Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat

Surat pembaca.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Protes pembunuhan George Flyod di Amerika.

  • Siap-siap menghadapi normal baru.

  • Virus corona merusak kesehatan mental.

#BlackLivesMatter dan Tatanan Baru

TAGAR #BlackLivesMatter sangat ramai membayangi media sosial hari-hari ini, bersahut-sahutan dengan informasi seputar new normal atau tatanan baru di tengah pandemi virus corona. Ini bagus. Artinya, orang-orang mulai peka terhadap kehidupan yang lain, yang sama berharganya dengan kehidupannya sendiri. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi sangat disayangkan ketika orang-orang ini sebatas takut ketinggalan kereta saja. Istilahnya, fear of moving out. Mereka sebatas mengikut tren saja, dari memasang tagar di media sosial, memasang gambar hitam simbol duka di beranda, hingga memasang foto George Floyd—korban pembunuhan oleh polisi yang menangkapnya—yang berada di Benua Amerika sana. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Papua, ada ratusan pekerja tambang yang dipaksa bekerja di tengah pandemi, ketika 124 orang temannya sudah dinyatakan positif Covid-19 dan dua di antaranya meninggal. Mereka disekap, dijadikan tawanan tambang, karena meninggalkan tambang sama dengan mengatakan tak ingin bekerja lagi buat perusahaan. 

Anehnya, tak ada satu pun gerakan yang digalang untuk membebaskan mereka. Semoga tagar #BlackLivesMatter yang digaungkan di Indonesia bisa membangkitkan kesadaran mengenai saudara kita di Papua. Hanya, posisinya, saat ini kitalah yang memiliki privilege lebih. Saya berharap apa yang terjadi akhir-akhir ini dapat membawa tatanan baru untuk Indonesia. Dalam arti menyingkirkan segala kekerasan rasial, agama, dan kelas. 

Ratri Pramudita

Alor, Nusa Tenggara Timur

 

Tetap Waspada  

KITA bakal memasuki fase new normal. Sebuah fase saat aktivitas kembali berjalan demi menggerakkan roda perekonomian yang merosot tajam gara-gara pandemi virus corona. Tak ada satu pun negara yang perekonomiannya selamat dari corona. Indonesia bisa parah.  

Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya bisa mematok angka pertumbuhan ekonomi tak sampai 1 persen di akhir tahun. Itu pun sudah disuntik dengan berbagai instrumen fiskal. Fase new normal ini barangkali ikhtiar dari pemerintah untuk mencapai tingkat pertumbuhan seperti yang dikatakan Sri Mulyani.  

Saya tidak anti terhadap kebijakan new normal karena barangkali hanya itu satu-satunya cara agar sendi-sendi perekonomian kita tak makin hancur. Wabah ini bukan hanya persoalan pemerintah, melainkan kita bersama. Ini masalah saya, ini masalah Anda, ini masalah kita.  

Dengan menyadari ini problem bersama, artinya kita tetap waspada meski new normal mulai diberlakukan. Protokol kesehatan, seperti penggunaan masker, cuci tangan, dan jaga jarak, tetap dijalankan di mana pun. Jika semua orang disiplin, bukan tidak mungkin kita bisa bebas dari virus corona dan ekonomi kembali pulih.  

Rizky Persada
Bogor, Jawa Barat

 

Menghalau Cemas dan Frustrasi 

PAKAR kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan pandemi Covid-19 telah menyebabkan krisis kesehatan mental. Situasi yang serba tak pasti lengkap dengan keteraturan baru—yang berbeda—membuat orang mudah cemas, khawatir, dan berujung depresi. 

Sebuah laporan dari Amerika Serikat, selain tentang perlawanan terhadap rasisme, cukup menyentak. Laporan Express Scripts mencatat kenaikan angka resep obat anti-kecemasan hingga 34 persen pada Maret lalu. Penggunaan obat anti-kecemasan ini dua kali lebih tinggi pada perempuan atau meningkat hingga 40 persen. Sedangkan pada pria meningkat 22,7 persen. 

Apa yang terjadi di Negeri Abang Sam itu sebetulnya sama dengan yang kita alami saat ini. Bedanya mungkin catatan itu terdeteksi dengan baik di sana, sementara kita tidak mendokumentasikannya dengan baik. 

Saya ingat beberapa waktu lalu Himpunan Psikologi Indonesia menerjunkan banyak relawan sebagai tenaga konseling daring untuk membantu meringankan gejala kecemasan dan depresi yang menghinggapi kita saat ini. Seorang kawan yang berprofesi sebagai psikolog menggratiskan jasanya selama akhir pekan. Saya mendengar, justru di masa inilah psikolog paling dibutuhkan. 

Saya berharap makin banyak pihak yang memperhatikan masalah ini dan tidak menyebarkan toxic positivity yang mungkin makin merepresi kecemasan. It's okay to not be okay. Semoga pemerintah makin mawas bertindak supaya tak membuat kecemasan publik makin berlipat karena akrobat kebijakan. 

Pratiwi
Jagakarsa, Jakarta Selatan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus