Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Pialang Perdagangan Ginjal

15 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI menetapkan tiga pelaku penjualan ginjal sebagai tersangka. Mereka diduga telah menipu 14 orang menjual ginjal dengan dalih donor dan iming-iming uang. Karena ginjal adalah organ yang dijual untuk didonorkan, polisi menggeledah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk mengungkap jejaring sindikat penjualan organ.

Dan, ternyata, korbannya banyak. Para tersangka itu mengakui sudah lama menjadi calo penjualan ginjal. Dan organ itu dijual ke pelbagai negara. Majalah Tempo edisi 22 Juni 1991 pernah menulis perdagangan ginjal di Cina dan Hong Kong. Pialang bisnis itu adalah Tsui Fung, pedagang asal Hong Kong.

Lewat dia, pasien yang perlu transplantasi ginjal dikenai biaya US$ 12.800 atau sekitar Rp 25 juta. Tsui Fung membuka keagenan ginjal lengkap. Dia mengurus operasinya yang dilakukan di Rumah Sakit Pusat Militer Nanjing, Cina. Dia juga yang mencarikan donor. Jadi ongkos sebesar itu, selain meliputi biaya operasi dan penyediaan donor, untuk tiket pesawat terbang calon penerima ginjal dari Hong Kong ke Nanjing.

Menariknya, Tsui Fung mengatakan ginjal yang akan dicangkok itu berasal dari donor hidup. Agaknya ia tahu betul menghadapi isu tentang donor ginjal asal Cina yang diambil dari mayat narapidana yang dihukum mati. Tapi Deacon Chiu, 64 tahun, warga Hong Kong penerima ginjal di Guangzhou, Cina, menuturkan bahwa ginjal yang diperolehnya itu berasal dari orang hukuman.

Tawaran cangkok ginjal di sana sebetulnya bukan hal baru. Ternyata peminatnya juga ada yang dari Indonesia. Selain ke Cina, biasanya mereka ke India atau Filipina. Menurut Profesor Dr R.P. Sidabutar, Ketua Perhimpunan Transplantasi Organ Tubuh Indonesia, pasien ginjal asal yang mencari donor di luar negeri itu dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Cikini, Jakarta, ada 30-an yang melakukan pencangkokan dengan donor orang lain (tak punya hubungan darah).

Selain lebih murah, penerima ginjal cangkok tak perlu menunggu donor yang cocok sampai bertahun-tahun. Dengan melakukan pencangkokan di Cina, dalam waktu sebulan, pasien sudah bisa diselamatkan. "Sebagai dokter, saya tidak menganjurkan pasien mencari donor ke luar negeri. Tapi, kalau mereka mau melakukannya, saya tidak melarang," kata Sidabutar, yang juga Kepala Sub-Bagian Ginjal dan Hipertensi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Di Mumbai, menurut majalah Time edisi 17 Juni 1991, pasien hanya perlu mengeluarkan Rp 3 juta untuk membeli ginjal donor. Sedangkan di Amerika Serikat, pasien diharuskan membayar sampai Rp 300 juta. Di India atau Pakistan, sudah bukan barang baru jika ada iklan yang isinya menawarkan organ tubuh—bukan hanya ginjal. Di India, untuk kornea mata diberi harga Rp 8 juta dan sepotong kecil kulit harganya Rp 100 ribu.

Mohammad Aqeel, misalnya, tukang jahit yang miskin di Karachi, Pakistan, menawarkan ginjalnya Rp 5 juta. "Aku perlu uang untuk biaya pernikahan kedua anakku," ujar Aqeel. Berita adanya agen bisnis ginjal juga pernah terdengar di Amerika beberapa tahun lalu.

Seorang warga Virginia, dr H. Barry Jacobs, berniat mendirikan perusahaan pialang dengan nama Kidney Exchange Ltd. Di negaranya, diperkirakan 20 ribu orang membutuhkan pencangkokan tiap tahun, sedangkan yang terlaksana sekitar 5.000 cangkokan. Di atas kertas, hitungan itu menggiurkan, tapi niatnya itu menimbulkan reaksi. Dan nasib calon saudagar ginjal itu tidak terdengar lagi.

Di Indonesia, semua pencangkokan umumnya didapat dari donor yang mempunyai hubungan keluarga. Biayanya hanya 4-5 juta rupiah. Hambatan biasanya terjadi karena memang sulit mencari donor yang cocok. Menurut Profesor Sidabutar, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Cikini, tempat prakteknya, sering datang tawaran lewat telepon dari orang yang ingin menjadi donor ginjal.

Sayangnya, mereka menuntut imbalan. "Ini jelas kami tolak. Sebab, menurut peraturan pemerintah dan kode etik kita, dilarang memperjualbelikan organ tubuh," ucapnya. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 jelas-jelas melarang jual-beli organ tubuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus