MEDIA atau bahan apa yang digunakan dalam karya seni rupa, kini
tak akan membuat orang mempersoalkan lagi. Tentu, ini berkat
jasa Seni Rupa Baru. Dan jika orang masuk ke Ruang Pameran TIM,
10-15 Oktober ini, tak sulit baginya melihat karya-karya yang
dipajang di situ. Ada yang hanya seperti batang-batang kayu yang
ditata berderet empat-empat ke belakang. Lalu, sesampai di
belakang ternyata deretan batang kayu itu amblas ke dalam
tembok, hanya nampak sedikit ujungnya. Tentu bukan masuk betul,
tapi memang hanya sepotong ujung itulah yang ditempel di tembok.
Ada pula kubus-kubus putih yang ditata dan di antaranya ada
empat kubus coklat. Lalu ada tabung tinggi yang retak dan pecah,
dan pecahannya berserak di bawahnya. Ada pula bola-bola putih
sebanyak 15 buah, diatur berderet tiga-tiga ke belakang. Dua
bola deretan depan tak sempurna. Satu retak, satu lagi bahkan
berlubang menganga cukup lebar -- sedang kepingan yang merupakan
bagian dari lubang itu tergeletak di depannya.
Tapi ada juga karya yang dipigura dan digantung. Suasananya
seperti lukisan Cina Klasik. Hanya putih, lalu sesapuan
hitam-coklat. Dan juga ada semacam batu lumutan yang ditaruh di
tempat pajangan patung.
Tapi kali ini, mungkin orang masih bisa dihenyakkan -- oleh
kenyataan bahwa karya-karya tersebut adalah karya keramik.
Keramik? Apa keramik bukan poci, piring, pot atau guci atau
sejenisnya? Itulah barangkali yang menyebabkan Hilda (lihat box)
lebih suka karya-karyanya disebut "karya tanah liat" saja.
Pengertian keramik terlalu menimbulkan imaji benda pakai.
Tapi kemudian memang ada dua pandangan yang bisa timbul atas
adanya kesadaran bahwa itu keramik. Pertama, orang yang
buru-buru menolak sebutan keramik untuk benda-benda itu. Dan
karena itu ia tak lagi menikmati bentukbentuk yang mungkin
semula menariknya.
Dari Mana Bertolak
Yang kedua, justru timbul satu nilai lebih. Bahwa barang-barang
itu ternyata keramik, menambah nilai pada bentuknya. Misalnya
yang hanya seperti batu-yang bisa ditemui di mana-mana. Kita
bisa jadi mengagumi, bahwa warna-warna yang hitam, hijau, coklat
di situ ternyata dibuat, direncanakan. Bukan alami. Dan dalam
soal inilah mungkin beberapa karya Hilda menjadi menarik.
Ia menciptakan bentuk dan warna-warna seperti bentuk dan
warna-warna yang dibikin alam. Tiga keping bentuk putih yang
dipigura adi satu di tengahnya ada semburat warna hitam agak
miring, misalnya. Seperti Hilda memungut saja kepingan itu entah
dari mana. Bahwa itu ternyata dibikin, menimbulkan imaji yang
lain.
Barangkali penikmatan secara begitu tidak benar. Yang ideal
mungkin menikmati bentuk sebagai bentuk sendiri, warna sebagai
warna sendiri tak usah peduli proses terjadinya. Tapi bisakah
kita menghilangkan pengalaman yang pernah kita sandung? Tidak
sahkah bila pengalaman juga ikut menentukan penikmatan kita?
Kalau Hilda menyebut karya-karyanya sebagai karya keramik bebas,
berarti ia memang bertolak dari kemungkinan yang ditawarkan
media keramik itu. Dan bahwa ia berhasil menciptakan beberapa
bentuk alami seperti sudah di sebut, hanya membuktikan bahwa
Hilda kreatif.
Maka bisa dimengerti kalau bolabola putih Hilda menjadi pas
justru karena dua bola yang retak -- seperti yang kita dapati
sebagai alami. Andai saja semuanya utuh, tentulah segugusan
karya itu akan kering. Seperti halnya kubus-kubusnya, yang bagi
saya tak memberi imaji apa-apa.
Hilda yang mengaku tak bertolak dari bentuk, tapi dari sifat dan
tabiat tanah liat sendiri, kira-kira memang seharusnya
melahirkan bentuk-bentuk seperti itu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini