PERSIS 23 tahun lalu, di nomor perdana TEMPO, "Pengantar Redaksi" menyampaikan filosofi jurnalisme majalah ini. "Kami percaya, tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengomunikasikan saling pengertian." Selama 23 tahun ini kami berusaha seimbang dalam pemberitaan, memberi kesempatan sumber berita mengetengahkan pandangan masing-masing. Maka, ketika kasus yang melibatkan Ria Irawan sedang panas- panasnya, dan kami anggap keterangan dari pihak artis itu terlalu sedikit hingga orang tak diberi kesempatan menimbang dengan baik, TEMPO berupaya mewawancarai yang bersangkutan. Kebetulan, Redaktur Pelaksana Matra, majalah bulanan yang "saudara muda" TEMPO, Kemala Atmojo, menawarkan jasanya. Bukan karena apa, tapi memang ia sahabat Ria, seperti dapat Anda lihat di foto ini. Dia berhasil. Wawancara itu, yang dimuat di TEMPO 5 Februari, yang beredar Selasa 1 Februari, melengkapi Laporan Utama. Tanggal 3 Februari, di sebuah harian muncul berita bahwa Ade Irawan, ibu Ria, menilai wawancara itu "tidak lagi mengindahkan etik jurnalistik". Sebab pewawancara "datang ke rumah untuk berbincang-bincang sebagai teman anak saya, bukan sebagai wartawan." Harian itu memang tidak menyebut nama, tapi Kemala merasa "sentilan" itu ditujukan kepadanya. Kemala pun menulis surat pada harian itu, yang tak lain adalah Kompas. Surat Kemala dimuat, 5 Februari, menjelaskan bahwa yang mengetahui ia mewawancarai Ria adalah Dewi Irawan, kakak Ria. Kemala berharap, "kesalahpahaman" ini berhenti di situ. Tapi tiga hari kemudian muncul surat Dewi, yang intinya mengatakan, sebenarnya "Ria tak pernah bersedia mengadakan 'wawancara khusus' dengan media mana pun." Merasa bahwa sampai ia menuliskan wawancaranya tak ada keberatan sama sekali dari pihak Ria, juga Dewi, Kemala -- yang tak ingin memperpanjang "surat-suratan" itu -- terpaksa menulis surat lagi. Sebab, ia, yang sudah menjadi wartawan sejak tahun 1980-an, yang sebelum di Matra sudah bekerja di majalah Zaman (sudah tak terbit lagi) dan Swasembada (sekarang Swa), merasa kredibilitasnya sebagai wartawan diragukan. Sayang, tunggu punya tunggu surat jawaban Kemala tertanggal 9 Februari itu tak juga muncul di harian itu. Untuk sebuah harian, menunda hak jawab seseorang lebih dari sepekan mestinya sudah keterlaluan. Pendapat yang merugikan seseorang itu telanjur terinformasikan pada pembaca harian tersebut tanpa imbangan jawaban dari yang terkena. Secara "matematika baru" pun itu kurang adil: pertama muncul pemberitaan harian itu, lalu surat Kemala, kemudian datang surat Dewi (skor 2-1 untuk pihak Ade-Dewi). Nah, mestinya ada satu lagi kesempatan dari Kemala. Dengan pertimbangan hak jawab yang tertunda itu, dan sebagai media yang memuat wawancara tersebut, TEMPO terpaksa menjelaskan wawancara tersebut. Pertama-tama, pemberitaan harian tersebut pada 3 Februari sebenarnya menyalahi prinsip cek dan recek. Sebelum menuliskan komentar Ade Irawan, mestinya ada pengecekan benarkah yang mewawancarai Ria tak datang secara terbuka sebagai wartawan. Setidaknya, di edisi esoknya, mestinya harian itu sudah memuat penjelasan atau jawaban orang yang di-"sentil" oleh Ade, yakni Kemala. Sejauh yang diingat oleh Kemala, pada 27 Januari, ia menelepon ke rumah Ade untuk menghubungi Ria. Siang, sekitar pukul 13.30, telepon tersambung, yang menerima pembantu di rumah Ade. Kemudian telepon diserahkan pada Dewi Irawan. Dewi bilang, Ria sakit. Kemala mengutarakan niatnya mewawancarai Ria untuk TEMPO malam itu. Jawab Dewi, "Ya, datang saja, kebetulan nanti malam ada dokter dari kepolisian mau menengok Ria." Singkat kata, Kemala malam itu datang, diterima oleh Ria, dan wawancara berlangsung di lantai atas. Sebelum Kemala naik, ibu Ria, yang terbangun dari tidurnya di sebuah kursi panjang, sempat menyapa Kemala. Di lantai atas, Ria sempat minta Kemala agar mendekatkan tape recorder-nya agar ia tak usah omong keras-keras. Ketika Kemala hendak pulang, Ade yang sedang menelepon memberi isyarat agar Kemala menunggunya. Memang ada yang mereka bicarakan berdua tentang suatu hal yang tak berkaitan sama sekali dengan wawancara Ria. Ketika itulah, entah mengapa, kaset berisi rekaman wawancara yang ditaruh di meja oleh Kemala diambil Ria. Tapi sebagai wartawan yang sudah bekerja bertahun- tahun, sudah menulis buku Kami Bukan Lelaki (terbit di tahun 1980-an), Kemala tidak mengacuhkan benar soal kaset. Ria toh tak melarangnya memuat wawancara itu. Maka, arek Lamongan berusia 32 tahun ini pun esoknya pergi ke TEMPO dan menuliskan wawancara itu, diselingi sebentar-sebentar menelepon Dewi, untuk mengonfirmasi sejumlah hal, antara lain nama obat Ria. Sampai saat itu, Dewi pun tak menyatakan keberatan atas wawancara itu. Sungguh sayang, harian yang memuat keterangan Dewi bahwa "Ria tak pernah bersedia mengadakan 'wawancara khusus'," dalam surat pembacanya di rubrik Redaksi Yth, tak memberi kesempatan kepada Kemala menjelaskan duduk perkaranya. Yakni bahwa Ria sendiri tak pernah menyatakan keberatan soal wawancara itu. Kami berharap tulisan ini, pada ulang tahun ke-23 TEMPO, dapat "mengomunikasikan saling pengertian", agar kredibilitas wartawan tetap terjaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini