Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

"kau telah membunuh bayi-bayiku"

Penyanderaan di markas besar yahudi & pusat islam di washington oleh abdul khaalis sebagai balas dendam atas pembantaian anggota keluarganya.menyerah setelah diplomat islam menyampaikan ayat qur'an.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN main-main. Petistiwa penyanderaan di Washington DC beberapa waktu yang lalu (TEMPO 19 Maret, Luar Negeri), hakikatnya menunjukkan salah satu kesulitan para penyebar Islam di Amerika - tapi juga sebuah hikmah. Dalam penyanderaan itu, kita ketahui, Pusat Islam di Washington terdiri dari masjid, aula, perpustakaan, kantor dan perumahan - menjadi salah satu sasaran dari kaum Islam Hanafi. Mengapa? Semula ada yang berteori bahwa penyanderaan di Pusat Islam itu satu kamuflase belaka. Yang menjadi sasaran utama sebenarnya gedung mewah bertingkat sekian dari organisasi Yahudi B'nai B'rith. Sebab hakim yang mengadili perkara pembunuhan tujuh orang mazhab Hanafi dahulu (TEMPO, 3 Pebruari 1973, Kriminalitas), adalah Yahudi. Pemimpin Hanafi di AS ini, Khamaas Abdul Khaalis - yang lima keluarganya ikut terbunuh, termasuk bayi berumur 19 hari yang ditenggelankan dalam bak mandi - merasa tidak puas dengan jalannya pengadilan, yang menurut pendapatnya kurang serius untuk satu pembunuhan yang luar biasa demikian. Itu dikuatkan juga sedikitnya oleh seorang lain yang mengikuti jalannya sidang, yang diwawancarai TV ketika peristiwa penyanderaan kemarin itu terjadi. Dari tujuh terdakwa, (semuanya dari Black Muslimnya Elijah), lima telah dijatuhi hukuman maksimum antara 100 sampai 200 tahun penjara. Tetapi dua lainnya, "karena kesalahan teknis", dibebaskan. Dalam keadaan emosionil ketika mengikuti jalannya sidang itu Khaalis berteriak: (kepada terdakwa): "Kau telah membunuh bayi-bayiku!" Nah. Untuk teriakan itu, Hakim menjatuhkan pula kepadanya denda 700 dolar. Itu rupanya memperkuat dugaan Khaalis, bahwa pembunuhan terhadap keluarga dan pengikut-pengikutnya itu dilakukan oleh gabungan kekuatan Black Muslim Elijah dan Yahudi. Karena itu gedung markas besar Yahudi trsebut, dengan seratus sekian sandera, diduduki. Selanjutnya teori itu mengatakan: untuk melindungi pembalasan teroris Yahudi yang berpusat di New York (Jewish Defense League), Pusat Islam di Washington sebaiknya juga diduduki. Tetapi kenyataannya tidak begitu. Pendudukan Pusat Islam itu sungguh-sungguh. Dan jiwa para sandera betul-betul terancam, seperti dikemukakan direktur Pusat Islam Dr. Abdurrauf dalam khotbah Jum'atnya 10 jam setelah ia dan sandera-sandera lain dibebaskan. Selama hampir dua hari dua malam, dipenjara dalam kantornya, senjata betul-betul diacungkan terus ke kepala Rauf. Juga seorang pendeta dari kota New York yang ikut terciduk ketika sedang memimpin rombongan turis meninjau masjid yang indah itu, mengatakan: "Rupanya Rauflah yang menjadi sasaran. Bahkan terus-menerus penyandera itu mengatakan: "Kalau polisi menyerbu, kepala Rauf yang terlebih dahulu melayang". Penyandera-penyandera itu siap dengan berbagai bahan kimia, entah untuk apa. "Banyak yang dikatakan oleh penyandera itu, betul adanya" kata Rauf kepada jemaat Jum'at di masjid yang penuh hari itu. "Saya terus ajak bicara mereka, memperbincangkan ajaran Islam dan ayat-ayat Qur'an. Mereka menerima juga, tetapi mereka rupanya sekedar menjalankan instruksi dari pimpinan Khaalis, yang waktu itu ada di Gedung Yahudi B'nai B'rith". Dua orang yang menyandera sembilan orang di kantor Masjid Washigton itu mengaku sendiri, setiap Jum'at datang di masjid dan ikut sembahyang. "Saya kenal seorang di antaranya yang pernah ikut dalam kelas bahasa Arab saya", kata wakil direktur Pusat Islam Abdul Rahman Usman, orang Sudan yang dalam peristiwa itu diikat tangan dan kakinya. Agaknya memang para penyandera itu orang-orang Islam yang bukan sekedar nama. Para diplomat Islam yang berunding dengan mereka, hampir mendapat kesulitan karena Khaalis ternyata tahu banyak tentang Qur'an. Di depan sandera-sandera Yahudi Khaalis juga memberi sekedar "pelajaran" agama Islam: laki-laki dan wanita harus terpisah. Lutut harus ditutup koran. Kalau buang air jangan berdiri kayak kuda. Dan tempat sandera-sandera itu ditahan harus dijaga kebersihannya, karena Islam mengajarkan demikian. Tetapi mengapa Pusat Islam harus jadi sasaran juga? Bekas Pemain Dram Sebab lembaga pimpinan doktor sastra lulusan Oxford itu dianggap orang Islam mazhab Hanafi di Washington (semuanya orang hitam) memihak Black Muslim Elijah Muhammad. "Saya memihak kepada semua orang Islam", kata Dr. Abdurrauf tegas kepada para penyanderanya. Padahal Black Muslim Elijah, di mana Muhammad Ali termasuk di dalamnya, dianggap Khaalis dan teman-temannya bertanggung jawab bukan saja terhadap kematian keluarga dan pengikut-pengikutnya. Tetapi juga Malcolm X, bekas tokoh Black Muslim yang ditembak mati tahun 60-an karena keluar dari gerakan Elijah dan masuk Islam yang sungguh-sungguh. Lebih penting, Malcolm X keluar ari gerakan Elijah antara lain justru oleh tarikan Khaalis (terlahir: Ernest McGee), yang pernah menjadi orang kedua dalam 'Nation of Islam' Elijah itu. Sedang Khaalis sendiri sebenarnya diselundupkan ke dalam organisasi Elijah setelah mendapat pengajian dari seorang Pakistan, Tasiburrudin Rahman. Penembakan terhadap Malcolm X itu ternyata menimbulkan luka mendalam pada Khaalis -- seorang bekas pemain dram pada orkes jazz terkemuka di New York. Lalu pada awal 70-an, ia ingin beramar ma'ruf nahi munkar: menelanjangi kekeliruan ajaran Elijah. Ia kirim surat terbuka kepada sekian puluh pemimpin 'Nation of Islam': dengan pedas menyatakan bahwa Elijah bukan Nabi. Bahwa Islamnya Islam palsu. Bahwa ia tak lain hanya seorang penipu. Ada benarnya. Hanya saja cara yang keras begitu tentu saja menimbulkan amarah - dan membawa akibat pembunuhan keji terhadap keluarga dan pengikut Khaalis. Dan itu bisa difaham, mengingat bahwa orang-orang 'Nation', seperti juga Khaalis sendiri, pertama kali adalah para aktivis hitam yang terkenal militan -- dan Islam itu kurang-lebih seperti hanya merupakan saluran baru saja bagi semangat revolusioner mereka. Ciri seperti itu memang bisa menunjuk pada kekuatan -- di samping sekaligus juga kesulitan. Tapi bagaimana dengan mazhab Hanafi dari Khaalis sendiri? Berbeda dengan kelompok Elijah, mazhab Hanafi - seperti juga mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali - sebenarnya hanya satu aliran penafsiran hukum Islam (fiqh). Ia misalnya tidak menyangkut theologi, ataupun menuntut satu sistim kemasyarakatan tertentu seperti halnya sebuah sekte. Pada masa-masa awal perkembangan Islam (juga di Indonesia dahulu, dan juga di AS sekarang ini), perbedaan penafsiran hukum memang bisa muncul dalam tubuh-tubuh yang lebih nyata. Tetapi sementara perbauran pandangan yang lama dan baru menunjuk kepada semacam "semangat oikumenis", orang Islam sekarang boleh dibilang tidak pernah teringat untuk bertanya: ia termasuk mazhab yang mana. 'Down With Rauf! Akan hal Pusat Islam sendiri, ia memang mengambil sikap netral. Ketika terjadi pembunuhan keluarga dan pengikut Khaalis, Rauf ada menyatakan bela sungkawa dan mendoakan arwah para korban - yang disambut dengan baik oleh para jemaah. Tetapi berbeda dari Khaalis, Rauf tidak memaklumkan perang terhadap Black Muslim. Ia terus mengadakan pendekatan. Dan pimpinan 'Nation of Islam' (Black Muslim) juga telah menyatakan dengan tegas tidak punya sangkut-paut dengan pembunuhan keluarga serta pengikut Khaalis. Artinya, paling sedikit: mereka malu, atau tidak mengakui kebenaran tindakan itu. Bahkan sebelum peristiwa pembunuhan itu, Dr. Rauf pernah berpidato di depan rapat akbar ribuan pengikut Elijah yang di New York. Bahwa Black Muslim di AS merupakan bagian dari sekian ratus juta ummat Islam yang tersebar dari Maroko sampai Merauke, katanya. Rangkulan Rauf ini juga tidak berkenan di hati para pemeluk Islam sejati yang berkulit hitam di Amerika. "Kalau begitu, lalu apa gunanya kami berteriak-teriak menyadarkan pengikut mereka bahwa mereka keliru?" Lalu tersebarlah pamflet-pamflet di halaman Masjid Washington: "Down with Rauf!". Peristiwa terakhir adalah tahun lalu. Pimpinan baru Nation of Islam - setelah meninggalnya Elijah - mengunjungi Pusat Islam di Washington. Dan ini hanyalah sekedar tanda bahwa sepeninggal Elijah, Nation of Islam memang semakin dekat dengan Islam sungguhan (TEMPO, 2 Oktober 1976). Mereka tidak lagi menganggap orang kulit putih sebagai setan. Mereka mulai sembahyang seperti muslim-muslim Indonesia, misalnya. Mulai puasa (yang di zaman Elijah dikatakan tidak perlu). Juga menamakan diri 'Bilalian' - dari nama sahabat hitam kekasih Nabi, yang pertama kali mengalunkan suara azan di dunia: Bilal bin Rabah. Mereka juga merubah nama dari 'Nation of Islam' menjadi yang lebih sederhana: 'The Community of Islam in the West'. Prajurit Vietam Tidakkah Khaalis bergembira dengan perkembangan itu? Dan menyadari bahwa pengorbanan Malcolm X, pengorbanan anak-anaknya sendiri, dan para pengikutnya, tidak sia-sia? Mestinya begitu. Tetapi, kalau difikir-fikir, sangat anehkah seseorang yang lima anggota keluarganya dibunuh begitu keji (termasuk bayi-bayi, ditambah lagi Malcolm X yang turut dia bina dan dia sayangi) tergoda oleh bisikan setan untuk berbuat kekerasan? Lagi pula seperti ia kemukakan, masyarakat tidak begitu mengacuhkan nasibnya. Ketika Presiden Johnson meninggal, Presiden Nixon (waktu itu) mengirim ucapan belasungkawa. Padahal Johnson bertanggung jawab terhadap trbunuhnya prajurit-prajurit Amerika dan rakyat Vietnam di Vietnam katanya. "Sedang saya tidak bersalah apa-apa. Keluarga saya dibunuh begitu, tidak seorangpun pejabat Amerika menyatakan belasungkawa. Tak seorang pun anggota Kongres menyatakan duka-cita". keluhnya, khas protes kalangan masyarakat Negro. Memang benar. Bahkan tetangga-tetangganya sekarang mengaku, dan kata mereka menyesal, mereka waktu itu hanya melihat saja kejadian itu tanpa mengulurkan tangan sedikit pun. Tetangga-tetangga yang tidak seagama, yang sama-sama menempati daerah kelas Menteng di Jalan Enambelas yang terkenal dengan sebutan daerah "pantai emas" karena asrinya itu, cuma melotot. Karena itu jalan yang terlihat oleh Khaalis hanya satu: balas dendam. Ini, kata Khaalis kepada sandera-sanderanya, dibolehkan oleh Qur'an. Ia menyebut prinsip qisas (hukuman setimpal) - tanpa menjelaskan bagaimana "aturan pakai"nya. Maka terjadilah drama itu. Dan, untuk pertama kalinya Islam mendapat publikasi luar biasa yang buruk maupun yang baik. Selama beberapa hari Islam diberi kata sifat: teroris, penculik, penyandera. Malah seorang pembaca harian Washington Star sudah begitu terdorong untuk menulis: "Saya sudah jemu mendengar tentang Islam, Kuraan, Mohammad . . . Agama macam apa ini yang melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk menarik perhatian?" . . . Dari segi lain, orang juga mencatat, bahwa: jiwa kira-kira 100 orang Yahudi dalam gedung itu telah diselamatkan oleh tiga diplomat Islam (dari Pakistan, Iran dan Mesir) yang berhasil meluluhkan hati Khaalis dengan ayat-ayat Quran sendiri. Lalu untuk pertama kali ayat-ayat yang bagusbagus itu jadi tempelan di halaman depan di beberapa koran Amerika. Harian Baltimore Sun menonjolkan kepala berita: Ketakaburan Terorisme Luluh oleh Ayat-Ayat Quraan. Berita analisa itu dimulai dengan kutipan S. Almaidah ayat 2 dengan huruf miring, seperti karangan di ruang Mimbar Jum'at saja: 'Dan janganlah sekali-kali kebencian satu kaum, yang sampai-sampai menutup jalanmu dari Masjid Suci, mendorong kamu untuk bertindak melanggar batas. Tolong-menolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan'. Mingguan Time, yang juga menyelipkan ayat itu di samping sebuah yang lain, juga mengutip ucapan seorang duta yang mengatakan, bahwa ayat itulah yang paling menyentuh jantung dari seluruh keributan - dan jantung Khaalis sendiri. Tidak diceritakan, bahwa sesudah itu Khaalis menangis. Maka orang pun seperti tersentak kembali untuk mengetahui tentang Islam. Seorang sarjana wanita ahli Islam dari Universitas Georgetown, yang dimintai pendapatnya lewat TV, menyatakan: "Islam adalah agama yang damai, bahkan mazhab Hanafi sekalipun". Dalam wawancara itu bahkan seorang sejarawan Negro bukan-lslam, yang banyak melakukan riset tentang Islam, mengeluh: "Mengapa diperlukan peristiwa-peristiwa seperti ini di Amerika, untuk membangkitkan minat buat mengetahui Islam yang sebenarnya?" Lantas seorang Yahudi, yang tidak terlibat dalam peristiwa itu, berkirim surat kepada Dutabesar Mesir: "Terimakasih Tuan Ambasador, atas bantuan Tuan membebaskan sandera-sandera Yahudi itu... Banyak pandangan saya mulai berubah sekarang". Seorang lain, dari negara bagian South Carolina, menulis: "Tindakan ambasador-ambasador Islam yang tidak pandang bulu untuk menyelamatkan semua sandera itu, telah membuat pandangan saya tentang Islam jauh lebih baik". Menarik juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus