Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari pada seniman gadungan

Mahasiswa sekolah tinggi seni rupa nasional jakarta menurut drs aznam diarahkan pada aliran naturalis. ini berbeda dengan mahasiswa astim yang memakai aliran abstrak.

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"YANG paling salah sekarang di Indonesia, adalah menyamakan aliran abstrak dengan nilai yang lebih tinggi", kata drs. Anam, pendiri dan pimpinan Sekolah Tinggi Seni Rupa Nasional Jakarta. Ia berkata dalam Ruang Pameran Museum Pusat ketika diselenggarakan pameran 5 mahasiswanya yang nyaris merenggut gelar Sarjana Muda. Walaupun kerepotan yang berlangsung tanggal 21 sampai 25 Pebruari itu tidak juga bisa dikatakan sebagai gerakan anti lukisan abstrak. "Abstrak hanya salah satu cara saja. Kami mengarahkan para mahasiswa kepada naturalis dulu. Abstrak nanti gampang, asal itu karena kesadaran. Ini memang bertentangan dengan yang dilakukan anak-anak di TIM", ucap alumnus IKIP Yogya itu selanjutnya. Yang dimaksudnya dengan anak-anak TIM adalah para mahasiswa Akademi Seni Rupa LPKJ. "Lebih baik mereka menjadi ilustrator biasa daripada seniman gadungan". Untuk Pambangunan Sekolah ini nampaknya cukup bangga memiliki predikat sekolah tinggi seni rupa tertua (terdaftar pada Departemen PTIP - No 47/B SWT/P/62). Tetapi dengan usia perguruan yang 15 tahun, para mahasiswa yang tampil kali ini (Ar. Soedarto, A. Syatori Hamdu, Bambang Suryanto, Purnawarman dan Santoso Utomo) tidak membayangkan kematangan almamater mereka. Bisa jadi karena pameran ini pameran wajib, sebagai syarat melewati ujian. Di samping segala sesuatu tampak sederhana sekali nilai-nilai yang hendak digapai karya-karya tersebut tampaknya enteng-enteng saja. Mungkin juga sudah terlalu terjebak oleh motto perguruan mereka yang berbunyi: Seni rupa llntuk pendidikan, pembangunan dan masyarakat. Atau mungkin karena bakat para mahasiswanya. Tetapi bisa juga karena kwalitas para pengarahnya. Mari kita lihat. Soedarto menjejerkan 12 karya dengan judul yang sama: Mosaic. Hampir semuanya merupakan sikutan pengaruh pelukis Sadali. Di sana kita melihat segala sesuatunya bermula dari segitiga. Garis-garis diagonal, yang kadangkala putus-putus. Untung saja tidak dipergunakan warna emas, sehingga kita tidak usah terlalu kasar untuk mengatakan pelukis ini telah menyia-nyiakan dirinya menjadi epigon, pada saat ia nyaris sarjana muda. Soedarto sesungguhnya memiliki ketrampilan teknis yang bagus, sayang sekali hal tersebut tidak ditukikkannya ke dirinya sendiri. Di samping karya-karyanya menjadi komposisi-komposisi yang baik, tak terasa ada tuntutan apa-apa. Belum ada isi yang merasuk ke dalam. Ciliwung Yang Coklat Lebih gawat lagi pada Syatori Hamdu, yang memamerkan 10 lukisan dengan judul-judul puitis. Mahasiswa ini jelas sedang tenggelam dalam kesibukan untuk mencoba segala macam gaya dan cara dalam rangka menemukan diri. Ia melukis dengan gaya abstrak, ekspresionis, realis, juga membuat disain textil. Pada beberapa buah lukisan ia mencoba memainkan textur. Tetapi tak sempat mantap - baik sebagai percobaan memanfaatkan teknik maupun sebagai usaha mencuatkan suasana air terjun dan bukit yang menjadi objek. Tapi itu juga terjadi pada Santoso Utomo, yang jelas punya ketrampilan melukis molek macam Basuki Abdullah, tetapi menyia-nyiakan diri dengan melukis objek-objek yang dangkal. Seperti Orangdari seberang misalnya, yang memperlihatkan sebuah kepala dengan bau musik pop. Ia sesungguhnya menguasai anatomi, warna, dan punya imajinasi yang kuat. Seperti terpantul dari karyanya yang bernama Kalut, yang mirip suasana impian dalam lukisan-lukisan Basuki Abdullah. Bambang Suryo dengan beberapa buah lukisan abstrak memperlihatkan sesuatu yang lebih dinamis dalam soal warna dan masalah. Toh tidak lebih dari komposisi-komposisi comotan dari beberapa pelukis Bandung yang pernah pameran di TIM. Barangkali dalam pameran ini baru Purnawarman vang bisa banyak diperhitungkan. Dia melukis secara naturalis. Gambar bentuknya secara teknis sudah menampilkan suasana, irama dan juga emosi pelukisnya. Demikian ia sempat melukis Sungai Ciliwung yang coklat, Rumah Nelayan di lingkungan pohon kelapa yang berhasil menangkap suasana setempat. Juga pelabuhan dengan perahu-perahu layar dan suasana sunyi yang mengharukan. Pilihan warna, sudut pandangan dalam melukis, memperlihatkan kesederhanaan dan kejujuran. Meski ia juga belum benar-benar mantap, di antara kawan-kawannya yang masih gelisah mencari, mahasiswa ini kelihatannya telah mendapat jalur. Selain lukisan, dalam pameran juga dipamerkan disain textil dan interior rumah yang tidak begitu menarik. Tetapi bahwa ini sebuah usaha swasta yang telah berumur 15 tahun, serta sebentar lagi akan menempati sebuah gedung yang berharga 20 juta sebagai tanda simpati Gubernur, memang menarik. PW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus