Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMPOR senjata oleh Kepolisian Republik Indonesia dari Bulgaria dituding bermasalah. Sebanyak 280 pucuk pelontar granat dan 5.932 butir amunisi Castior round RLV-HEFJ hingga Rabu pekan lalu masih tertahan di gudang Bandar Udara Soekarno-Hatta. Senjata itu tak bisa dikirim ke markas Korps Brigade Mobil lantaran belum mendapat rekomendasi dari Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia.
Sebelumnya, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan ada instansi nonmiliter membeli 5.000 pucuk senjata. "Polisi tak boleh memiliki senjata yang bisa menembak tank, pesawat, dan kapal. Saya serbu kalau ada," katanya. Tapi Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebutkan pembelian senjata oleh Polri sesuai dengan prosedur. "Sudah ada suratnya," ujar Ryamizard, Selasa pekan lalu.
Persoalan impor senjata ilegal pernah diulas majalah Tempo edisi 1 Februari 1992. Dalam artikel berjudul "Senjata Ilegal 15 Tahun Silam", disebutkan yang menjadi tertuduh adalah Laksamana Pertama Purnawirawan Kumoro Utoyo.
Di hadapan Mahkamah Militer Tinggi, Medan, Kumoro Utoyo, saat itu 64 tahun, berdiri mendengar dakwaan Oditur Brigadir Jenderal M. Husni. Bekas Kepala Staf Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) I Sumatera-Kalimantan Barat tersebut dituduh mengimpor 4.000 senjata beserta 2,5 juta butir peluru secara ilegal 15 tahun sebelumnya. Menurut oditur, Utoyo bekerja sama dengan Direktur CV Maju Makmur, Muhammad Zein Ilyas, untuk mengimpor alat utama sistem persenjataan tersebut.
Kumoro diduga menyamarkan senjata dan amunisi tersebut dalam peti berlabel sporting goods yang diangkut dengan pesawat dan mendarat di Bandara Polonia, Medan, pada 11 dan 12 Maret 1997. Sebanyak 225 senjata dalam peti itu dialamatkan ke Kowilhan I. Tujuannya agar Bea-Cukai tak ketat memeriksa peti.
Kamuflase serupa dilakukan untuk 24 senjata pada 30 April 1977. Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sudah curiga. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean memerintahkan penghentian impor itu. Senjata dan peluru yang telanjur masuk disita, dan Zein Ilyas ditahan. Kumoro, setahun sebelumnya, berpindah tugas menjadi Gubernur Akademi Angkatan Laut di Surabaya.
Zein pada Januari 1976 menginformasikan bahwa Kepala Daerah Kepolisian (kini Kepala Kepolisian Daerah) IV Sumatera Bagian Selatan ingin menarik senjata standar ABRI dari beberapa perkebunan. Zein merayu Kumoro agar mengembangkan ide itu menjadi gagasan Kowilhan sehingga penarikan itu diberlakukan untuk semua perusahaan negara perkebunan di Sumatera dan Kalimantan Barat. Zein siap mengimpor senjata standar non-ABRI itu.
Menurut oditur, Zein menjanjikan Kumoro komisi Rp 180 juta dari omzet penjualan Rp 1,8 miliar. Pada 6 April 1976, mewakili Panglima Kowilhan, Kumoro menyetujui kontrak itu. Penandatanganan baru dilakukan pada 24 Maret 1977 antara Kowilhan yang diwakili Kolonel Zainuddin Hasibuan, Ketua G4/Logistik, dan Zein.
Bermodalkan surat kontrak itulah Zein mengontak pabrik senjata Wische, Wilsker & Co, Erlanggen, Jerman Barat, dan pabrik peluru Jenas Air Graft and Arma Co Inc, New York, Amerika Serikat. Kedua pabrik ini kemudian memenuhi permintaan Zein. Namun, ketika sebagian pesanan datang, Menhankam menyetopnya karena belum memperoleh izin resmi dari Mabes ABRI.
Kumoro menyangkal tuduhan oditur. "Saya berada di jalur yang benar dalam pengadaan senjata-senjata itu. Dan secara hukum saya tidak lagi berwenang di Kowilhan," ujarnya. Sejak 6 April 1976, ia tidak menduduki jabatan itu setelah digantikan Laksamana Pertama Brata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo