Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sepatu ahmad di kota bambu

Ahmad anwar, pembuat sepatu ortopedi dan banyak dicari orang cacat badaniah. banyak dokter dan rumah sakit yang memesan segala keperluan ortopedi kepadanya. (ils)

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GADIS cilik itu melangkah dengan amat sulit. Gang kecil yang sedang dilaluinya tampak lebih panjang dari semestinya, seakan tak ada ujung. Ia semakin terpincang. Sebab satu di antara kakinya seakan tak berdaya menampung tubuhnya yang ramping. Kaki ini tidak lurus, bahkan tidak tumbuh dengan sempurna. Tapi sang ibu yang menuntunnya dengan sabar, toh masih mempunyai harapan. Gadis bersama ibunya itu sedang menuju rumah Ahmad Anwar, si tukang sepatu khusus untuk penderita ortopedi. Di rumah kecil beratap seng dalam gang itulah tinggal Ahmad Anwar. Rumah yang dikontraknya itu nyaris menempel di pagar Sekolah Dasar Kartini, kampung Kota Bambu Petamburan, kawasan Tanah Abang Jakarta -- dan banyak dicari orang cacat badaniah. Sama seperti ibu yang menuntun gadis ciliknya itu. Rasa lega menyelinapi hati mereka begitu Ahmad Anwar membaca "surat pesanan" dari seorang dokter. Kaki si gadis cilik tadi diperiksa. Diawasinya bagaimana letak kaki kalau berjalan. Diukur. Sepotong grip dilekatkan ke betis si gadis. "Sifatnya hanya membantu melempangkan dulu," ujar Ahmad. Dan dengan beberapa kali bongkar pasang, nanti akan didapat kecocokan ukuran sepatu dan bentuk grip-grip penolong. Mata si ibu bersmar kegirangan, walau pun dia tahu gadis ciliknya tak mungkin berlari-lari seperti gadis lain. Tetapi dengan sepatu model Ahmad Anwar, seluruh proporsi tubuh akan banyak menolong pertumbuhan tubuhnya. Ahmad Anwar berasal dari Pekalongan. Ayahnya dulu tukang-sepatu biasa. Tetapi hati Ahmad tidak pernah tergerak untuk membuka toko seperti ayahnya. Sebelum 1960, dia bekerja pada seorang Belanda yang mempunyai keahlian seperti dia miliki sekarang membuat sepatu ortopedi. Tetapi si Belanda harus pindah ke Australia ketika persoalan Irian Barat. Ahmad kemudian bekerja sama dengan Haji Wahabi. Mulai saat itu, dia menerima resep-resep dokter Ahli Bedah Ortopedi. Tahun 1969, kompanyon Wahabi-Ahmad buyar. Ahmad pulang ke Pekalongan. Tapi tak lama. Tahun berikutnya dia kembali ke Jakarta. Sejak saat itu dia mulai mengkhususkan diri membuat sepatu ortopedi. Kebetulan dokter Subiyakto (almarhum) yang memberikan pesanan pertama kali padanya. Pesanan ditulis di atas kertas resep. Terkadang dokter Subiyakto menyertakan buku ortopedi yang penuh gambar letak-letak grip dan model-model sepatu untuk segala macam cacat tubuh. Ahmad mengkaji dengan sungguh hati dan jadilah dia seperti sekarang. Kemudian semakin banyak dokter yang ingin memesan segala keperluan ortopedi kepadanya. Tidak jarang pesanan itu tidak pas menurut pendapa Ahmad. Maka dia harus membuat ukuran yang memang cocok. Maklumlah mungkin yang mengukur kaki pasien perawat, bukan dokter sendiri. Namanya pun kian terkenal sehingga beberapa rumah sakit sudah menjad langganannya. Hanya kejengkelannya sc ring timbul, karena rumah sakit tersebut kemudian jadi tukang contek dari buatan asli Ahmad Anwar. Sedangkan rumah sakit biasanya mempunyai bengkel dan peralatan yang lebih komplit. "Tapi tak apalah," katanya. Dia tak takut disaingi. Ingin Tinggi? Ternyata, yang datang ke Ahmad Anwar bukan orang yang sakit saja. Sebab bagi mereka yang bertubuh pendek, tetapi ingin tampak tinggi, dapat ditolongnya. Yaitu dengan cara membuat sepatu tinggi, tanpa tampak dari luar mempunyai hak sepatu yang tinggi. Hanya dengan mengesol bagian dalam sepatu itu. Menurut pengakuannya, aktor Bambang Irawan dulu pernah pesan sepatu kepadanya. Kata Pak Ahmad: "Dulu, bintang film 'kan harus tinggi." Bahkan kaki yang buntungpun bisa didandaninya. Misalnya, seorang pemuda, Mohamad Syahi (23 tahun) kakinya harus diamputasi akibat kecelakaan mobil. Tanpa resep dokter dia langsung menemui Pak Ahmad. Kaki diukur, dicari kayu yang kuat tetapi ringan. Tiap ruas atau buku dari bagian kaki tersebut diberinya mur dan berengsel sehingga bisa digerakkan. Kayu bagian atas yang menghubungkan tulang di bawah lutut dilobangi untuk bisa pas dengan tulang tersebut. Pada bagian jari, engsel dan mur bisa gampang digerakkan dengan menarik salah satu tali yang terbuat dari kulit. Warna kaki palsu pun dibuat senyawa dengan kaki sungguhan, yaitu dengan ditutupi kain semacam terpal dan dicat sewarna kulit. Walhasil, Syahi yang tadinya harus memakai kruk, kini boleh berjalan seperti biasa. Bahkan Syahi sudah sering duduk di belakang setir. Ketika akan mengambil SIM A, polisi yang menguji tidak tahu bahwa sebuah kakinya palsu. Baru setelah SIM A dikantonginya dia mengaku pada polisi yang menguji. Si polisi kaget. "Ketrampilannya memang mengagumkan," kata sang ayah. Sebab kalau sedang menyetir dan harus mengerem tiba-tiba, kaki kirinyalah yang cepat-cepat pindah ke pedal rem. Baru kalau keadaan normal kembali, kaki palsu yang kaki kanan mahir sudah menginjak pedal rem. Syahi sekarang bekerja sebagai supir taksi. Korset Leher Kaki palsu Syahi yang diberi tempelan terpal sudah mulai mengelupas. Busa penahan kaki buntung yang tertumpu di kaki palsu juga sudah aus dan pergelangan di dekat jari kaki sudah payah. Tak bisa lagi digerakkan seperti layaknya kaki hidup. Tapi kemudian karena suka rusak maka ketika suatu kali rusak lagi tanpa fikir kaki itu dipermaknya sendiri. "Saya pantek pakai kayu," katanya. "Kalau ada rezeki sih tahun ini saya ganti," katanya. Dan dia tidak akan kembali ke tempat Pak Ahmad lagi. Mengapa? Dia sudah melihat kaki palsu di RS Fatmawati yang dari aluminium lebih bagus dan lebih ringan. Meski begitu, ia tak mengenyampingkan kaki palsu Pak Ahmad yang bisa membuatnya berjalan. Pertama kali pakai kaki itu rasanya memang berat. "Kayak dibebani sepuluh kilogram barang katanya. Tapi sekarang sudah terasa ringan seperti 2 kg saja. Mula-mula untuk melancarkan berjalan dengan kaki palsu ia butuh waktu 4 bulan dengan tongkat. Setahun kemudian, Syahi sudah berani mencoba berjalan jauh. Berapa ongkos membuat satu kaki sambungan? Ahmad Anwar hanya mengambil ongkos Rp 60.000 saja. Untuk sepatu biasa Rp 12.500. Di luar negeri, harga bisa 15 kali lebih murah. "Tetapi saya nggak bisa kasih harga mahal-mahal," ujar Ahmad. Hanya satu yang dikuatirkan orang tua yang kini berusia 56 tahun dan tidak punya anak itu. Yaitu belum ada seorang pun dari saudaranya yang sabar mau belajar mempunyai kepintaran seperti dia. "Siapa saja deh, yang mau belajar asal tekun dan serius, saya kasih pelajaran," ujarnya. Bukan saja Ahmad Anwar akan memberi pelajaran membuat sepatu atau kaki palsu. Dia juga membuat korset khusus untuk leher yang tidak mau berhenti dari gerakan-gerakan yang melelahkan. Leher telo kata orang Jakarta. Juga tangan palsu atau grip tangan untuk tangan yang tidak mau lurus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus