SUDAH 6 bulan rumah 1000 wayang itu ditutup. Gentingnya yang
bocor, dindingnya yang buruk dan penerangannya yang gawat,
memang perlu sekali ditanggulangi. Museum Wayang satu-satunya
itu terletak di kawasan Taman Fatahillah, Jakarta Kota.
Sejarahnya panjang juga.
Usianya lebih dari seabad. Pada awalnya, gedung berukuran 10 x
70 meter itu sebuah gereja. Kemudian ganti fungsi menjadi kantor
pemerintah Belanda. Pada tahun 1939, tatkala Gubernemen
memindahkan kantor pemerintahannya ke Jakarta Pusat, gedung itu
dijadikan museum. Tapi selama masa pendudukan Jepang segalanya
berantakan. Mebel-mebel jaman baheula banyak yang sirna. Baru
pada tahun 1949, masa federal kata orang, gedung itu ditegakkan
kembali sebagai museum.
Kaset Wayang
Tatkala Museum Kota pada tahun 1975 hijrah ke gedung lain, Ali
Sadikin menyerahkan gedung ini kepada Dinas Museum DKI -- untuk
dimanfaatkan sebagai museum wayang. Usaha Pemerintah DKI lewat
Yayasan Nawangi ini tercetus gara-gara Budiardjo (kini Dubes di
Spanyol) pasang omong dengan Ali Sadikin, sesudati menyaksikan
pameran wayang di TIM -- dalam rangka Pekan Wayang ke II - 1974.
Kedua orang itu sejak semula sependapat bahwa wayang perlu
dirawat, dipertahankan dari kemungkinan kepunahan. Merekalah
yang berpendapat bahwa museum wayang bisa merupakan usaha
melestarikan seni tersebut.
Dengan karcis masuk Rp 50 tak kurang dari 200 - 300 pengunjung
menyaksikan wajah 1000 wayang itu setiap bulan. Bahkan pada
suatu hari Minggu pernah sampai 200 orang. Lumayan 'kan. Ini
cukup membuktikan bahwa usaha ini bukan semacm etalase yang
sia-sia. Apalagi seminggu sekali didemonstrasikan pembuatan
wayang kutit. Sedang pada waktu-waktu tertentu ada pergelaran
wayang, terbuka untuk umum. Dalangnya datang dari berbagai
pelosok.
Tatkala gedung itu belum dapat listrik, pernah terlihat beberapa
orang tamu datang terlalu sore. Bagai melihat pertunjukan teater
kemudian mereka beriring-iring menyaksikan wayang-wayang itu
dengan penerangan lilin. Tentu saja efek dramatik wayang-wayang
tersebut sempat kesabet, tetapi tentunya sudah agak lain dari
keinginan mendirikan museum yang sebenarnya. Yakni memajang
wayang untuk diamati sebagai salah satu kekayaan budaya. Apalagi
di sana bisa diketemukan juga wayang yang sulit dicari. Misalnya
wayang dari Sumatera Utara yang disebut 'si gale-gate' dan
'hula-hula'. Atau beberapa buah wayang Khmer, Muangthai dan Cina
yang berusia ratusan tahun. Ini titipan beberapa orang kolektor.
Pemugaran yang dilakukan sekarang udah layak. Mengingat tidak
kurang 15 sampai 16 ribu datang kini berserakan di seantero
Nusantara. Dalam sarasehan para dalang yang diselenggarakan oleh
Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) di Pandaan Jawa Timur
(akhir Pebruari lalu), sempat dikumpulkan 136 orang dalang.
Menegakkan sebuah museum yang baik, apalagi yang baru
satu-satunya itu, dengan demikian bukan saja pahtas tetapi juga
memang sudah agak terlambat. Mengingat sudah berapa banyak
sekarang barang-barang peninggalan yang entah bagaimana jalannya
tiba-tiba ketemu di luar negeri.
Menyongsong Pekan Wayang ke III di akhir tahun nanti, manakala
pintu museum itu nanti terbuka, barangkali ada baiknya juga
memikirkan kemungkinan menyediakan di sana kaset-kaset wayang.
Soal kaset ini juga menjadi bahan diskudi dalam sarasehan di
Pandaan tadi. Yang kontra menganggap kaset dapat mengurangi
kesempatan pergelaran. Sedang yang setuju menganggapnya bisa
merupakan penggalak apresiasi, sehingga keinginan nonton wayang
bertambah dari berbagai kalangan. Kaset wayang bisa saja
menopang usaha museum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini