Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka, lahirlah pemimpin-permimpin buruh baru (dia sendiri bukan buruh) yang berdasi. Kerjanya memeras tauke-tauke pabrik dengan ancaman pemogokan, juga atas nama reformasi. Para tokoh desa sampai kota ramai-ramai bersaing menjadi anggota dewan kelurahan dan dewan kota, juga atas nama reformasi. Ada yang minta keadilan dengan memberontak dan memusuhi tentara, ada mahasiswa yang kalap dalam demo, mereka melempari petugas dengan bom molotov, ada anak-anak masa lalu yang menikmati cara mengutuk Golkar dan Orde Baru, ada pecundang di DPR yang tak mau menghadapi kenyataan, ada pemenang di DPR yang ingin mengambil semuanya, ada menteri yang tak pernah jelas kerjanya, tak bisa merencanakan sesuatu karena ketar-ketir kapan diganti dan sampai kapan pemerintahan ini bertahan.
Itu semuanya atas nama reformasi. Bangsa ini seolah lupa bahwa yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang tak pernah ia kenali. Sekadar kelatahan karena kalau tak teriak demikian disebut sisa-sisa Orde Baru dan pendukung status quo. Santri-santri di kampung dengan para kiainya tiba-tiba membludak di jalan-jalan meneriakkan yel-yel yang bukan kemauan mereka sendiri. Kenapa aku anti-Orde Baru, padahal pesantrenku dibangun pada masa Orde Baru. Kenapa anti-Golkar padahal masjidku sumbangan Golkar, begitu serunya dalam hati.
Singkatnya, reformasi telah membuat orang bebas menyatakan diri, apa saja maunya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah ketidakteraturan, benturan, dunia berubah mejadi rimba raya tanpa hukum. Tatanan sosial, ekonomi, dan politik menjadi tidak menentu dan tak kunjung selesai karena pertengkaran konsep ke konsep. Maka, kita bertanya, adakah kebebasan membantu kita benar-benar bebas? Atau dengan kebebasan itu kita menuju penjara baru bagi kemanusiaan bangsa kita?
Bagaimanapun, jika kondisi ekonomi, sosial, dan politik tempat keseluruhan proses individuasi manusia bergantung tidak menawarkan suatu basis bagi realisasi individualitas, sementara pada saat yang sama masyarakat telah kehilangan ikatan yang memberinya keamanan, kondisi seperti itu menjadikan kebebasan suatu beban yang tak tertahankan. Kebebasan kemudian menjadi identik dengan keraguan, dengan jenis kehidupan yang tak bermakna dan tak terarah. Kecenderungan-kecenderungan yang sangat ketat muncul untuk lari dari jenis kebebasan ini ke dalam kepatuhan, atau berbagai jenis hubungan dengan manusia dan dunia yang menjanjikan pembebasan dari ketakpastian, sekalipun kepatuhan mencabut individu dari kebebasannya.
Karena itu, reformasi seharusnya mengurus masa depan dengan penciptaan sistem dan aturan yang diperlukan. Reformasi seharusnya membangun kemaslahatan bersama, bukan menciptakan lagi apa yang disebut musuh bersama. Reformasi bukan mengurus masa lalu dan membiarkan orang menikmati dengan kerakusannya untuk balas dendam dan melampiaskan sakit hati. Reformasi mengurus masa depan agar masa depan kita sebagai bangsa bisa hidup normal, lebih bahagia, lebih sejahtera.
YANI WAHID
Jalan Raya Kelapadua Wetan III/No. 23M
Ciracas, Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo