Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri -Ke--u-ang-an—ketika itu dijabat Mar’ie Muhammad—mendapat perintah presiden yang meminta semua penyertaan modal PT Taspen ke 17 perusahaan ditinjau ulang. Gonjang-ganjing seputar masalah itu bahkan sempat menyulut keinginan Dewan Perwakilan Rakyat menyelidikinya melalui hak angket.
Tuntutan itu erat kaitannya dengan penjelasan Direktur Utama PT Taspen Ida Bagus Putu Sarga dalam forum rapat -dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Juni 1993. Menurut laporan per 30 April 1993, kata Ida, PT Taspen hanya menginvestasikan uang pegawai negeri dalam berbagai portofolio sebesar Rp 2,1 triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada dana Taspen yang diumumkan Menteri Keuangan, yaitu sebesar Rp 7,4 triliun.
Lalu di mana sisanya yang Rp 5,3 tri-liun? Inilah satu sisi gelap yang harus dikuak. Untuk mencari kejelasan tentang itu juga tak mudah karena, sejak dipindahkan ke PT Jasa Raharja, Ida Bagus Putu Sarga sulit dihubungi. Purwanto Abdulcadir, yang resmi menjabat Direktur Utama PT Taspen sejak awal Juli 1993, mengatakan penem-patan dana Taspen tidak akan ditinjau kembali. Taspen hanya akan meninjau ulang penempatan dananya di lima perusahaan swasta.
Kalau ditelusuri, terlihat bahwa beberapa perusahaan memang belum jelas prospek usahanya. Sebutlah Bali Imperial Hotel (PT Satria Balitama), yang antara lain dimiliki Arifin Panigoro dan Siswono Yudohusodo (ketika itu menjadi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan). Dalam proyek yang menelan investasi Rp 82 miliar lebih itu, 31 persen di antara-nya merupakan penyertaan dana Taspen.
Komisaris Utama Taspen yang juga menjabat Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Benyamin Prawoto, menilai beberapa perusahaan sesungguhnya tidak layak dimodali. Di samping itu, Taspen, seperti kata Benyamin, telah menempatkan dananya di perusahaan yang ber-ada dalam grup yang tidak memiliki kinerja baik. “Prospek perusahaan itu baik, tapi perusahaan di grupnya sangat jelek,” ujar Benyamin.
Kenyataan itu makin menggugah perhatian DPR karena dana pensiun menyangkut hajat 4 juta pegawai negeri dan 1,5 juta pensiunan. Maka penyertaan modalnya ke swasta dianggap kurang aman alias berisiko. Tak mengherankan bila anggota DPR, Budi Hardjono, menganjurkan dana Taspen itu ditarik kembali dan dibelikan obligasi PLN, yang dipandang cukup aman. Anjuran ini ada benarnya jika melihat penerimaan PT Taspen dari saham yang cenderung menurun.
Seperti diketahui, dana yang ditempatkan di perusahaan swasta saat ini mencapai Rp 950 miliar atau 13 persen dari total dana Taspen. Ada 17 perusahaan yang menikmati dana murah itu, antara lain RCTI (Taspen membeli 15 persen saham RCTI), Indonesia Artasangga Utama (70 persen), Bhineka Multi Corp (35 persen), Sarinah Jaya (18 persen), dan Multi Anggana Ganda (48 persen). Dari ke-17 perusahaan itu, PT Barito Pacific Timber memperoleh penyertaan cukup besar (Rp 375 miliar).
Yang ikut dipersoalkan: mengapa penyer-taan dilakukan sebelum Barito Pacific resmi masuk bursa? Anggota DPR, Aberson Marle Sihaloho, mengusulkan penyertaan dana Taspen di Barito ditunda saja sampai perusahaan itu jelas untung. Tapi Purwanto Abdulcadir menepis kemungkinan itu secepatnya. Memang ada lima perusahaan yang dana Taspen-nya ditinjau ulang, tapi Barito tidak masuk kelompok itu.
Sejak Menteri Keuangan dipegang Mar’ie Muhammad, penyertaan itu menjadi masalah. Melalui Surat Keputusan Nomor S-702/MK01/93, Mar’ie memerintahkan Dewan Komisaris Taspen mencekal dana Taspen yang belum dicairkan. Upaya cekal ini menimpa Gunung Agung, yang sebentar lagi genap 40 tahun. Sumber Tempo menga-takan Taspen akan menempatkan Rp 22 miliar di Gunung Agung. Tapi keputusan itu belum direalisasi sepenuhnya.
Pemerintah mau tak mau harus waspada. Mengapa? Kendati ada dana pensiun yang dikelola Taspen, untuk pensiun pegawai negeri hingga kini pemerintah ha-rus menomboknya dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kini Menteri Keuangan menerjunkan tim yang terdiri atas Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, dan Direktur Jenderal Pembinaan Badan Usaha Milik Negara untuk meneliti ulang penempatan dana Taspen di swasta.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Juli 1993. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://majalah.tempo.co/edisi/1194/1993-07-24
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo