Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi yang skeptis, muncul anggapan bahwa tokoh-tokoh ini sudah bosan bermain di luar gelanggang sebagai cendekiawan, dan kini mulai punya ambisi kepada kekuasaan. Sebagai cendekiawan, kata orang-orang ini, mereka sudah berkhianat.
Seperti pandangan Julien Benda dalam Pengkhianatan Kaum Cendekiawan. Ia mengatakan para cendekiawan seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis. Cendekiawan, meminjam istilah W. S. Rendra, seharusnya "berumah di atas angin", di tempat tinggi jauh dari dunia yang fana. Mereka hanya turun sesekali untuk memperdengarkan suara kenabiannya.
Tapi ada pendapat lain. Dengan tidak terlibat, para cendekiawan bukan saja pandangannya jadi steril, tapi juga pengetahuannya tentang permasalahan yang ada menjadi abstrak. Para cendekiawan yang tidak terlibat hanya bisa menyuarakan hal-hal yang normatif. Bukan tidak perlu, tapi kurang lengkap.
Saya sebenarnya terlibat pada pergumulan ini sejak 1966. Banyak aktivis mahasiswa pada saat itu, setelah Orde Baru dimenangkan, menghadapi pilihan: kembali ke bangku kuliah dan menjadi sarjana atau terjun ke politik praktis. Sebagai orang yang ikut mencetuskan pandangan bahwa "keterlibatan mahasiswa seharusnya hanya terbatas sebagai gerakan moral", saya menentang tokoh-tokoh mahasiswa yang ditunjuk oleh Presiden Soeharto menjadi anggota parlemen.
Tapi saya juga mengatakan, kalaupun memang pilihannya didasarkan pada idealisme memperbaiki bangsa ini, saya bisa menerimanya. Untuk itu mereka harus membuktikan dirinya tidak terlibat dalam praktek korupsi ekonomi dan kolusi politik dengan penguasa. Kemudian ternyata hanya sebagian kecil yang "lulus", sebagian besar terbawa arus kekuasaan yang korup.
Ketika pada 1978 saya bertemu dengan Clifford Geertz di Institute for Advanced Studies di Princeton, Amerika Serikat, persoalan ini muncul lagi. Saya sedang menulis desertasi dan setelah selesai akan pulang ke Indonesia. Saya masih bingung, peran apa yang mau saya jalankan. Saya senang pada dunia akademis dan kecendekiawanan, tapi saya juga senang menjadi aktivis dan terjun ke politik praktis.
Tapi Geertz menasihati, sebaiknya saya menjadi seorang cendekiawan saja. Dibutuhkan orang yang bisa berpikir dan mengambil jarak, untuk memberikan inspirasi kepada para aktivis. "Banyak orang bisa menjadi aktivis, tapi hanya sedikit yang bisa menjadi cendekiawan," katanya. Ketika pulang dan bekerja di Universitas Kristen Satya Wacana sebagai akademisi, kenyataannya saya terlibat dalam banyak kegiatan lembaga swadaya masyarakat, di Salatiga, Yogya, dan Jakarta, bahkan internasional.
Pada 1990-an saya terlibat dalam sebuah percakapan dengan Kwik Kian Gie, yang baru menjadi pengurus PDI. Dia mangatakan bahwa saya seharusnya mengikuti jejaknya, jangan hanya "berumah di atas angin". Saya menolak dan mengatakan saya hanya akan dilelahkan oleh pertikaian-pertikaian kecil yang tidak terlalu berguna. Saya lebih senang memakai waktu saya untuk membaca, berpikir, dan menulis.
Tanpa sadar, saya ternyata mengambil posisi bahwa tidak menjadi masalah di mana seseorang itu mau berjuang. Di dalam atau di luar pemerintah, di kalangan atau di luar kalangan partai politik, di dunia akademis atau di kalangan masyarakat, bagi saya sama saja. Yang penting idealismenya: apakah dia masih setia kepada idealisme ini atau sudah memanipulasinya untuk keuntungan pribadi.
Bagi saya, kedua pekerjaan tersebut saling melengkapi dan sama bergunanya. Dibutuhkan orang yang bekerja di lapangan bergumul dengan lumpur tempat berlaga. Dalam kesibukannya, kemungkinan besar orang-orang ini tidak sempat lagi berpikir, sehingga tindakannya jadi tidak didasarkan pada pertimbangan yang mendalam. Di sinilah perlunya para cendekiawan yang kerjanya cuma berpikir, mengambil jarak dari keterlibatan dalam soal-soal praktis, tidak dibebani oleh intrik organisasi yang serba menjengkelkan. Hanya dengan begini mereka mungkin bisa berpikir lebih jernih. Kedua kelompok ini harus disaling-hubungkan, saling melengkapi.
Kalau pendapat ini yang diikuti, para cendekiawan pemikir yang mengambil jarak dari persoalan praktis dapat diumpamakan sebagai "mata", para politisi yang terjun dan bergumul di dalam dunia nyata adalah "kaki". Tentu saja ini tidak berarti apa yang dilihat oleh mata lebih tinggi nilainya dari apa yang dihadapi oleh kaki. Juga tidak berarti bahwa apa yang dilihat oleh mata lebih tinggi derajat kebenarannya ketimbang kaki. Keduanya punya kekurangan dan kelebihannya sendiri. Keduanya mungkin juga punya logika yang lain: mata, teoretis dan normatif, sedangkan kaki, praktis dan pragmatis. Tanpa para cendekiawan, masyarakat bisa menjadi buta. Tanpa aktivis, masyarakat bisa menjadi lumpuh.
Karena itu, saya pribadi menyambut dengan baik terjunnya para cendekiawan ke kancah politik praktis, baik di partai politik maupun di dalam pemerintahan. Dengan ikut sertanya mereka (tentu saja yang tetap idealis), dapat diharapkan bahwa partai politik dan pemerintah kita akan bertambah mutunya. Ini jelas akan merupakan sumbangan bagi kehidupan demokrasi yang baru merebak di tanah air kita ini.
Namun perlu juga diingat bahwa kita juga membutuhkan para cendekiawan yang independen, yang mengambil jarak dari lumpur dunia nyata. Mereka akan selalu memberi inspirasi baru bagi orang di lapangan. Dan sering mereka harus menempuh jalan yang lebih sunyi, lebih berbahaya, dan lebih kelabu dalam menyuarakan nurani mereka, terutama pada saat kekuasaan sudah mulai tidak terkontrol dan korup.
Arief Budiman
Profesor ilmu politik Melbourne University, Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo