KOMPLEKS wanita tuna susila di Silir, pinggiran kota sebelah
timur Sala, kini loyo. Lingkungan yang luasnya sekitar satu
hektar itu terletak di antara sawah-sawah, termasuk kelurahan
Semanggi, kecamatan Pasar Kliwon. Didirikan secara resmi di
bulan Mei 1961, Silir mempunyai 48 buah rumah yang masing-masing
dikepalai seorang mucikari. Silir adalah lokalisas percontohan
pertama untuk Indonesia jadi dari sinilah "sejaran" bermula.
"Sampai bulan Pebruari tahun ini tercatat 204 penghuni", ujar
Hadi Usmanto ketua RT Silir. "Rumah saya sendiri bukan di sini",
tambahnya, "tapi di Kampung Kenceng. Sama seperti pejabat RT di
kampung lain, saya tidak mendapat honor apa-apa. Fasilitas WTS?
Wah, saya ndak sampai hati. Saya di sini sebagai seorang ayah".
Hadi Usmanto mengatakan bahwa 90% WTS tersebut berasal dari
Wonogiri, yang sebagian penduduknya beberapa bulan lalu mendapat
prioritas untuk bertransmigrasi ke Sitiung, Sumatera Barat.
Sebelum masuk Silir, para WTS sebetulnya sudah menjalankan
praktek di tempat masing-masing. Untuk secara resmi masuk Silir,
pertama kali mereka harus memiliki surat keterangan dari pamong
praja setempat. Kemudian mencatatkan diri ke polisi dan Dinas
Sosial Kodya Surakarta. Begitu dia memilih surat lengkap,
seorang mucikari telah bersedia menampungnya. Wanita tersebut
akan mendapat sebuah kamar tidur. Makan minum dan keperluan lain
ditanggung sang mucikari.
"Sekarang, sepi", ujar Nyonya Kudo Wirotantoko, salah seorang
mucikari yang lagi cari angin di bawah pohon jambu. "Lain dengan
dulu. Dulu cukup ramai Hasilnya saja bisa bangun rumah.
Mengongkosi perkawinan anak saya. Tapi sekarang . . . yah, sepi.
Malah kadangkadang rugi. Bayangkan, ongkos tiap harinya tidak
cukup Rp 3.000". Matanya dilayangkan ke tumpukan ubin. Rupanya
dia akan memperlebar rumah, tapi jadi tersendat. Apa lagi dia,
yang sudah berpraktek sejak dibangunnya Silir itu, harus memberi
makan anak buah, menyediakan sabun untuk cuci, arang untuk
setrika dan juga minyak tanah - karena Silir belum kebagian
listrik. Dengan nada malas dan menarik nafas dalam, mucikari
tersebut berkata lagi: "Mengapa sekarang sepi . . . ndak tahu
ya".
Saingan
Dilihat dari grafik di kantor RT, langganan Silir memang
merosot. Tahun 1968, pengunjungnya sampai 9.000 orang. Tahun
lalu -- sama sepinya seperti pasaran hotel -- Silir cuma
dijadikan tempat mampir 5.842 tamu. Si ketua RT Hadi Usmanto
menyatakan bahwa Silir sepi karena ada kompleks baru yang liar.
Di Mojo, yang letaknya di tepi Bengawan Sala. Soalnya tarifnya
lebih murah. Lagi pula orang tidak perlu beli karcis masuk dan
menitipkan sepeda segala. Batas jam sperti di Silir, juga tidak
ada.
Tapi Trihatmo, pejabat dinas sosial, menyangkal pendapat itu.
"Tergantung dari barometer ekonomi masyarakat" ujarnya. "Kalau
perdagangan sepi, cari uang agak sulit, Silir juga akan sepi".
Meski begitu menurut seorang anak muda, yang kelihatannya
"jagoan", Silir memang punya saingan. Bukan di Mojo, melainkan
di Jaten, Karanganyar. Lebih murah, lagi pula dianggapnya lebih
bik. Tak jadi soal tempatnya jauh. "Saya kan punya Suzuki!",
katanya.
Di samping itu bukan rahasia, bahwa sejak ramainya rumah-rumah
yang disebut guesthouse, orang konon bisa mendapatkan wanita
model apa saja di sana. Memang lebih mahal: kabarnya tarifnya
sampai 10 - 30 ribu rupiah. Di antara cewek-cewek itu, menurut
yang ahli, kadang terselip bekas penyanyi, jebolan peragawati,
anggota grup tari, bahkan ada pelajar SMA. Itu di samping
praktek per-WTS-an di hotel-hotel yang memang sudah ada sejak
kuno.
Lantas, bagaimana cara menggalakkan kembali Silir?
Memang menarik. Dulu, lokalisasi dibuka dengan alasan menampung
para tuna susila yang berceceran dan "mengganggu pemandangan",
dalam usaha untuk memasyarakatkan mereka kembali. Sekarang,
kalau "pasaran lesu", para "pengusaha" tentu saja mengeluh. Tapi
tentu saja Trihatmo, ketua Dinas Sosial Kodya Surakarta itu,
tetap pada "dalil" semula. Katanya (sambil tertawa): "Wah, kalau
soal sales promotion, itu bukan tugas kami. Kami cuma
merehabilitasi mental mereka dan menyelenggarakan pendidikan".
Dan janji formil itu memang tetap dilaksanakan. Secara bergilir,
para warga Silir pada hari-hari tertentu mengenakan seragam blus
putih rok abu-abu, datang ke balai pendidikan. Jangan heran,
pelajaran di sini hebat juga. Di samping PBI bagi yang belum
melek huruf, ada pelajaran-pelajaran administrasi, merias
mempelai, menjahit, memasak, merangkai bunga, kesenian (tari dan
karawitan), olah raga, kesejahteraan keluarga, kewarganegaraan
berikut Pancasila, dan agama. Guru-gurunya biasanya diperoleh
dari Inspeksi Pendidikan Masyarakat, Seksi Kebudayaan Departemen
P dan K, Kabin Olah raga, dan ibu-ibu dari GOWS (Gabungan
Organisasi Wanita Surakarta).
Bahkan masih ada lagi panti pendidikan 'Wanita Utama'. Letaknya
di Lawiyan. Ini disediakan bagi mereka yang ingin menyempurnakan
ketrampilan untuk benar-benar terjun ke masyarakat. Gemblengan
di sini cukup lama juga, sampai satu tahun. Katakan sajalah ini
semacam sekolah tingginya.
Banyakkah penghuni Silir yang masuk 'Wanita Utama'? Nyonya Sri
Rahayu yang duduk sebagai salah seorang pengurus panti, berkata:
"Dulu, pada angkatan awal, jumlahnya lumayan. Tapi untuk
angkatan tahun 1977, yang dikirim tari Silir cuma satu" 'Wanita
Utama' sendiri kini sama sepinya dengan Silir.
Tentu saja itu sama sekali tidak berarti, bahwa pelacuran
berkurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini