BERMULA Oktober tahun lalu. Ketika itu, Wartawati Yuli Ismartono sedang berada di kantor Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. Ia berbincang-bincang dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Ribhi Awad, menyangkut soal kunjungan pemimpin PLO Yasser Arafat ke Jakarta. Tiba-tiba Yuli menerima pesan telepon dari Redaktur Pelaksana Liputan Amran Nasution. Isinya: Yuli segera bersiap-siap berangkat ke Moskow, guna meliput peristiwa besar yang terjadi di negara bekas Uni Soviet itu. Waktu itu, Yeltsin untuk pertama kalinya menggunakan kekuatan militer untuk mengakhiri perlawanan ketua parlemen, Ruslan Khasbulatov. Mengapa Yuli yang dikirim ke negeri yang (waktu itu) sedang terancam perang? Tentu saja kami punya pertimbangan sendiri. Wartawan yang dipilih harus punya mobilitas tinggi dan, yang lebih penting, harus punya pengalaman meliput peristiwa perang. Soal pengalaman perang inilah yang menyebabkan pilihan jatuh pada Yuli. Ketika masih bertugas sebagai Kepala Biro TEMPO di Bangkok, Yuli pernah meliput perang saudara antara pejuang Tamil dan Sinhala di Sri Lanka. Wanita kelahiran Yogyakarta ini juga berpengalaman dalam membuat reportase langsung perang di Kamboja. Ia pulalah yang meliput Perang Teluk. Yuli masuk ke Bagdad hanya beberapa hari sebelum serangan dahsyat Amerika dilancarkan ke Kota Seribu Satu Malam itu. Akibatnya, Yuli dan sejumlah wartawan asing terkurung di kota yang sedang ditimpa hujan rudal ini. Ia berhasil keluar dari Baghdad ke Yordania, di tengah suasana pertempuran. Sejak Juli tahun lalu, Yuli ditarik ke Jakarta. Tugasnya sehari-hari menjadi koordinator liputan luar negeri, menggantikan Achijar Abbas Ibrahim yang beralih tugas menjadi koordinator foto. Dalam jabatannya itu, Yuli punya tanggung jawab membina jaringan liputan TEMPO yang ada di luar negeri. Karena itu, seusai bertugas di Rusia, Yuli ditugasi oleh redaktur pelaksana liputan mengunjungi sejumlah negara di Eropa Barat, untuk mengembangkan jaringan liputan TEMPO. Ternyata tak mudah merealisasikan rencana tadi. Urusan visa masuk ke Rusia menjadi hambatan. Rupanya, pemerintah Rusia, waktu itu, berkeberatan menerima kunjungan wartawan asing ke negerinya yang sedang dilanda huru-hara itu. Selama seminggu, hampir setiap hari Yuli nongkrong di Kedutaan Besar Rusia di Jakarta, tapi tanpa hasil. Lampu hijau baru datang dari Moskow tiga minggu kemudian, saat suasana di Moskow sudah mulai tenang. Dari segi kehangatan -- sebagai salah satu kriteria layak berita -- peristiwa serangan terhadap gedung parlemen Rusia itu sudah lewat dan mendingin. Dengan alasan itu, keberangkatan Yuli ke Moskow ditunda. Baru awal Desember lalu, Yuli terbang ke Moskow. Soalnya, Rusia akan melaksanakan pemilihan umum. Itu adalah pemilu multipartai yang pertama diadakan di negeri itu. Pemungutan suara yang juga menentukan nasib konstitusi baru Rusia itu tentu tak kalah pentingnya dengan peristiwa dua bulan sebelumnya. Saat itu Moskow sedang musim dingin. Karena itu, Yuli berangkat dengan mantel tebal, topi, dan sepatu bot. Suhu udara berkisar 10 derajat Celsius di bawah nol. Ini kunjungan jurnalistik pertama Yuli ke bekas negeri superkuat itu. Apa oleh-olehnya dari sana? Tentu itu sudah Anda nikmati lewat informasi eksklusif di halaman Majalah TEMPO dalam beberapa edisi akhir tahun lalu. Dalam TEMPO nomor ini, Anda dapat menemukan laporan panjang tentang mafia Rusia di rubrik Selingan. Itu dibawa Yuli dari Moskow.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini