Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bentuk-Bentuk Alami

Hildawati Sidharta, 33, mengadakan pameran keramik di tim 10-15 okt 1978. Hilda menampilkan karya keramik bebas berupa kubus, bola dan tabung yang berwarna hitam, hijau, coklat atau putih. (sr)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEDIA atau bahan apa yang digunakan dalam karya seni rupa, kini tak akan membuat orang mempersoalkan lagi. Tentu, ini berkat jasa Seni Rupa Baru. Dan jika orang masuk ke Ruang Pameran TIM, 10-15 Oktober ini, tak sulit baginya melihat karya-karya yang dipajang di situ. Ada yang hanya seperti batang-batang kayu yang ditata berderet empat-empat ke belakang. Lalu, sesampai di belakang ternyata deretan batang kayu itu amblas ke dalam tembok, hanya nampak sedikit ujungnya. Tentu bukan masuk betul, tapi memang hanya sepotong ujung itulah yang ditempel di tembok. Ada pula kubus-kubus putih yang ditata dan di antaranya ada empat kubus coklat. Lalu ada tabung tinggi yang retak dan pecah, dan pecahannya berserak di bawahnya. Ada pula bola-bola putih sebanyak 15 buah, diatur berderet tiga-tiga ke belakang. Dua bola deretan depan tak sempurna. Satu retak, satu lagi bahkan berlubang menganga cukup lebar -- sedang kepingan yang merupakan bagian dari lubang itu tergeletak di depannya. Tapi ada juga karya yang dipigura dan digantung. Suasananya seperti lukisan Cina Klasik. Hanya putih, lalu sesapuan hitam-coklat. Dan juga ada semacam batu lumutan yang ditaruh di tempat pajangan patung. Tapi kali ini, mungkin orang masih bisa dihenyakkan -- oleh kenyataan bahwa karya-karya tersebut adalah karya keramik. Keramik? Apa keramik bukan poci, piring, pot atau guci atau sejenisnya? Itulah barangkali yang menyebabkan Hilda (lihat box) lebih suka karya-karyanya disebut "karya tanah liat" saja. Pengertian keramik terlalu menimbulkan imaji benda pakai. Tapi kemudian memang ada dua pandangan yang bisa timbul atas adanya kesadaran bahwa itu keramik. Pertama, orang yang buru-buru menolak sebutan keramik untuk benda-benda itu. Dan karena itu ia tak lagi menikmati bentukbentuk yang mungkin semula menariknya. Dari Mana Bertolak Yang kedua, justru timbul satu nilai lebih. Bahwa barang-barang itu ternyata keramik, menambah nilai pada bentuknya. Misalnya yang hanya seperti batu-yang bisa ditemui di mana-mana. Kita bisa jadi mengagumi, bahwa warna-warna yang hitam, hijau, coklat di situ ternyata dibuat, direncanakan. Bukan alami. Dan dalam soal inilah mungkin beberapa karya Hilda menjadi menarik. Ia menciptakan bentuk dan warna-warna seperti bentuk dan warna-warna yang dibikin alam. Tiga keping bentuk putih yang dipigura adi satu di tengahnya ada semburat warna hitam agak miring, misalnya. Seperti Hilda memungut saja kepingan itu entah dari mana. Bahwa itu ternyata dibikin, menimbulkan imaji yang lain. Barangkali penikmatan secara begitu tidak benar. Yang ideal mungkin menikmati bentuk sebagai bentuk sendiri, warna sebagai warna sendiri tak usah peduli proses terjadinya. Tapi bisakah kita menghilangkan pengalaman yang pernah kita sandung? Tidak sahkah bila pengalaman juga ikut menentukan penikmatan kita? Kalau Hilda menyebut karya-karyanya sebagai karya keramik bebas, berarti ia memang bertolak dari kemungkinan yang ditawarkan media keramik itu. Dan bahwa ia berhasil menciptakan beberapa bentuk alami seperti sudah di sebut, hanya membuktikan bahwa Hilda kreatif. Maka bisa dimengerti kalau bolabola putih Hilda menjadi pas justru karena dua bola yang retak -- seperti yang kita dapati sebagai alami. Andai saja semuanya utuh, tentulah segugusan karya itu akan kering. Seperti halnya kubus-kubusnya, yang bagi saya tak memberi imaji apa-apa. Hilda yang mengaku tak bertolak dari bentuk, tapi dari sifat dan tabiat tanah liat sendiri, kira-kira memang seharusnya melahirkan bentuk-bentuk seperti itu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus