Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah keeper alias penjaga satwa Kebun Binatang Surabaya terlihat sibuk membersihkan kandang, Senin pagi pekan lalu. Seorang di antaranya adalah Toni, penjaga kandang monyet. Beres membersihkan bagian luar kandang, ia segera menyapu bagian dalam kandang.
"Yang luar dulu, baru bersihin yang dalam," kata Toni saat ditemui Tempo. Setelah pekerjaannya beres, tak terlihat lagi sisa makanan atau kotoran monyet berserakan. Kondisi serupa terlihat di kandang beruang madu. Dengan keadaan kandang yang bersih, satwa-satwa itu bisa leluasa berjalan-jalan di kandang tanpa risiko terkena kotorannya sendiri.
Kebun Binatang Surabaya memang sedang berbenah, termasuk dalam hal kebersihan kandang. Walhasil, berdasarkan pengamatan Tempo, kondisinya sekarang jauh berbeda dibanding beberapa bulan lalu. Dulu di hampir setiap kandang terlihat sisa makanan dan feses berserakan. Kini tidak lagi. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk kebersihan kandang supaya satwa bisa makan pakannya secara higienis," ujar Ratna Achjuningrum, Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS), Selasa pekan lalu.
Perihal standar dan sistem pakan satwa memang bukan urusan sepele bagi Ratna. Sebab, hal itu merupakan salah satu poin dari studi lingkungan hidup yang mesti dipenuhi agar perusahaan yang dia pimpin bisa mengantongi izin definitif sebagai lembaga konservasi dari Kementerian Kehutanan. Selama ini perusahaan daerah yang mengelola Kebun Binatang Surabaya itu baru menerima izin prinsip lembaga konservasi dari Kementerian Kehutanan pada 17 Februari lalu.
Selain standar dan sistem pakan satwa, hal yang mesti dipenuhi standarnya dalam studi lingkungan hidup adalah saluran air untuk kesejahteraan satwa dan pengelolaan limbah, baik yang berasal dari satwa maupun operasionalnya. Nah, bila hasil studi menunjukkan semua tuntutan itu terpenuhi, Ratna akan menerima izin definitif sebagai tahap akhir izin lembaga konservasi. Studi lingkungan hidup bisa dibilang sebagai analisis mengenai dampak lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 31 Tahun 2012, izin lembaga konservasi akan diberikan bila telah mempunyai izin studi lingkungan hidup.
Sebelumnya, izin lembaga konservasi Kebun Binatang Surabaya dicabut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 20 Agustus 2010. Langkah itu diambil lantaran konflik internal kepengurusan perkumpulan yang mengelola kebun binatang tersebut tak kunjung rampung. Buntutnya, berdasarkan monitoring dan evaluasi, pengelolaan kebun binatang tak sesuai dengan standar sehingga ratusan satwa mati.
Selepas izin konservasi dicabut, Kementerian membentuk Tim Pengelola Sementara Kebun Binatang Surabaya. Ketua harian tim ini adalah Toni Sumampau, yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Perkumpulan Kebun Binatang Se-Indonesia. Selanjutnya, pada Juli 2013, Pemerintah Kota Surabaya mengambil alih pengelolaan Kebun Binatang Surabaya dari Tim Pengelola Sementara. Sejak saat itulah kepengurusan izin lembaga konservasi terus diupayakan ke Kementerian Kehutanan.
Angin segar sempat berembus selepas Menteri Zulkifli melapor kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Kebun Binatang Surabaya pada 21 Januari 2014. Ia menjanjikan izin definitif akan diserahkan kepada Pemerintah Kota Surabaya pada akhir Januari lalu. Namun janji itu batal dipenuhi karena belum ada studi lingkungan hidup. Kekurangan inilah yang kini digeber penyelesaiannya oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Ratna bersama jajarannya.
Tak mau buang waktu, tim ahli lingkungan hidup dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) digandeng. Pada Februari lalu, tim dari ITS, yang beranggotakan 20 orang, segera menyusun dokumen pengelolaan lingkungan hidup. Tim melakukan observasi di lapangan, meneliti kualitas udara dan air, serta menggali respons dari masyarakat, baik pengunjung, pengelola, maupun warga sekitar kebun binatang. Pada awal April ini, hasil studi sudah beres dan siap disampaikan ke Kementerian Kehutanan.
"Kualitas lingkungan di KBS cukup bagus, kecuali soal air," ucap Lily Pudjiastuti, Koordinator Tim Studi Lingkungan dari ITS. Salah satu penyebabnya: air di kebun binatang ini bersumber dari aliran Sungai Surabaya, yang sudah tercemar. Karena itulah limbah cairnya juga buruk. Masalah air dipandang patut mendapat perhatian untuk dibenahi.
Sony Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, menyambut baik upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya. Jika studi lingkungan hidup sudah selesai dan semuanya oke, kata dia, "Tentu izin definitif lembaga konservasi KBS akan kami berikan."
Jika semua perizinan beres, tinggal selangkah lagi Pemerintah Kota Surabaya bisa mengelola secara penuh kebun binatang kebanggaan warga Surabaya itu. Sayangnya, pengelolaan itu berpotensi tak berjalan optimal. Sebab, belakangan terungkap adanya konflik internal di tubuh manajemen PDTS KBS, yakni antara Ratna Achjuningrum, Direktur Utama, dan drh Liang Kaspe, Direktur Operasional. Keduanya berbeda pendapat dalam sejumlah masalah. Ratna mengaku perbedaan itu sangat mempengaruhi pengelolaan satwa KBS.
Suyatno Sukandar, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, menganggap perbedaan pendapat hal yang wajar. Namun, bila berkepanjangan, tentu mempengaruhi pengelolaan satwa. Adapun Wali Kota Risma percaya perbedaan pendapat itu akan beres begitu Ratna dan Liang mengurusi banyak pekerjaan setelah izin konservasi di tangan. "Sekarang mereka belum ngapa-ngapain. Begitu banyak kerjaan, selesai," ujarnya. "Semakin menganggur, semakin ribut. Itu teoriku."
Dwi Wiyana, Dewi Suci Rahayu
Bagai Tom and Jerry
Ketidakharmonisan hubungan antara Ratna Achjuningrum, Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS), dan drh Liang Kaspe, Direktur Operasional PDTS, bukan cerita baru. Jauh sebelum terkuak ke publik belakangan, yakni saat Tempo menelusuri kisruh di Kebun Binatang Surabaya untuk rubrik Investigasi akhir tahun lalu, ketidakcocokan keduanya sudah tercium.
"Hubungan Ratna dan drh Liang seperti film Tom and Jerry," kata sumber Tempo yang mengaku tahu rekam jejak dan latar belakang keduanya. Film animasi yang populer itu berkisah tentang seekor kucing bernama Tom dan seekor tikus bernama Jerry yang jarang akur.
Inilah sejumlah perbedaan pendapat yang muncul antara Liang dan Ratna.
1. Pergantian Kepala Rumah Sakit Hewan Setail, yang dikelola manajemen Kebun Binatang Surabaya.
Liang, yang juga menjabat Kepala Rumah Sakit Hewan Setail, mengusulkan seorang tamatan sekolah menengah atas karena dinilai sudah berpengalaman. "Saya berani bertaruh anak buah saya yang berpengalaman 10 tahun lebih akan bisa ngurus satwa daripada yang sudah tinggi-tinggi sarjana."
Ratna menolak karena undang-undang menentukan kepala rumah sakit hewan mesti berpendidikan dokter hewan bersertifikat, plus punya izin praktek. "Sekalipun Bu Liang mau marah sampai mutung (mogok), tetap saya bilang tidak boleh."
2. Libur saban Jumat untuk kunjungan ke Kebun Binatang Surabaya.
Ratna cenderung setuju dengan rencana Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bahwa Jumat hari libur bagi satwa. "Manajemen KBS perlu menata dan mempertimbangkan rencana itu."
Liang tak setuju dan menilai hari libur buat satwa belum perlu karena satwa di Kebun Binatang Surabaya sudah terbiasa hidup dalam keramaian. "Bisa jadi kalau sepi nanti malah aneh dan stres."
3. Standar nutrisi pakan untuk satwa.
Ratna berkukuh perlunya standar nutrisi pakan untuk satwa di Kebun Binatang Surabaya. "Nutrisi harus distandarkan. Banyak literatur soal itu."
Liang berpendapat sebaliknya: standar nutrisi tak perlu. "Nutrisi pakan satwa tak perlu distandarkan. Itu semua dari alam."
DW, DS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo