Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat usia ABRI genap 53 tahun kini, masyarakat berharap dari institusi ABRI akan berembus angin baru, tidak sekadar untuk memperbaiki citranya, juga untuk lebih mempertegas sikap dan tanggung jawabnya terhadap berbagai kejadian "salah urus" atau "salah prosedur" sebagai akibat dari keterlibatan ABRI--yang terlalu jauh--dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada hari ulang tahunnya itu, masyarakat sebenarnya sangat berharap bahwa ABRI mengeluarkan berbagai pernyataan sikap seperti:
- Mencabut dwifungsi ABRI.
- Memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakat terhadap upaya penegakan hukum terhadap setiap bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat ABRI kepada rakyat sipil yang tak berdosa.
- Memperbaiki paradigma pemahamannya terhadap setiap bentuk pelanggaran hak asasi yang dilakukan aparat ABRI, sehingga tidak lagi menyatakan pelanggaran itu sebagai bagian dari kebijakan dan rekayasa politik penguasa saat itu, namun mengakui pelanggaran itu dan diselesaikan secara hukum.
- Membatasi seminimal mungkin personel ABRI di DPR/MPR sehingga lebih "rasional" dan proposional.
Namun, sebagaimana disaksikan melalui berbagai media, yang muncul adalah lagu lama, seperti yang selama ini kerap ditunjukkan. ABRI menolak kebenaran dan kenyataan terhadap bukti-bukti konkret yang dibeberkan masyarakat tentang tindakan salah langkah ABRI berikut dampaknya, yang kesemuanya merupakan akibat dari kesalahan pimpinan ABRI dalam menanamkan doktrin dwifungsi dan kekaryaan ABRI.
Contoh konkret misalnya tindakan protektif yang diberikan terhadap para perwira tinggi (dan mantan perwira tinngi) ABRI, padahal mereka jelas-jelas terlibat tindak pidana berdarah dari berbagai insiden sepanjang Orde Baru. Akibatnya, hukum pun tak bisa menyentuh dan menjangkau mereka. Apakah "hak istimewa" macam itu pantas dilestarikan pada era reformasi ini?
Dengan sikap seperti itu, ABRI dan rezim Habibie tidak mempunyai keberanian menegakkan hukum, mengadili Soeharto yang mantan jenderal dan presiden, meskipun terlibat tindak pidana.
Sikap ini tak menggubris tuntutan orang banyak. ABRI sebagai pilar terpenting tegaknya hukum dan hak asasi seharusnya menindaklanjuti tuntutan tersebut.
Bahkan lebih jauh Jenderal TNI Wiranto cenderung mengaburkan permasalahan yang sesungguhnya, dengan mengatakan: "....komponen aparatur yang melaksanakan kegiatan dapat ditakar dengan sistem politik yang berlaku saat itu. Akan naif dan tak adil bila diukur dengan sistem politik yang lain...." Padahal itu merupakan dalih semata untuk menutupi "ketidakberanian" institusi ABRI mengadili senior-senior mereka sendiri.
Sebagai anggota masyarakat, saya sangat kecewa dan tentu saja akan terus berjuang hingga muncul kesadaran seperti yang diharapkan.
UMAR ABDUH
Komp. Masjid Al-Ihsan
Proyek Pasarrumput
Jalan Sultan Agung, Manggarai
Jakarta Selatan 12970
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo