang hanya berlangsung 2 jam ini adalah media baru untuk Yayasan Indonesia Hijau. Ceritanya sendiri berjudul Rimba Tiwikrama, artinya hutan yang murka, karena tindakan sewenang-wenang dengan cara menggunduli pohon-pohon yang mengayomi margasatwa. Yayasan Indonesia Hijau baru saja berdiri. Sekitar 10 bulan yang lalu. Kini sedang giat menggalakkan jumlah anggotanya, yayasan ini memulai menandai dirinya dengan majalah cuma-cuma yang bernama Suara Alam. Majalah ini dibagi-bagikan kepada murid-murid sekolah, isinya sebagian besar tentang binatang-binatang yang hampir punah dan kini diteriakkan agar dilindungi. Juga ada penerangan tentang hutan bakau, eceng gondok, atau kisah kelinci penakut dan kacang ajaib. Rencananya, Yayasan Indonesia Hijau juga akan menyelenggarakan acara radio untuk jangka waktu dekat. Pengasuh yayasan ini sebagian besar terdiri dari mereka yang mencintai alam dan kelestarian lingkungan, serta erat bekerja-sama dengan Pusa Perlindungan Alam di Bogor dan mendapa dukungan penuh dari WWF (World Wild life Fund). Indonesia, sebelum terlambat, memang sepatutnya dari sekarang mulai bertanggungjawab memelihara kelestarian alam dan penghuninya. Juga kelahiran yayasan ini agaknya lebih menarik jika dihubungkan dengan berita bahwa macan Jawa (panthera tigris sondaica) sedang diancam kemusnahan. Sekitar tahun 1851, penduduk Pulau Jawa bahkan masih mempunyai kepercayaan (hingga kini demikian, terutama di daerah Jawa Barat), bahwa macan adalah reinkarnasi (penjelmaan kembali) dari nenek moyang mereka. Pada masa itu, macan di Pulau Jawa ini masih dalam jumlah banyak. Cerita tentang orang dimakan macan ketika akan pergi dari Bandung ke Sukabumi, adalah bukan hal yang aneh waktu itu. Awal abad 18, jumlah sang macan kian menipis, sementara jumlah manusia kian meningkat. Tahun 1921, pemerintah Belanda waktu itu menyatakan bahwa daerah Ujung Kulon adalah daerah alam lindungan untuk binatang-binatang seperti rhino, banteng dan macan. Tahun 1940, jumlahnya makin sedikit dan pemerintah membatasi izin menembak. Tahun 1955, diduga tinggal 20 - 25 ekor macan saja. Dan 1964 diperkirakan hanya 12 ekor untuk seluruh Pulau Jawa. Tidak jelas berapa jumlahnya kini. Macan Favorit Macan Bali (panthera tigris balica) bahkan musnah sama sekali. Demikian pula di Sumatera. Dari jumlah yang ratusan banyaknya di tahun 1936 (bahkan sering berkeliaran di sekitar kampung), kini jumlahnya kian menipis sesudah 1965. WWF mengusulkan agar daerah gunung Leuser di Sumatera Utara sebagai daerah terbaik untuk melindungi panthera tigris sumatrae ini. Tapi kalau pengolahan hutan dan tanah-tanah di Sumatera kian memuncak, kemungkinan besar nasib sang macan akan sama saja seperti saudara sepupunya di Pulau Jawa dan Bali. Menurut Guy Mountfort, jumlah macan di dunia kini tidak lebih dari 4.500 ekor saja, sementara di tahun 1920, masih berjumlah 100.000 ekor. Karena semakin menipisnya binatang-binatang seperti macan, monyet, orang utan dan binatang lindungan lainnya, keseimbangan alam akan tergugah. Gemerlap kehidupan megalopolis - pemukiman manusia modern -- cukup mengejutkan penghuni alam lainnya, yaitu margasatwa yang sebagian besar hidup untuk menjaga keseimbangan alam. Di India, di Ma&ya Pradesh, kehidupan macan pernah diselidiki dan hasilnya demikian. Selama 18 bulan, pernah 32 macan mati karena karacunan folidol. Negara-negara Asia yang para petaninya mempergunakan dieldrin, endrin, DDT atau folidol sebagai prasarana pertanian, terbukti memukul kehidupan lestari margasatwa sekitar manusia itu sendiri. Macan India ini cukup terkenal indah. Bulunya tebal dan mengkilat, dengan guratan hitam sebanyak 18 atau 20 garis, macan jenis ini sering disebut Royal Bengal Tiger. Di tahun 1965, seorang maharaja di India pernah mengaku telah menembak 1.150 ekor selama hidupnya. Padahal, dulunya maharaja begitu banyak jumlahnya. Karena seorang yang menggemari olahraga berburu jika hanya menembak 300 atau 400 ekor macan belum berarti apa-apa. Kini, tentu saja, jumlah macan India yang indah ini kian menipis. Karena dijadikan macan favorit bagi para maharaja, para pangeran dan pemburu selama ratusan tahun lamanya. Tidak akan lama lagi, kemungkinan besar macan hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sama seperti cerita burung bulbul dalam 1001 malam. Ini kalau sang macan tidak dilindungi dari kepunahan hutan yang kian meluas. Lewat Yayasan Indonesia Hijau inilah diharapkan pengertian akan hal itu mulai tumbuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus