Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah DPR perlu memberikan memorandum kedua kepada Presiden Abdurrahman Wahid? (20-27 April 2001) | ||
Ya | ||
70.9% | 986 | |
No | ||
27.1% | 387 | |
Tidak tahu | ||
2% | 27 | |
Total | 100% | 1.390 |
AWAL pekan ini anggota DPR akan kembali bersidang. Agenda mereka adalah merumuskan sikap akhir dalam menanggapi jawaban memorandum pertama Presiden Abdurrahman Wahid. Jika mereka tidak puas, walhasil, para wakil rakyat bisa saja menggulirkan "kartu kuning" kedua bagi Abdurrahman, yang dapat membuka jalan bagi pelaksanaan sidang istimewa oleh kubu anti-RI Satu yang tersebar di antara anggota DPR.
Presiden kali ini tidak pasang harga mati dalam menyikapi turunnya memorandum kedua. Di hadapan para sesepuh dan warga Pondok Buntet, Pesantren Astanajapura, Cirebon, dua pekan lalu, mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini malah menyatakan siap menerima "kartu kuning" kedua dari para wakil rakyat. Itu pun dengan syarat agar mereka tidak menyinggung-nyinggung jabatannya sebagai presiden. Alasannya bertentangan dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan presiden hanya bertanggung jawab pada masa akhir jabatannya kepada MPR.
Sukar untuk memprediksi sejauh mana anggota DPR akan mengikuti permintaan Presiden Abdurrahman. Begitu pula dalam menebak apakah si Kiai Ciganjur akan konsisten dengan sikapnya di Pondok Buntet tersebut. Yang jelas, hingga akhir pekan silam sejumlah anggota fraksi tampak dengan getol berkasak-kusuk untuk mengeluarkan memorandum kedua bagi Presiden. Sikap mereka ini rupanya sejalan dengan suara 70 persen pengunjung situs TEMPO Interaktif yang mengikuti jajak pendapat sejak awal pekan silam. Mereka meminta agar para wakil rakyat, dalam sidang paripurna yang mulai berlangsung pada awal pekan ini, tidak ragu-ragu lagi melayangkan memorandum keduanya. Hanya 27 persen peserta jajak pendapat yang menolak pemberian "kartu kuning" kedua bagi Gus Presiden.
Jajak Pendapat Pekan Depan: KESIBUKAN aparat keamanan dalam menghadapi istighotsah akbar Nahdlatul Ulama dan Sidang Paripurna DPR nyaris membuat mereka tak mengenal istirahat. Selain mendirikan sejumlah pos pemantauan pada pintu masuk Jakarta, mereka juga gencar melakukan sweeping untuk mencari senjata tajam di antara pendukung Presiden Abdurrahman yang mengalir ke Ibu Kota. Aparat dalam bekerja tak cuma sibuk mengawasi hilir-mudiknya para pendukung Presiden. Mereka juga harus pasang mata dan telinga baik-baik untuk memeriksa apakah ada pihak lain yang ingin memancing di air keruh dengan menyulut kerusuhan pada pelaksanaan dua agenda besar tersebut. Tak mengherankan bila Kepala Kepolisian RI, Jenderal Surojo Bimantoro, sampai mengancam dengan mengeluarkan perintah tembak di tempat kepada seluruh jajarannya dalam menghadapi para perusuh yang ingin mengacaukan Jakarta. Apakah Anda setuju dengan kebijakan polisi untuk menembak di tempat para perusuh yang mengacaukan Jakarta? Suarakan pendapat Anda melalui situs www.tempointeraktif.com . |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo