Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Silir, sayup-sayup dan sepi

Kompleks wts silir, sebelah timur sala, kini sepi. diduga akibat munculnya kompleks liar di daerah se kitarnya yang tarifnya lebih rendah. (ils)

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMPLEKS wanita tuna susila di Silir, pinggiran kota sebelah timur Sala, kini loyo. Lingkungan yang luasnya sekitar satu hektar itu terletak di antara sawah-sawah, termasuk kelurahan Semanggi, kecamatan Pasar Kliwon. Didirikan secara resmi di bulan Mei 1961, Silir mempunyai 48 buah rumah yang masing-masing dikepalai seorang mucikari. Silir adalah lokalisas percontohan pertama untuk Indonesia jadi dari sinilah "sejaran" bermula. "Sampai bulan Pebruari tahun ini tercatat 204 penghuni", ujar Hadi Usmanto ketua RT Silir. "Rumah saya sendiri bukan di sini", tambahnya, "tapi di Kampung Kenceng. Sama seperti pejabat RT di kampung lain, saya tidak mendapat honor apa-apa. Fasilitas WTS? Wah, saya ndak sampai hati. Saya di sini sebagai seorang ayah". Hadi Usmanto mengatakan bahwa 90% WTS tersebut berasal dari Wonogiri, yang sebagian penduduknya beberapa bulan lalu mendapat prioritas untuk bertransmigrasi ke Sitiung, Sumatera Barat. Sebelum masuk Silir, para WTS sebetulnya sudah menjalankan praktek di tempat masing-masing. Untuk secara resmi masuk Silir, pertama kali mereka harus memiliki surat keterangan dari pamong praja setempat. Kemudian mencatatkan diri ke polisi dan Dinas Sosial Kodya Surakarta. Begitu dia memilih surat lengkap, seorang mucikari telah bersedia menampungnya. Wanita tersebut akan mendapat sebuah kamar tidur. Makan minum dan keperluan lain ditanggung sang mucikari. "Sekarang, sepi", ujar Nyonya Kudo Wirotantoko, salah seorang mucikari yang lagi cari angin di bawah pohon jambu. "Lain dengan dulu. Dulu cukup ramai Hasilnya saja bisa bangun rumah. Mengongkosi perkawinan anak saya. Tapi sekarang . . . yah, sepi. Malah kadangkadang rugi. Bayangkan, ongkos tiap harinya tidak cukup Rp 3.000". Matanya dilayangkan ke tumpukan ubin. Rupanya dia akan memperlebar rumah, tapi jadi tersendat. Apa lagi dia, yang sudah berpraktek sejak dibangunnya Silir itu, harus memberi makan anak buah, menyediakan sabun untuk cuci, arang untuk setrika dan juga minyak tanah - karena Silir belum kebagian listrik. Dengan nada malas dan menarik nafas dalam, mucikari tersebut berkata lagi: "Mengapa sekarang sepi . . . ndak tahu ya". Saingan Dilihat dari grafik di kantor RT, langganan Silir memang merosot. Tahun 1968, pengunjungnya sampai 9.000 orang. Tahun lalu -- sama sepinya seperti pasaran hotel -- Silir cuma dijadikan tempat mampir 5.842 tamu. Si ketua RT Hadi Usmanto menyatakan bahwa Silir sepi karena ada kompleks baru yang liar. Di Mojo, yang letaknya di tepi Bengawan Sala. Soalnya tarifnya lebih murah. Lagi pula orang tidak perlu beli karcis masuk dan menitipkan sepeda segala. Batas jam sperti di Silir, juga tidak ada. Tapi Trihatmo, pejabat dinas sosial, menyangkal pendapat itu. "Tergantung dari barometer ekonomi masyarakat" ujarnya. "Kalau perdagangan sepi, cari uang agak sulit, Silir juga akan sepi". Meski begitu menurut seorang anak muda, yang kelihatannya "jagoan", Silir memang punya saingan. Bukan di Mojo, melainkan di Jaten, Karanganyar. Lebih murah, lagi pula dianggapnya lebih bik. Tak jadi soal tempatnya jauh. "Saya kan punya Suzuki!", katanya. Di samping itu bukan rahasia, bahwa sejak ramainya rumah-rumah yang disebut guesthouse, orang konon bisa mendapatkan wanita model apa saja di sana. Memang lebih mahal: kabarnya tarifnya sampai 10 - 30 ribu rupiah. Di antara cewek-cewek itu, menurut yang ahli, kadang terselip bekas penyanyi, jebolan peragawati, anggota grup tari, bahkan ada pelajar SMA. Itu di samping praktek per-WTS-an di hotel-hotel yang memang sudah ada sejak kuno. Lantas, bagaimana cara menggalakkan kembali Silir? Memang menarik. Dulu, lokalisasi dibuka dengan alasan menampung para tuna susila yang berceceran dan "mengganggu pemandangan", dalam usaha untuk memasyarakatkan mereka kembali. Sekarang, kalau "pasaran lesu", para "pengusaha" tentu saja mengeluh. Tapi tentu saja Trihatmo, ketua Dinas Sosial Kodya Surakarta itu, tetap pada "dalil" semula. Katanya (sambil tertawa): "Wah, kalau soal sales promotion, itu bukan tugas kami. Kami cuma merehabilitasi mental mereka dan menyelenggarakan pendidikan". Dan janji formil itu memang tetap dilaksanakan. Secara bergilir, para warga Silir pada hari-hari tertentu mengenakan seragam blus putih rok abu-abu, datang ke balai pendidikan. Jangan heran, pelajaran di sini hebat juga. Di samping PBI bagi yang belum melek huruf, ada pelajaran-pelajaran administrasi, merias mempelai, menjahit, memasak, merangkai bunga, kesenian (tari dan karawitan), olah raga, kesejahteraan keluarga, kewarganegaraan berikut Pancasila, dan agama. Guru-gurunya biasanya diperoleh dari Inspeksi Pendidikan Masyarakat, Seksi Kebudayaan Departemen P dan K, Kabin Olah raga, dan ibu-ibu dari GOWS (Gabungan Organisasi Wanita Surakarta). Bahkan masih ada lagi panti pendidikan 'Wanita Utama'. Letaknya di Lawiyan. Ini disediakan bagi mereka yang ingin menyempurnakan ketrampilan untuk benar-benar terjun ke masyarakat. Gemblengan di sini cukup lama juga, sampai satu tahun. Katakan sajalah ini semacam sekolah tingginya. Banyakkah penghuni Silir yang masuk 'Wanita Utama'? Nyonya Sri Rahayu yang duduk sebagai salah seorang pengurus panti, berkata: "Dulu, pada angkatan awal, jumlahnya lumayan. Tapi untuk angkatan tahun 1977, yang dikirim tari Silir cuma satu" 'Wanita Utama' sendiri kini sama sepinya dengan Silir. Tentu saja itu sama sekali tidak berarti, bahwa pelacuran berkurang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus