Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Setelah Demonstrasi Mahasiswa

AKSI unjuk rasa mahasiswa besar-besaran terjadi di berbagai kota di Indonesia, terhitung sejak Senin, 23 September 2019.

28 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
26 Januari 1974

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi ini bermula dari gelombang protes para aktivis antikorupsi yang meminta penghentian pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinilai bakal melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah tak mengindahkan seruan-seruan ini hingga akhirnya undang-undang itu disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa, 17 September 2019.

Pengesahan ini menuai reaksi kemarahan masyarakat dan mahasiswa. Ditambah DPR hendak mengesahkan beberapa RUU kontroversial lain, seperti revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dianggap -mengancam demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara itu, RUU Pengha-pusan Kekerasan Seksual yang dianggap urgen dan sudah masuk Program Legislasi Nasional 2016 tak menunjukkan tanda-tanda akan disahkan.

Polemik ini menimbulkan gelombang protes mahasiswa, puncaknya pada Selasa, 24 September, yang berujung ricuh, hingga 25 September 2019. Gelombang unjuk rasa mahasiswa ini disebut-sebut yang terbesar setelah 1998. Namun sejarah mencatat, sebelum 1998, Indonesia pernah dilanda ge-lombang aksi mahasiswa dalam jumlah besar. Salah satunya pada 15 Januari 1974, ketika Presiden Soeharto bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Istana Ne-gara Jakarta yang dibahas lewat artikel “Musibah bagi Golongan Menengah & Bawah”.

Mahasiswa dalam jumlah besar yang di-pimpin Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, melakukan aksi unjuk rasa dengan tuntutan yang dikenal sebagai Tritura Baru 1974. -Tuntutannya saat itu adalah pembubaran lembaga asisten pribadi presiden, turunkan harga, dan --ganyang korupsi. Salah satu pemicu aksi unjuk rasa ini adalah derasnya arus investasi asing yang masuk ke Indonesia, terutama dari Jepang, yang dikhawatirkan dapat melemahkan Indonesia.

Untuk meredam aksi yang besar, peme-rintah memberlakukan jam malam mulai pukul 18.00 hingga pukul 06.00. Jam malam ini berlaku sejak 15 Januari dan menutup semua sekolah, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pemerintah juga mengeluarkan larangan berkelompok lebih dari lima orang sepaket dengan sanksi di belakangnya. Namun pembatasan-pembatasan ini tak menyurutkan mahasiswa dan pelajar sekolah menengah atas, yang tetap melakukan unjuk rasa.

Hingga akhirnya kerusuhan pecah di sejumlah titik di Jakarta. Wilayah yang menjadi titik konsentrasi massa salah satunya ada di Pasar Senen. Sejumlah toko dan bangunan hancur diamuk massa, termasuk kompleks pertokoan yang baru saja dibangun habis dibakar massa. Kekacauan berlangsung hingga keesokan harinya. Buntutnya, sejumlah aktivis dan pentolan mahasiswa yang dianggap sebagai dalang kerusuhan diciduk polisi. Mereka antara lain Fahmi Idris, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Marsilam Simandjuntak, Profesor Sarbini Sumawinata, Hariman Siregar, Adnan Buyung Nasution, dan J.C. Princen.

Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban saat itu, Jenderal Soemitro, menyatakan akan terus melakukan penangkapan. “Keadaan telah memaksa kami yang telah sabar sampai batasnya terpaksa bertindak tegas di sana-sini de-ngan mempergunakan kekerasan,” katanya. Hal ini diperkuat pula oleh sidang khusus yang di-adakan Soeharto secara mendadak setelah mengantar Tanaka hingga ke Halim Perdanakusuma, pada 17 Januari.

Atas sejumlah kerusakan yang dialami para pedagang dan pemilik toko, Gubernur Jakarta Ali Sadikin menyatakan para pengusaha tersebut akan memperbaikinya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ia juga berjanji segera merapikan kembali Proyek Senen, yang dibangun sejak 1969 dengan biaya Rp 2,6 miliar. Selain itu, ia meminta sekolah memulai kembali kegiatan seperti biasa, meskipun beberapa perguruan tinggi masih dilarang melakukan aktivitas.

Setelah aksi unjuk rasa mereda dan kerusuhan padam, Menteri Luar Negeri Adam Malik mengundang sejumlah duta besar dan kepala perwakilan asing di Jakarta pada Jumat pekan tersebut. Atas nama pemerintah RI, ia menjamin keselamatan pribadi para anggota korps diplomatik tersebut. Ia juga menjamin Ibu Kota sudah tenang kembali.

Sementara itu, sidang kabinet dadakan memutuskan nama-nama pejabat baru yang akan mengisi sejumlah jabatan yang lowong. Antara lain pengangkatan Syarif Thayeb (Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat) untuk menduduki jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mochtar Kusumaatmadja sebagai Menteri Kehakim-an baru, serta 12 orang hakim agung. Seusai kerusuhan, keadaan mulai normal kembali meskipun pemerintah melakukan pengetatan terhadap kelompok mahasiswa dan pers.


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  26 Januari 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1974-02-26

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus