SAYA ingin menanggapi artikel TEMPO Edisi 20-26 Januari 2003, rubrik Opini, berjudul Sambung-menyambung Diambil Tetangga. Dari artikel tersebut terdapat kesan putusan Mahkamah Internasional untuk memenangkan Malaysia dalam sengketa Sipadan-Ligitan semata-mata didasarkan pada kenyataan bahwa Malaysia telah ?memelihara? pulau tersebut antara lain dengan membangun berbagai fasilitas dan mercusuar.
Perlu dijelaskan, yang menjadi pertimbangan utama Mahkamah Internasional adalah penguasaan efektif yang dilakukan oleh Inggris, bukan Malaysia, sebelum 1969. Tindakan administrasi Inggris sebagai perwujudan kedaulatannya atas kedua pulau tersebut meliputi tindakan yang bersifat legislatif dan kuasi-yudisial, misalnya pungutan pajak penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917, penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung tahun 1930-an, dan pembangunan serta pemeliharaan mercusuar di Pulau Sipadan sejak 1962 dan di Pulau Ligitan sejak 1963. Mahkamah sama sekali tidak mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan Malaysia setelah critical date (1969) untuk mendukung klaim keefektifannya.
Sebagaimana diketahui, sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pada 1969 ketika Indonesia dan Malaysia merundingkan batas landas kontinen kedua negara di kawasan laut Sulawesi. Ketika itu, terdapat ketidakpastian perihal status kepemilikan kedua pulau ini. Fakta menunjukkan bahwa UU No. 4/Prp/1960 tidak memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, peta nasional yang digunakan Malaysia juga tidak memasukkan kedua pulau sengketa sebagai bagian dari wilayahnya. Perundingan akhirnya menyepakati status quo untuk menghindari tindakan yang dapat mempengaruhi posisi masing-masing negara. Dengan demikian, sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan bersifat khusus dan unik.
Perlu ditegaskan, kekhawatiran tentang lepasnya pulau-pulau terluar di Indonesia dengan menganalogikan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu kekhawatiran yang berlebihan. Saat ini tidak ada lagi pulau-pulau lain di Indonesia yang menjadi obyek sengketa kepemilikan/kedaulatan dengan negara tetangga. Berkaitan dengan Pulau Batek di Nusa Tenggara, misalnya, dapat kami jelaskan bahwa pulau ini merupakan bagian wilayah RI yang diwariskan dari Belanda. Status Pulau Batek tersebut dicantumkan dalam Peta Laut Hindia Belanda Nomor 117 Tahun 1925 dan Buku Kepanduan Bahari Indonesia Jilid III terbitan Staatsdrukkerij en Uitgeverijbedrijf/?s-Gravenhage 1951. Pada Januari 2002, Direktorat Navigasi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan RI telah membangun mercusuar di Pulau Batek dan sampai sekarang masih berlangsung pelaksanaannya.
Demikian juga dengan Pulau Miangas, yang merupakan bagian dari wilayah RI. Sengketa kepemilikan pulau ini antara Amerika Serikat dan Belanda diselesaikan oleh arbitrator tunggal, Max Hubber, pada 1928, yang menetapkan pulau tersebut sebagai milik Belanda. Pulau Miangas juga dicantumkan dalam UU No. 4/Prp/1960, sedangkan UU Filipina No. 3046/1961 tidak mencantumkan Pulau Miangas sebagai titik dasar. Dalam hal ini, pemerintah Filipina mengakui Pulau Miangas adalah milik Indonesia, sebagaimana tertuang dalam protokol terhadap Persetujuan Ekstradisi RI-Filipina tahun 1976.
Memang harus diakui, pemerintah harus mulai memperhatikan pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain. Selain untuk kepentingan keamanan dan pencegahan sengketa, upaya ini juga penting dilakukan dalam rangka meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat perbatasan.
M. WAHID SUPRIYADI
Direktur Informasi Media
Departemen Luar Negeri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini