SUDAH sejak 1968 di-Undang-kan (mengenai PMDN) supaya kegiatan
perdagangan asing dialihkan pada pengusaha nasional. Kini
ternyata masih sekitar 16.000 perusahaan asing yang aktif
bergerak di bidang perdagangan domestik, seakan-akan mereka
tidak gusar menghadapi batas-waktu pada akhir tahun ini.
Mungkinkah ada tenggang-waktu? Jika dipegang keterangan Johannes
Muskita, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, pada pers Nopember
lalu, pemerintah tidak akan mengundur jadwalnya semula. Kalau
dibaca pula keterangan pers Menteri Radius Prawiro minggu lalu
tampaknya pemerintah akan sungguh-sungguh mau menghentikan
kegiatan asing dalam perdagangan domestik tepat pada waktunya
(akhir 1977) seperti bunyi Undang-undang 1968.
Sementara itu, muncul spekulasi di kalangan bisnis swasta bahwa
kesempatan menjadi Ali Baba seperti tahun 1950-an akan terbuka
lagi dalam bentuk baru. Artinya, Ali ke depan, Baba di belakang,
dan sama-sama senang. Pada zaman itu proteksi diberikan pada
pengusaha nasional, misalnya, Benteng group yang akhirnya
melahirkan banyak importir aktentas menjual lisensi pada Baba.
Becus
Kalau tidak terjadi sama-sama senang, demikian spekulasi lain
lagi, apakah akan berulang cara PP-10 tahun 1960 yang tanpa
kompromi memaksa semua WNA, umumnya Baba, supaya berhenti
berdagang di pedesaan, di luar ibukota Kabupaten? Akibat PP-10,
jaringan dagang penyalur dan pengumpul yang sudah berakar
menjadi berantakan, sedang pedagang kecil nasional ketika itu
tidak mampu mengisi kekosongan.
Pemerintah sekali ini tampaknya berhati-hati. Satu team
interdepartemental sudah dibentuknya guna mempelajari cara
mencegah kegoncangan. Belum banyak terdengar apa rekomendasi
yang ditelorkannya.
Pengambil-alihan kegiatan itu mencakup penyaluran barang
ex-impor maupun hasil produksi domestik. Ada 19 perusahaan asing
besar, a.l Siemens Unilever, PT IBM, Hoechst, BAT dan Bata, akan
terkena karenanya. Perusahaan nasional yang akan mengambil-alih
mereka pasti memerlukan modal besar dan organisasi baik.
Sebaliknya, perusahaan asing besar itu akan merasa dirugikan
jika penyalur (nasional) mereka tidak becus. Ini menyangkut soal
kepercayaan.
Apa pemikiran, a.l. dari Zahri Achmad, tokoh GINSI (Gabungan
Importir se-Indonesia), supaya menghidupkan pola distribusi dari
Big Five dulu. Panca Niaga, bekas anggota Big Five itu, telah
menyatakan kesanggupannya jika dikehendaki, asalkan pemerintah
menyediakan kredit yang diperlukannya. Soalnya, perusahaan asing
besar belum yakin akan kemampuan organisasi para bekas Big Five
yang kini jadi usaha niaga negara.
Sementara itu, ada perusahaan asing besar, a.l. Unilever, yang
bermaksud mengatasi problim dengan cara menganjurkan para
karyawannya yang berpengalaman supaya segera pensiun, kemudian
mendirikan usaha dagang nasional. Kapital gampang. Ketrampilan
ada. Sip.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini