Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak 1970, Monas menjadi paru-paru kota.
Presiden Soeharto memulainya dengan gerakan menanam sejuta pohon.
Kini Gubernur Jakarta malah menebangi ratusan pohon untuk dijadikan plaza.
SEKITAR 190 pohon di sisi selatan kawasan Monumen Nasional atau Monas, Gambir, Jakarta Pusat, ditebang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana mengubah lahan taman yang rimbun itu menjadi plaza dan kolam. Langkah Pemerintah Provinsi itu menuai protes dari masyarakat dan pemerhati lingkungan karena dianggap mempersempit ruang terbuka hijau di Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kawasan Monumen Nasional selama ini menjadi salah satu “paru-paru” Jakarta. Berbagai pohon ditanam secara bertahap di area taman seluas 80 hektare itu. Pada 1973, pemerintah mendeklarasikan kawasan taman Monumen Nasional sebagai bagian dari hutan kota. Ketika itu, pemerintah menanam 1.568 pohon di sana. Sejak itu, berbagai jenis pohon ditanam secara bertahap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1993, kawasan taman Monumen Nasional menjadi pusat gerakan nasional penanaman sejuta pohon. Majalah Tempo menulis hal tersebut dalam berita bertajuk “Gerakan Sejuta Pohon”, yang terbit pada 23 Januari 1993.
Waktu itu, pertengahan Januari 1993, Presiden Soeharto mencanangkan tahun 1993 sebagai Tahun Lingkungan Hidup dan Gerakan Satu Juta Pohon. Ini adalah gerakan untuk menanam minimal satu juta pohon di setiap provinsi. Secara simbolis gerakan ini dimulai dengan penanaman sepasang beringin putih oleh presiden dan wakil presiden. Presiden Soeharto juga menandatangani prasasti pembangunan hutan taman kota Taman Medan Merdeka, yang berlokasi di lapangan Monumen Nasional.
“Ribuan lagi tanaman akan ditanam untuk menarik burung dan melepaskan udara segar,” kata Presiden ketika itu.
Tahap awal, pemerintah menanam 1.070 pohon, 459 di antaranya tanaman khas dari 27 provinsi. Pohon majego dari Bali atau cendana dari Nusa Tenggara Timur, misalnya, termasuk flora yang akan memperkaya koleksi Taman Medan Merdeka. Pemerintah berharap pohon-pohon yang ditanam itu nanti bisa tumbuh subur dan rindang. Warga yang berkunjung ke sana bisa menikmati Monumen Nasional sekaligus menghirup udara segar di tengah kota.
Kepala Dinas Pertamanan DKI Buntaran Bunyamin mengatakan Taman Medan Merdeka akan mulai tampak hijau pada 1995. “Yang ditanam bukan bibit, melainkan pohon yang sudah cukup besar,” ujarnya. Pemerintah mengalokasikan dana Rp 266 miliar untuk pembangunan taman yang akan dilengkapi sarana parkir dan restoran itu. “Taman Medan Merdeka akan dijadikan landmark Republik seperti Arch de Triumph di Prancis,” kata Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim.
Taman-taman yang teduh nyaman juga akan dibangun di empat wilayah Jakarta. Soerjadi, Gubernur DKI Jakarta ketika itu, telah menginstruksikan agar di setiap wilayah dibuat semacam alun-alun.
Pembuatan paru-paru di tengah kota itu juga diikuti daerah lain. Di Jawa Timur, Gubernur Soelarso memasang target penanaman tujuh juta pohon. Namun penghijauan di Surabaya masih bersifat linier alias di sepanjang sungai atau jalan. “Idealnya Surabaya juga membuat taman seperti di Monas itu. Tapi kami masih harus mencari tanah terbuka untuk ditanami,” ujarnya.
Di Jawa Barat, pemerintah setempat memulai dengan obyek wisata Puncrut di Bandung Utara. Pekan lalu Gubernur M. Yogie bersama 24 bupati menanam 3.000 tanaman buah yang dibawa para bupati dari daerah masing-masing. Pandeglang, misalnya, terwakili oleh buah sawo, sedangkan Lebak mengirim durian.
Di Bali, di kawasan Taman Hutan Raya Bedugul, dibuat blok khusus yang berisi tanaman untuk keperluan upacara Hindu--kebanyakan pohon bunga dan pohon obat. Itu rencana lama yang baru tahun ini akan direalisasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Selain itu, pemerintah akan menghijaukan sekitar 40 hektare lahan kritis di Pulau Dewata.
Dengan “komando” dari pusat, sekarang mau tak mau tiap kota tergoda berlomba mewujudkan lingkungan yang teduh. “Komitmen politik pemerintah untuk memelihara lingkungan itu sudah ada. Sekarang tinggal melihat siapa yang tidak mau dan yang tidak mampu,” kata Asisten Menteri Kementerian Lingkungan Hidup Surna T. Djajadiningrat.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 23 Januari 1993. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo