Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecewa Terhadap Tempo
SAYA kecewa membaca majalah Tempo dua edisi lalu tentang topik menjaring calon pemimpin negeri ini ke depan. Enak dibaca, tapi minim informasi yang dianggap "perlu". Media sekelas Tempo yang selama ini akrab di benak saya punya nalar keredaksian yang unik ternyata hanya "mampu" membuat pemberitaan terkesan advetorial.
Rubrik Nasional majalah Tempo edisi 24-30 Maret 2014, misalnya. Setelah saya baca, isinya kurang-lebih sama dengan media lain. Kontras dengan rubrik Laporan Khusus "Bukan Caleg dalam Karung",yang berupaya mengatrol optimisme bahwa masih ada sosok yang layak diberi kesempatan di tengah pesimisme publik dengan memaparkan sepak terjang mereka yang dirasakan nyata oleh masyarakat.
Secara pribadi, saya tak punya masalah tentang sosok yang diangkat, siapa pun itu. Namun alangkah baiknya bila sisi favoritisme berada di peringkat bawah setelah kapasitas, kinerja, dan visi bila si sosok terpilih menjadi pemimpin negeri ini. Selain bentuk pendidikan politik, ini agar kita tak jatuh di lubang yang sama ketika melihat fenomena memilih pemimpin.
Besar harapan saya Tempo terus berada di khitahnya sebagai pemberi sudut pandang sempurna bagi pembaca. Sebab, dengan informasi yang paripurna, ikhtiar kita menyongsong bangsa yang lebih baik ke depan pun akan sempurna.
Yuda Indra
Akademikus, Pekanbaru, Riau
Koleksi Media Cetak
APAKAH Anda ingin mengetahui perkembangan media cetak atau majalah dari 1980-an? Anda bisa melihatnya di rumah saya di Jalan Kutisari Indah Selatan 7/15, Surabaya. Di sana ada sekitar 80 nama majalah dengan jumlah keseluruhan 1.000 buah dari A sampai Z. Dari Aktuil sampai Zaman. Ada juga majalah DR/Detektif Romantika, Jakarta Jakarta, dan Liberty. Selain itu, majalah Aula, Gontor, dan Suara Muhammadiyah. Tentu saja ada majalah Tempo. Banyak di antara majalah tersebut yang sudah tidak terbit lagi.
Kalau Anda ingin membacanya, silakan kirim pesan pendek ke nomor telepon seluler saya (087850312921 atau 0341-3780472). Sebab, saya empat hari berada di Surabaya dan sepuluh hari di Malang. Oh, ya, ada juga Jawa Pos Minggu edisi 10 tahun terakhir dan berbagai surat kabar yang terbit di beberapa kota di Jawa.
Sugeng Santoso, SH
Advokat
Jalan Candi Agung 4/20C, Kota Malang
Istilah Tionghoa
SAYA turut bersyukur pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan atau pembatalan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 Tanggal 28 Juni 1967, yang isinya mengenai kewajiban instansi pemerintah menggunakan istilah Cina, bukan Tionghoa. Dengan terbitnya SK presiden itu, istilah Tionghoa bakal digunakan di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Saya dapat mengerti bahwa penggunaan istilah Cina sangat menusuk perasaan saudara-saudara saya, warga Tionghoa. Namun ada hal yang perlu saya tanyakan kepada saudara-saudara saya itu: bagaimana mereka secara masif menggunakan istilah yang sangat merendahkan derajat kaum pribumi sesama warga negara, seperti fanqui (manusia iblis). Bahkan ada sebutan untuk pribumi yang maknanya menyamakan derajat manusia dengan binatang najis, yaitu tiko (babi-anjing).
Sebutan atau panggilan bersifat rasis terhadap pribumi itu saya dengar langsung ketika berada di pusat belanja elektronik Glodok, Jakarta; dan Medan, Sumatera Utara.
F.S. Hartono
Purwosari RT 004 RW 059
Sinduadi, Sleman
Yogyakarta 55284
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo