Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat

Surat Pembaca tentang nilai novel Jepang dan belajar dari Malaysia. 

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
SURAT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nilai-nilai Novel Jepang dan Indonesia

BILA mendalami karya-karya sastra para peraih Nobel dari Jepang, seperti Kawabata dan Yukio Mishima, kita bisa melihat moral puritan bangsa Asia yang sangat paternalistik. Dalam Pengakuan Sebuah Topeng atau Kuil Kencana dari Yukio Mishima, kita saksikan tokoh-tokohnya memiliki loyalitas tinggi kepada atasan. Segala daya dan motivasi yang bergerak seakan-akan hanya diperuntukkan bagi harga diri dan penghormatan kepada para penguasa, yang bakal terus mereka bela sampai menghadapi risiko maut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keterkaitannya dengan karakter pada penokohan novel Pikiran Orang Indonesia memang sangat relevan. Di situ tampak bahwa kematian dianggap komoditas yang murah sekali. Udin Syafruddin (wartawan), Marsinah (buruh), Wiji Thukul (seniman), Munir (aktivis hak asasi manusia), dan ribuan korban lain selama kekuasaan militerisme Orde Baru. Mereka ditenggelamkan oleh budaya kekejaman dan sadisme serta pandangan remeh terhadap sesuatu yang disebut luka, rasa sakit, hingga mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kematian yang dianggap komoditas itu diperuntukkan bagi harga diri, wibawa pemerintah, dan kelangsungan institusi militer (sebagai pihak yang mengabdi) demi penghormatan kepada petinggi militer Soeharto (sebagai tuan yang diabdi). Bandingkan dengan para pengikut gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dipulangkan ke Indonesia, yang sebenarnya memiliki esensi sama, bahwa penghormatan kepada sang guru (al-mu’tabir) adalah syarat mutlak menjadi anggota yang baik.

Kematian yang estetis dengan mengatasnamakan tuan yang diabdi telah memiliki sejarah panjang di wilayah Asia serta tergambar jelas dalam moralitas dan etika kaum samurai, hagakure, yamato damaschii, moral bushido, hingga pilot-pilot Kamikaze. Kekejaman dan moral samurai ini berbanding lurus dengan para perakit bom bunuh diri, baik yang tersembunyi maupun yang diledakkan di tempat-tempat umum. Dalam prinsip hagakure, semua bentuk kekejaman dan sadisme itu hanya ditujukan kepada yang terhormat sang Daimyo. Sebab, memang seorang samurai sejati dididik secara jiwa-raga untuk setia dan taat kepada tuan yang diabdi.

Selain itu, dalam ajaran hakagure (samurai) terkandung filsafat cinta, tapi kecintaan itu dipupuk sedemikian rupa agar menemukan puncak kesempurnaan dalam loyalitas tanpa reserve kepada sang penguasa. Sama halnya dengan doktrin militerisme di masa Orde Baru, yang memandang kebebasan berpendapat dan pemikiran kritis kaum muda sebagai ancaman kekuasaan yang harus ditumpas dan diberantas habis.

Dalam Pikiran Orang Indonesia tampak jelas bahwa tokoh semacam Aris dan Darso dianggap sebagai batu sandungan bagi kelangsungan doktrin tri upaya cakti, yang lahir dari para petinggi militer Orde Baru. Dalam kitab Hagakure yang ditulis seorang samurai, Jocho Yamamoto (1659-1719), terungkap bait-bait yang dikutip oleh para pilot Kamikaze. Karya Yamamoto itu pernah dihidupkan kembali setelah restorasi Meiji, bahkan dianggap sebagai buku pegangan wajib bagi anggota militer yang dikerahkan di medan pertempuran selama masa Perang Dunia Kedua.

“Kalaupun dilahirkan kembali sebanyak tujuh kali, saya tidak mengharapkan sesuatu yang lebih dari menjadi seorang samurai Nabeshima serta mengabdikan hidupku sepenuhnya demi Han (keluarga besar pangerannya),” demikian tulis Yamamoto.

Seorang analis budaya dan antropologi samurai Jepang, James Clavell, menggambarkan dalam novelnya yang terkenal, Shogun, bagaimana tradisi yamato damaschiiperihal pangeran yang menganjurkan kekejaman dan sadismerupanya sangat mencintai simbolisasi rafinesse, yakni pencinta para pelayan seksi nan cantik yang diperlakukan sebagai budak bagi pelampiasan nafsu berahinya. Di sini kita melihat adanya pertalian peradaban Asia juga perkawinan antara kecantikan, darah, dan luka-luka. Sebagaimana novelis muda dari Jawa Barat, Eka Kurniawan, melukiskannya dalam novel Cantik Itu Luka.

Pada novel Pikiran Orang Indonesia, kita melihat bagaimana tokoh Aris yang berhubungan mesra dengan kekasihnya, Ida Farida, lalu dihadapkan pada siksaan dan pemukulan bertubi-tubi dari petinggi militer yang menuduh Aris telah keluar dari barisan protokoler. Lagi-lagi kebebasan individu dan hak berpendapat yang bertabrakan dengan doktrin-doktrin militerisme Orde Baru. Ditambah sentimen primordial yang dengan sengaja dikobarkan pihak penguasa.

Tapi pada prinsipnya, seumumnya karya sastra yang baik, novel Pikiran Orang Indonesia berbeda jenis pewartaannya dengan Cantik Itu Luka. Ia lebih mendekati karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang tidak melegitimasi kekuasaan, tapi lebih mengedepankan nilai-nilai kebaikan ketimbang estetika dan keindahan bahasa semata.

Novel Pikiran Orang Indonesia bukan diperuntukkan demi kepentingan seni dan hiburan semata, melainkan sengaja ditulis pengarangnya sebagai sarana dakwah, syiar, power of influence, atau sumber legitimasi untuk mengajak pembaca memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Feri Kusuma
Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jakarta


 

Kita Belum Terlambat

SAYA tidak terkejut kenapa pemerintah Malaysia bisa lebih maju melampaui kedigdayaan Indonesia. Pemimpin dan rakyat Malaysia bahu-membahu membangun negaranya, sibuk mengoreksi diri, sibuk mengutamakan satu sama lain, sibuk membaca buku, bahkan sibuk minum susu. Sementara itu, orang Indonesia tidak tertib dan tidak taat aturan. Saya masih heran, banyak orang terdidik yang belum bisa membedakan tempat sampah dan jalanan.

Mari kita lihat orang Jepang. Mereka tidak memprioritaskan agama, tapi adab dan moralitas lebih tinggi di sana daripada di sini. Mereka memiliki rasa malu yang tinggi. Mereka tidak punya slogan kebersihan sebagian dari iman, tapi kenapa mereka sangat maju dalam hal ini. Saya masih tidak habis pikir dengan jalan hidup kebanyakan orang Indonesia. Mereka sungguh kalah dalam segala bidang oleh negara serumpunnya, Malaysia. Di sini, baru lampu hijau menyala sedetik langsung membunyikan klakson.

Saya mendapat banyak cerita dari teman yang pergi melancong ke India ataupun membaca beberapa tulisan orang Indonesia yang berkunjung ke sana. Menurut mereka, negara kita lebih baik, bahkan lebih indah, dibanding negara dengan semiliar orangnya itu. Tapi kenapa kebanyakan orang Indonesia tidak mau mengubah kebiasaan yang merusak lingkungan dan mengubah kebiasaan menyia-nyiakan waktu. Saya miris melihat tanah yang diberkahi Tuhan ini, dengan segala macam tanaman yang tumbuh dan sungai yang jernih mengalir dari atas gunung sana, rusak, kotor, dan tidak dihargai sama sekali.

Mengapa pemerintah tidak mengubah sistem pendidikan untuk mengubah kebiasaan yang tidak berguna? Contohnya ujian anak kelas I-III sekolah dasar. Kenapa mereka tidak diajari pendidikan moral dan etika? Bukankah ini langkah yang tepat untuk mengubah sistem bermasyarakat yang korup, rusak, dan lelet?

Jika Anda membaca tulisan ini, tolong ubah kebiasaan buruk dari hal-hal kecil agar kita menjadi bangsa besar. Tanamkan nilai-nilai etika, tata karma, dan moral kepada anak Anda atau anak-cucu Anda. Sebab, sejatinya di tangan anak-anak kita nasib bangsa besar ini diarahkan. Apakah Anda tidak mau melihat Indonesia sejajar dengan negara-negara maju dan beradab? Apakah Anda diam saja melihat tanah air Anda diinjak-injak dan kekayaan tanah kita diambil dengan serakah oleh para penguasa dunia?

Bangunlah, kita belum terlambat.

Ibrohim
Bekasi, Jawa Barat
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus