Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Setelah Agus Isrok Digaruk

21 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Narkotika Nasional menahan Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi, Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan, yang ditangkap dengan tuduhan memakai narkotik. Ikut ditangkap dalam penggerebekan pada 13 Maret 2016 itu tiga rekan bupati 28 tahun yang baru satu bulan menjabat tersebut.

Ketika puluhan petugas melakukan penangkapan, ayah Nofiadi, Mawardi Yahya, mantan Bupati Ogan Ilir, berusaha menghalang-halangi. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mensinyalir Nofiadi bukan hanya sebagai pengguna, melainkan juga sebagai pengedar narkotik.

Peristiwa pejabat ditangkap polisi karena menggunakan narkotik pernah terjadi pada 8 Agustus 1999. Ketika itu Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat menangkap Letnan Dua Infanteri Agus Isrok, Wakil Komandan Unit Khusus Detasemen 441 Grup IV/Sandi Yudha Komando Pasukan Khusus, dan seorang temannya di Hotel Travel di kawasan Mangga Besar.

Tempo menulis penangkapan Agus Isrok pada edisi 16 Agustus 1999 dengan judul "Setelah Agus Isrok Digaruk Operasi Narkotik". Peristiwa ini membuat geger karena Agus Isrok putra sulung Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. Selain itu, ditemukan koper di kamar hotel berisi 7.000 butir pil ekstasi, 4 kilogram sabu-sabu, daun ganja, dan setengah ons putaw (sejenis heroin).

Tiga puluh polisi, dipimpin Kepala Polres Metro Jakarta Barat Letnan Kolonel Adjie Rustam Ramdja, memang menggeruduk kamar 408 Hotel Travel pada pukul tiga dinihari. Di dalamnya, ada dua pemuda yang sedang menggunakan narkotik. Salah seorang yang berpostur tinggi tegap dan berambut cepak—semula mengaku bernama Deky Setiawan, 24 tahun—buru-buru membuang sekotak korek api dari saku celana jinsnya. Temannya, Donny Hendrian, 32 tahun, terpaku gemetar.

Deky membantah jika dia disebut anggota militer. Dia juga menyangkal bahwa koper besar hitam berisi narkotik adalah miliknya. Operasi Kilat Jaya (OKJ) yang digelar pada 6-9 Agustus 1999 ini dinilai sukses. Kedua pemuda itu kemudian dibawa ke kantor Polres. Namun Deky tetap tidak mau membuka jati dirinya, meski polisi memukulinya.

Baru pada pukul tiga sore keesokan harinya, ada panggilan telepon ke kantor Polres Jakarta Barat. Penelepon mengaku rekan Deky, bernama Kapten Infanteri Bobby dari Kopassus. Bunyinya menggegerkan: yang baru saja kena garuk tak lain adalah Letnan Dua Infanteri Agus Isrok, Wakil Komandan Unit Khusus Detasemen 441 Grup IV/Sandi Yudha Kopassus.

Dan, yang lebih gawat, perwira pertama itu ternyata putra sulung Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S., orang penting di pucuk TNI. Agus belakangan mengakui identitas aslinya. Atas perintah Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Noegroho Djajoesman, pada pukul delapan malam, Kepala Polres buru-buru mengantar sang tersangka pulang ke kediaman ayahnya, Jenderal Subagyo, di kompleks perwira tinggi Angkatan Darat di bilangan Gatot Subroto, Jakarta.

Setelah itu, kasusnya menguap. Gelap. Nama Agus Isrok alias Deky Setiawan lenyap dari daftar tersangka kasus narkoba—akronim dari narkotik dan obat terlarang—yang dijaring polisi lewat OKJ. Kecurigaan kontan menyeruak. Ada upaya untuk memetieskan kasus yang mencoreng wajah Angkatan Darat itu? Tampaknya begitu. Yang jelas, dalam edaran Polda Metro Jaya, cuma empat nama yang terpampang: M. Tajudin, Tjekky, Donny, dan Ahok alias Hasan.

Mayor Jenderal Noegroho Djajoesman pun mati-matian berupaya menyangkal. Kepala Polres bahkan sampai mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi saat dimintai konfirmasi. "Soal lain, silakan. Kalau masalah ini, tidak, tidak!" kata Letkol Adjie panik. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigjen I Dewa Putu Rai setali tiga uang. "Kalau tidak ada di Pusat Polisi Militer, berarti kasus itu memang tidak ada," ujarnya berkilah.

Jenderal Subagyo juga tak mau berkomentar. "Saya tak mau berpolemik," kata Komandan Jenderal Kopassus periode 1994-1995 itu. Ia bilang bahwa putra kesayangannya itu masih tinggal di asrama Kopassus. Kasus ini memunculkan kecaman bahwa polisi masih berpegang pada tabiat lama: tak berdaya menghadapi "tekanan" tentara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus