Saya, buruh yang pernah dikirim ke Jepang, ingin menanggapi tulisan tentang pengiriman buruh training ke Jepang (TEMPO, 18 Desember 1993 dan 8 Januari 1994) sebagai berikut: Sebelum dikirim, kami harus menandatangani suatu perjanjian. Isinya antara lain: bekerja di Jepang selama enam bulan, mendapat upah 2.000 yen sehari atau 60.000 yen sebulan, harus mau bekerja lembur, sekembalinya dari Jepang harus bekerja di perusahaan selama dua tahun, dan bila keluar harus mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk biaya bekerja di Jepang tersebut. Kami dilarang melayani wawancara dengan media massa. Larangan ini disampaikan secara lisan. Di Jepang, kami bekerja sesuai dengan tenaga yang dibutuhkan oleh tempat kami dipekerjakan (ARACO Corp.). Kami bekerja bersama-sama dengan buruh Jepang, persis buruh biasa, bukan training. Yang berbeda adalah perlakuan terhadap kami. Buruh Jepang mendapat upah 250.000 yen sebulan (untuk buruh yang baru masuk), sedangkan kami 60.000 yen sebulan. Padahal, kami ditargetkan bekerja lebih ketimbang buruh Jepang. Umpamanya, buruh Jepang ditargetkan merakit lima komponen, sedangkan kami merakit enam komponen. Buruh Jepang mendapat bonus 2.000 sampai 5.000 yen bila mereka bekerja melebihi target, sedangkan kami tidak mendapat bonus. Kami wajib lembur tanpa dibayar. Sebab, kalau tidak lembur, buruh Indonesia tidak diantar ke asrama. Dengan kata lain, mereka harus pulang sendiri. Baru setelah tahun 1991, upah lembur tersebut dibayar di Indonesia, yakni sebesar Rp 1.500 per jam. Pembayarannya dicicil sekali dalam dua bulan. Itu berlangsung selama enam bulan. Kami diasramakan dengan fasilitas: 2 kali makan sehari, susu 250 gram, gula 1 kilogram, dan kopi 300 gram per orang per bulan. Di asrama ini kami diawasi oleh seorang kepala regu. Pada waktu pulang, kami dititipi suku cadang mesin atau perlengkapan produksi. PT Kaldera sudah menyiapkan tenaga untuk mengurusnya bila barang-barang tersebut ditahan oleh pihak yang berwajib di pelabuhan udara. Sesampainya di pelabuhan udara, paspor kami diminta oleh majikan, selanjutnya tidak dikembalikan kepada buruh meskipun buruh tersebut keluar dari PT Kaldera. Dari pengalaman tersebut, memang kami selama di Jepang ditraining, tapi training yang kami jalani adalah kerja keras, bahkan lebih keras daripada buruh Jepang. Memang banyak buruh Indonesia yang tidak tahan dan menuntut pulang, tapi ditolak perusahaan. Barangkali, ini cocok disebut romusha model baru. Nama dan alamat pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini