JANGAN main-main. Petistiwa penyanderaan di Washington DC
beberapa waktu yang lalu (TEMPO 19 Maret, Luar Negeri),
hakikatnya menunjukkan salah satu kesulitan para penyebar Islam
di Amerika - tapi juga sebuah hikmah. Dalam penyanderaan itu,
kita ketahui, Pusat Islam di Washington terdiri dari masjid,
aula, perpustakaan, kantor dan perumahan - menjadi salah satu
sasaran dari kaum Islam Hanafi. Mengapa?
Semula ada yang berteori bahwa penyanderaan di Pusat Islam itu
satu kamuflase belaka. Yang menjadi sasaran utama sebenarnya
gedung mewah bertingkat sekian dari organisasi Yahudi B'nai
B'rith. Sebab hakim yang mengadili perkara pembunuhan tujuh
orang mazhab Hanafi dahulu (TEMPO, 3 Pebruari 1973,
Kriminalitas), adalah Yahudi. Pemimpin Hanafi di AS ini, Khamaas
Abdul Khaalis - yang lima keluarganya ikut terbunuh, termasuk
bayi berumur 19 hari yang ditenggelankan dalam bak mandi -
merasa tidak puas dengan jalannya pengadilan, yang menurut
pendapatnya kurang serius untuk satu pembunuhan yang luar biasa
demikian.
Itu dikuatkan juga sedikitnya oleh seorang lain yang mengikuti
jalannya sidang, yang diwawancarai TV ketika peristiwa
penyanderaan kemarin itu terjadi. Dari tujuh terdakwa, (semuanya
dari Black Muslimnya Elijah), lima telah dijatuhi hukuman
maksimum antara 100 sampai 200 tahun penjara. Tetapi dua
lainnya, "karena kesalahan teknis", dibebaskan. Dalam keadaan
emosionil ketika mengikuti jalannya sidang itu Khaalis
berteriak: (kepada terdakwa): "Kau telah membunuh bayi-bayiku!"
Nah. Untuk teriakan itu, Hakim menjatuhkan pula kepadanya denda
700 dolar.
Itu rupanya memperkuat dugaan Khaalis, bahwa pembunuhan terhadap
keluarga dan pengikut-pengikutnya itu dilakukan oleh gabungan
kekuatan Black Muslim Elijah dan Yahudi. Karena itu gedung
markas besar Yahudi trsebut, dengan seratus sekian sandera,
diduduki. Selanjutnya teori itu mengatakan: untuk melindungi
pembalasan teroris Yahudi yang berpusat di New York (Jewish
Defense League), Pusat Islam di Washington sebaiknya juga
diduduki.
Tetapi kenyataannya tidak begitu. Pendudukan Pusat Islam itu
sungguh-sungguh. Dan jiwa para sandera betul-betul terancam,
seperti dikemukakan direktur Pusat Islam Dr. Abdurrauf dalam
khotbah Jum'atnya 10 jam setelah ia dan sandera-sandera lain
dibebaskan. Selama hampir dua hari dua malam, dipenjara dalam
kantornya, senjata betul-betul diacungkan terus ke kepala Rauf.
Juga seorang pendeta dari kota New York yang ikut terciduk
ketika sedang memimpin rombongan turis meninjau masjid yang
indah itu, mengatakan: "Rupanya Rauflah yang menjadi sasaran.
Bahkan terus-menerus penyandera itu mengatakan: "Kalau polisi
menyerbu, kepala Rauf yang terlebih dahulu melayang".
Penyandera-penyandera itu siap dengan berbagai bahan kimia,
entah untuk apa.
"Banyak yang dikatakan oleh penyandera itu, betul adanya" kata
Rauf kepada jemaat Jum'at di masjid yang penuh hari itu. "Saya
terus ajak bicara mereka, memperbincangkan ajaran Islam dan
ayat-ayat Qur'an. Mereka menerima juga, tetapi mereka rupanya
sekedar menjalankan instruksi dari pimpinan Khaalis, yang waktu
itu ada di Gedung Yahudi B'nai B'rith". Dua orang yang
menyandera sembilan orang di kantor Masjid Washigton itu
mengaku sendiri, setiap Jum'at datang di masjid dan ikut
sembahyang. "Saya kenal seorang di antaranya yang pernah ikut
dalam kelas bahasa Arab saya", kata wakil direktur Pusat Islam
Abdul Rahman Usman, orang Sudan yang dalam peristiwa itu diikat
tangan dan kakinya.
Agaknya memang para penyandera itu orang-orang Islam yang bukan
sekedar nama. Para diplomat Islam yang berunding dengan mereka,
hampir mendapat kesulitan karena Khaalis ternyata tahu banyak
tentang Qur'an. Di depan sandera-sandera Yahudi Khaalis juga
memberi sekedar "pelajaran" agama Islam: laki-laki dan wanita
harus terpisah. Lutut harus ditutup koran. Kalau buang air
jangan berdiri kayak kuda. Dan tempat sandera-sandera itu
ditahan harus dijaga kebersihannya, karena Islam mengajarkan
demikian. Tetapi mengapa Pusat Islam harus jadi sasaran juga?
Bekas Pemain Dram
Sebab lembaga pimpinan doktor sastra lulusan Oxford itu dianggap
orang Islam mazhab Hanafi di Washington (semuanya orang hitam)
memihak Black Muslim Elijah Muhammad. "Saya memihak kepada semua
orang Islam", kata Dr. Abdurrauf tegas kepada para
penyanderanya. Padahal Black Muslim Elijah, di mana Muhammad Ali
termasuk di dalamnya, dianggap Khaalis dan teman-temannya
bertanggung jawab bukan saja terhadap kematian keluarga dan
pengikut-pengikutnya. Tetapi juga Malcolm X, bekas tokoh Black
Muslim yang ditembak mati tahun 60-an karena keluar dari gerakan
Elijah dan masuk Islam yang sungguh-sungguh.
Lebih penting, Malcolm X keluar ari gerakan Elijah antara lain
justru oleh tarikan Khaalis (terlahir: Ernest McGee), yang
pernah menjadi orang kedua dalam 'Nation of Islam' Elijah itu.
Sedang Khaalis sendiri sebenarnya diselundupkan ke dalam
organisasi Elijah setelah mendapat pengajian dari seorang
Pakistan, Tasiburrudin Rahman. Penembakan terhadap Malcolm X itu
ternyata menimbulkan luka mendalam pada Khaalis -- seorang bekas
pemain dram pada orkes jazz terkemuka di New York.
Lalu pada awal 70-an, ia ingin beramar ma'ruf nahi munkar:
menelanjangi kekeliruan ajaran Elijah. Ia kirim surat terbuka
kepada sekian puluh pemimpin 'Nation of Islam': dengan pedas
menyatakan bahwa Elijah bukan Nabi. Bahwa Islamnya Islam palsu.
Bahwa ia tak lain hanya seorang penipu.
Ada benarnya. Hanya saja cara yang keras begitu tentu saja
menimbulkan amarah - dan membawa akibat pembunuhan keji terhadap
keluarga dan pengikut Khaalis. Dan itu bisa difaham, mengingat
bahwa orang-orang 'Nation', seperti juga Khaalis sendiri,
pertama kali adalah para aktivis hitam yang terkenal militan --
dan Islam itu kurang-lebih seperti hanya merupakan saluran baru
saja bagi semangat revolusioner mereka. Ciri seperti itu memang
bisa menunjuk pada kekuatan -- di samping sekaligus juga
kesulitan. Tapi bagaimana dengan mazhab Hanafi dari Khaalis
sendiri?
Berbeda dengan kelompok Elijah, mazhab Hanafi - seperti juga
mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali - sebenarnya hanya
satu aliran penafsiran hukum Islam (fiqh). Ia misalnya tidak
menyangkut theologi, ataupun menuntut satu sistim kemasyarakatan
tertentu seperti halnya sebuah sekte. Pada masa-masa awal
perkembangan Islam (juga di Indonesia dahulu, dan juga di AS
sekarang ini), perbedaan penafsiran hukum memang bisa muncul
dalam tubuh-tubuh yang lebih nyata. Tetapi sementara perbauran
pandangan yang lama dan baru menunjuk kepada semacam "semangat
oikumenis", orang Islam sekarang boleh dibilang tidak pernah
teringat untuk bertanya: ia termasuk mazhab yang mana.
'Down With Rauf!
Akan hal Pusat Islam sendiri, ia memang mengambil sikap netral.
Ketika terjadi pembunuhan keluarga dan pengikut Khaalis, Rauf
ada menyatakan bela sungkawa dan mendoakan arwah para korban -
yang disambut dengan baik oleh para jemaah. Tetapi berbeda dari
Khaalis, Rauf tidak memaklumkan perang terhadap Black Muslim. Ia
terus mengadakan pendekatan. Dan pimpinan 'Nation of Islam'
(Black Muslim) juga telah menyatakan dengan tegas tidak punya
sangkut-paut dengan pembunuhan keluarga serta pengikut Khaalis.
Artinya, paling sedikit: mereka malu, atau tidak mengakui
kebenaran tindakan itu.
Bahkan sebelum peristiwa pembunuhan itu, Dr. Rauf pernah
berpidato di depan rapat akbar ribuan pengikut Elijah yang di
New York. Bahwa Black Muslim di AS merupakan bagian dari sekian
ratus juta ummat Islam yang tersebar dari Maroko sampai Merauke,
katanya. Rangkulan Rauf ini juga tidak berkenan di hati para
pemeluk Islam sejati yang berkulit hitam di Amerika. "Kalau
begitu, lalu apa gunanya kami berteriak-teriak menyadarkan
pengikut mereka bahwa mereka keliru?" Lalu tersebarlah
pamflet-pamflet di halaman Masjid Washington: "Down with Rauf!".
Peristiwa terakhir adalah tahun lalu. Pimpinan baru Nation of
Islam - setelah meninggalnya Elijah - mengunjungi Pusat Islam di
Washington. Dan ini hanyalah sekedar tanda bahwa sepeninggal
Elijah, Nation of Islam memang semakin dekat dengan Islam
sungguhan (TEMPO, 2 Oktober 1976). Mereka tidak lagi menganggap
orang kulit putih sebagai setan. Mereka mulai sembahyang seperti
muslim-muslim Indonesia, misalnya. Mulai puasa (yang di zaman
Elijah dikatakan tidak perlu). Juga menamakan diri 'Bilalian' -
dari nama sahabat hitam kekasih Nabi, yang pertama kali
mengalunkan suara azan di dunia: Bilal bin Rabah. Mereka juga
merubah nama dari 'Nation of Islam' menjadi yang lebih
sederhana: 'The Community of Islam in the West'.
Prajurit Vietam
Tidakkah Khaalis bergembira dengan perkembangan itu? Dan
menyadari bahwa pengorbanan Malcolm X, pengorbanan anak-anaknya
sendiri, dan para pengikutnya, tidak sia-sia?
Mestinya begitu. Tetapi, kalau difikir-fikir, sangat anehkah
seseorang yang lima anggota keluarganya dibunuh begitu keji
(termasuk bayi-bayi, ditambah lagi Malcolm X yang turut dia bina
dan dia sayangi) tergoda oleh bisikan setan untuk berbuat
kekerasan? Lagi pula seperti ia kemukakan, masyarakat tidak
begitu mengacuhkan nasibnya. Ketika Presiden Johnson meninggal,
Presiden Nixon (waktu itu) mengirim ucapan belasungkawa. Padahal
Johnson bertanggung jawab terhadap trbunuhnya prajurit-prajurit
Amerika dan rakyat Vietnam di Vietnam katanya. "Sedang saya
tidak bersalah apa-apa. Keluarga saya dibunuh begitu, tidak
seorangpun pejabat Amerika menyatakan belasungkawa. Tak seorang
pun anggota Kongres menyatakan duka-cita". keluhnya, khas protes
kalangan masyarakat Negro.
Memang benar. Bahkan tetangga-tetangganya sekarang mengaku, dan
kata mereka menyesal, mereka waktu itu hanya melihat saja
kejadian itu tanpa mengulurkan tangan sedikit pun.
Tetangga-tetangga yang tidak seagama, yang sama-sama menempati
daerah kelas Menteng di Jalan Enambelas yang terkenal dengan
sebutan daerah "pantai emas" karena asrinya itu, cuma melotot.
Karena itu jalan yang terlihat oleh Khaalis hanya satu: balas
dendam. Ini, kata Khaalis kepada sandera-sanderanya, dibolehkan
oleh Qur'an. Ia menyebut prinsip qisas (hukuman setimpal) -
tanpa menjelaskan bagaimana "aturan pakai"nya. Maka terjadilah
drama itu.
Dan, untuk pertama kalinya Islam mendapat publikasi luar biasa
yang buruk maupun yang baik. Selama beberapa hari Islam diberi
kata sifat: teroris, penculik, penyandera. Malah seorang pembaca
harian Washington Star sudah begitu terdorong untuk menulis:
"Saya sudah jemu mendengar tentang Islam, Kuraan, Mohammad . . .
Agama macam apa ini yang melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk
menarik perhatian?" . . .
Dari segi lain, orang juga mencatat, bahwa: jiwa kira-kira 100
orang Yahudi dalam gedung itu telah diselamatkan oleh tiga
diplomat Islam (dari Pakistan, Iran dan Mesir) yang berhasil
meluluhkan hati Khaalis dengan ayat-ayat Quran sendiri. Lalu
untuk pertama kali ayat-ayat yang bagusbagus itu jadi tempelan
di halaman depan di beberapa koran Amerika.
Harian Baltimore Sun menonjolkan kepala berita: Ketakaburan
Terorisme Luluh oleh Ayat-Ayat Quraan. Berita analisa itu
dimulai dengan kutipan S. Almaidah ayat 2 dengan huruf miring,
seperti karangan di ruang Mimbar Jum'at saja: 'Dan janganlah
sekali-kali kebencian satu kaum, yang sampai-sampai menutup
jalanmu dari Masjid Suci, mendorong kamu untuk bertindak
melanggar batas. Tolong-menolonglah kamu dalam hal kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan'.
Mingguan Time, yang juga menyelipkan ayat itu di samping sebuah
yang lain, juga mengutip ucapan seorang duta yang mengatakan,
bahwa ayat itulah yang paling menyentuh jantung dari seluruh
keributan - dan jantung Khaalis sendiri. Tidak diceritakan,
bahwa sesudah itu Khaalis menangis.
Maka orang pun seperti tersentak kembali untuk mengetahui
tentang Islam. Seorang sarjana wanita ahli Islam dari
Universitas Georgetown, yang dimintai pendapatnya lewat TV,
menyatakan: "Islam adalah agama yang damai, bahkan mazhab Hanafi
sekalipun". Dalam wawancara itu bahkan seorang sejarawan Negro
bukan-lslam, yang banyak melakukan riset tentang Islam,
mengeluh: "Mengapa diperlukan peristiwa-peristiwa seperti ini di
Amerika, untuk membangkitkan minat buat mengetahui Islam yang
sebenarnya?"
Lantas seorang Yahudi, yang tidak terlibat dalam peristiwa itu,
berkirim surat kepada Dutabesar Mesir: "Terimakasih Tuan
Ambasador, atas bantuan Tuan membebaskan sandera-sandera Yahudi
itu... Banyak pandangan saya mulai berubah sekarang". Seorang
lain, dari negara bagian South Carolina, menulis: "Tindakan
ambasador-ambasador Islam yang tidak pandang bulu untuk
menyelamatkan semua sandera itu, telah membuat pandangan saya
tentang Islam jauh lebih baik". Menarik juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini