Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Sekali lagi tentang 'jawa'

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA merasa geli membaca Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad di TEMPO, edisi 19 Desember 1999, tentang Jawa. Ia menulis bahwa "Jawa yang sebenarnya tak pernah ada. Yang ada paling-paling Sala yang berbeda dari Yogya, Yogya Kauman yang berbeda dengan Yogya Keraton. ... Banyumas yang berbeda dengan Tegal ...." Memang Jawa sebenarnya hanya antropogenetik. Kelompok budaya yang bergerak dalam siklus waktu, tempat, dan habitat. Jawa sebagai suku atau masyarakat akan tetap memiliki kontinuitas dan selalu heterogen. Goenawan mungkin tidak ingat bagaimana masyarakat pesisir Pekalongan sering menyebut suatu figur sebagai jenis "Jawa kowek". Konotasi kowek ini kadang bersifat menyindir, kampungan, bodoh, tapi mengaku pinter, kasar tapi lugu. Dan istilah kowek ini akhirnya berkembang pada predikat sosial, orang yang dituduh berbuat ceroboh disebutnya "tasban-kowek", politisi tolol dosebut politisi-kowek. Sampai seorang menantu yang kesal sama mertuanya menuduh mertua-kowek. Begitu juga sebaliknya. Tapi, benarkah predikat Jawa-kowek ini selamanya mengandung markhamah yang negatif? Pada mulanya adalah tentara pendudukan Belanda yang menggaji orang-orang pribumi untuk dijadikan pembantu sepanjang perang kemerdekaan (1947-1949) yang menggunakan istilah itu. Opsir oranye itu, jika marah kepada pembantunya yang dianggap tidak becus, sering menggunakan istilah "jawa kowek". "Si jongos" sebetulnya bukannya tidak becus, dia adalah agen gerilya yang sedang meneliti situasi markas Belanda itu untuk dilaporkan kepada satuan tugasnya. Ia memang sengaja berlaku bodoh, lugu, dan blo'on, agar tidak dicurigai. Dengan demikian, markhamah sesungguhnya tentang "jawa-kowek" adalah suatu sikap kepura-puraan, menyelinapkan suatu kepentingan di balik tujuan tertentu. Nilai plus-minus "si jawa-kowek" ini sangat bergantung pada hasil kerja yang final. Si jongos Belanda yang pura-pura kowek itu jelas kowek yang terpuji. Orang kowek apa pun peranannya, baik dia asal Jawa atau Sumatra, tidak bisa dipertegas dengan simbol kesukuan atau bangsa. Apakah kalau yang namanya Madura pasti suka berantem? Orang Batak pasti pandai main catur? Madura-kowek, Batak-kowek lain pula kepura-puraannya. Jim Hoagland, seperti dikutip Goenawan yang menyebutnya sejumlah pemimpin Indonesia kebanyakan jawa-politicians dalam artian sikap mentalnya, nyaris menyimpulkan orang Jawa tidak becus, itu tidak berbeda dengan opsir Belanda pada masa pendudukan. Saya tidak berkecil hati dengan cemooh itu. YUNUS MUKRI ADI Pekajangan 9/24, Pekalongan 51172 Jawa Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus