BIASANYA kami lebih sering menghadiri ceramah. Kalau kami diminta berceramah, membagi pengalaman yang ada, pernah juga. Maklum, ada kalanya sulit ditolak. Entah itu persoalan manajemen atau persoalan yang menyangkut kerja pers. Rabu pekan ini, misalnya, Editor Naskah TEMPO, Slamet Djabarudi, diundang berceramah di Istana Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Topik ceramah memang tidak menyangkut soal pengawasan pembangunan, tetapi yang lebih "ringan" yaitu soal bahasa. Slamet pulalah yang menjadi "wakil" kami dalam Kongres Bahasa Indonesia V yang berlangsung sampai Kamis ini di Jakarta sebagai peserta penuh. Bagi kami, lelaki bertubuh tipis ini adalah pakar, dan bahkan penjaga gawang dalam urusan dengan bahasa atau istilah. Ia juga sudah membagi ilmunya lewat layar televisi dalam acara Pembinaan Bahasa Indonesia. Bersama Dr. Riris K. Toha Sarumpaet, 23 September dan 7 Oktober Slamet membahas topik "Bahasa Jurnalistik". Dari TVRI inilah Slamet menuju Istana Wapres, ketika Nyonya E.N. Sudharmono bermaksud memberikan bekal "bahasa yang baik dan benar" kepada para karyawati dan istri-istri karyawan/pejabat di lingkungan Sekretariat Wapres. Berceramah soal bahasa itu bukan yang pertama dilakukan Slamet. Ia, atas permintaan Pemimpin Redaksi, sudah memberikan ceramah tentang bahasa Indonesia, baik di sesama media massa, perguruan tinggi, maupun grup periklanan. Juga, untuk wawancara di radio. "Sering saya menerima surat dengan gelar Drs. di depan nama saya," kata Kiai Slamet -- begitu kami biasa bercanda. Tapi Slamet tak marah disebut Drs., asal akronim itu berarti -- seperti yang sering diperkenalkannya sendiri -- Djabarudin Redaktur Spontan. Jangan kaget. Nama aslinya ketika sepasar memang Djabarudin. Anak ini, ketika berusia beberapa bulan, sakit terus. Orangtuanya lalu tak berani ambil risiko. Nama itu diganti: di depannya ditambah Slamet, di belakang dihilangkan N-nya. Jadilah Slamet Djabarudi. "Untung, nama saya diganti," ujar mantan calon guru ini. Cita-cita Slamet untuk menjadi guru tak kesampaian. Tetapi di TEMPO, ia pernah menjabat Kepala Pendidikan. Lalu, sejak 1979, tugasnya nyaris seorang guru, tempat sejumlah wartawan bertanya segala sesuatu tentang ejaan. Pada awal-awal penertiban bahasa itu, banyak di antara kami yang dalam percakapan sehari-hari pun harus ditegur Mas Slamet. Misalnya, seseorang memakai kata merubah, Mas Slamet langsung bilang, "Ganti dengan mengubah. Ingat kata mencolok? Di rubrik ini pula, empat tahun lalu, Slamet menggalakkan penggunaan mencolok, bukan menyolok. Kata itu sekarang dipakai secara luas. "Rupanya, dagangan saya agak laku," katanya. Sebelum masuk TEMPO, Slamet menjadi reporter harian Indonesia Raya. Sebelum itu, ia bekerja di koran Pelopor Yogya, di Yogya. Keduanya sudah almarhum. Ketika di Pelopor namanya sempat melejit. Ia ditangkap polisi karena tulisannya tentang kasus perkosaan Sum Kuning, gadis penjual telur (lihat filmnya, 'kan?). Mungkin lantaran pernah ditahan itu, di TEMPO Mas Slamet mula-mula jadi reporter Kriminalitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini