Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KEBURUKAN, sebagaimana keindahan, adalah bagian dari realitas semesta. Semua ada gunanya,” kata filosof Umberto Eco. Maka, di tengah kelindan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang merajalela, kita boleh ingat kepada karya seni indah yang justru berobyek buruk dan bedebah: serangan wabah. Dan karya-karya seni berobyek mengerikan itu tidak sedikit yang membubung sebagai adikarya, di antaranya dalam lukisan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari abad ke abad, setidaknya sejak Black Death atau Wabah Hitam melanda Eropa pada abad ke-14, banyak lukisan yang menggambarkan cerita pilu tentang keganasan wabah. Dari eksponen Albrecht Dürer pada abad ke-15, generasi Tintoretto pada abad ke-16, Nicolas Poussin pada abad ke-17, sampai para pelukis pengikut Jacques-Louis David dan Vasily Surikov pada abad ke-19. Mazhab visual klasik dan neoklasik mereka dengan apik menghantar berbagai kisah absurd yang memiliki hubungan berlapis dengan serangan wabah. Dari pes, kolera, flu, sampai cacar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang layak diingat adalah lukisan Kerusuhan Maut Hitam di Moskow karya Ernst Lissner (1874-1941). Lukisan ini merekonstruksi chaos yang digerakkan rakyat miskin di Moskow akibat wabah pes pada 1771. Kerusuhan terjadi karena pemerintah dianggap tidak sanggup meredakan wabah. Juga setelah diketahui bahwa wabah pes itu didatangkan oleh tentara Moskow yang baru pulang dari Perang Ottoman. Sebentangan perang yang diinisiasi oleh kekuasaan otoriter Rusia. Lukisan Lissner yang realis ekspresif dengan sapuan warna biru-putih-kelabu berhasil menghantar amuk dan ketakberdayaan rakyat di tengah cuaca yang dingin dan kelu.
Syahdan, setelah pes, wabah kolera menyerang hebat negeri itu 60 tahun kemudian. Epidemi kolera pada 1830-1831 itu juga mendatangkan kekalutan yang luar biasa. Litografi berjudul Raja Meredakan Kerusuhan Kolera secara rapi mendokumentasikan satu fragmen dari kekalutan itu. Dalam gambar tampak Kaisar Nikolai I yang sama sekali tidak khawatir tertular berdiri di atas kereta kuda di Lapangan Saint Petersburg, di tengah rakyat yang sakit dan lapar. Wabah ini juga dibawa dari medan pertempuran ketika tentara Rusia berkukuh melawan tentara Turki pada 1828-1829.
Wabah di Rusia yang memancing banyak drama memang menstimulasi lahirnya karya seni dari mana saja. Di antara yang memikat adalah Pembunuhan Uskup Agung Ambrose karya engraver kenamaan dari Prancis, Charles-Michel Geoffroy (1819-1882). Ambrose adalah Uskup Agung yang menyadarkan masyarakat bahwa penyakit harus dikalahkan dengan ilmu kesehatan, bukan dengan ritual mencium salib. Namun fanatikus agama tak menerima nasihat itu dan Uskup pun ditikam di tempat umum.
Masalah ritual agama yang mengalahkan logika ilmu kesehatan ini juga digambarkan apik dalam lukisan koleksi Museo Storico Nazionale dell'Arte Sanitaria, Roma, Italia. Lukisan realis anonymous abad ke-17 itu menggambarkan sekumpulan orang sekarat sedang diusung ke dekat gereja yang menaranya seolah-olah memancarkan cahaya Bunda Maria. Mereka meyakini bahwa Sang Theotokos (Bunda Allah) bisa menyembuhkan orang sakit. Lukisan lain yang menggambarkan kegelapan wabah di Roma adalah ciptaan Jules-Élie Delaunay (1828-1891), Plague in Rome (1869), koleksi Musée d'Orsay, Paris, Prancis. Lukisan ini sangat mencekam lantaran pasukan wabah maut itu (ternyata) bergerak atas komando malaikat. Di kanvasnya tergambar malaikat perempuan bersayap sedang memerintahkan algojo wabah masuk ke pintu sebuah rumah. Sementara itu, di sekitarnya, orang-orang telah terkapar mati.
Assasination of Ambrose karya Charles Michel Geofroy./wikipedia
Abad ke-20, walaupun tidak banyak, juga mencatatkan lukisan wabah yang menarik dieja. Karya surealis René Magritte (1898-1967), Les Amants atau Pencinta, adalah contohnya. Lukisan bikinan 1928 ini, dalam dua versi, menggambarkan kepala lelaki dan perempuan. Tapi seluruh bagian kepala lelaki dan perempuan itu tertutup kain tebal putih sehingga menyerupai masker. Pada versi pertama, dua kepala itu berdempet pipi dalam posisi frontal. Pada versi kedua, lelaki dan perempuan itu berciuman.
Para pengamat seni rupa dari waktu ke waktu menggali gagasan lukisan yang berangkat dari teori psikoanalisis Sigmund Freud tersebut. Ada yang menduga bebatan di kepala itu adalah gambaran dari kain yang membuntal kepala ibunda René Magritte ketika si ibu ditemukan meninggal (karena bunuh diri) di kedalaman sungai pada 1912. Namun Profesor Soedarso, SP, MA, ahli sejarah seni Barat, menyimpulkan bahwa Les Amants adalah novel visual tentang ekses wabah kebutaan yang diimajinasikan Magritte. Apalagi setelah diketahui bahwa kemunculan karya itu didorong oleh reaksi tragis Magritte atas tanggapan buruk masyarakat Belgia terhadap pamerannya di Galerie le Centaure pada 1927. “Di situ René mengatakan bahwa hanya wabah kebutaan yang menyebabkan semua orang tidak bisa menikmati lukisannya.”
Novel visual René Magritte ini pada 1995 (seperti) hadir dalam novel José de Sousa Saramago, pengarang besar Portugal. Dalam Ensaio Sobre A Cegueira atau Blindness, Saramago menggubah cerita mengenai wabah kebutaan yang dengan cepat menular. Novel wabah Saramago itu kemudian mendampingi kepopuleran Love in the Time of Cholera karya Gabriel García Márquez dan La Peste karya Albert Camus.
Dari semua lukisan bertema wabah, yang dianggap puncak adikarya adalah karya Pieter Bruegel the Elder (1525-1569), The Triumph of Death. Pelukis Belanda ini menjadi saksi mata dari kengerian epidemi pes. Malapetaka itu mengempas Eropa pada 1563-1566. Sebelum mengalami sendiri, Bruegel sudah membaca keganasan epidemi pes yang melanda seluruh daratan Eropa pada 1347-1351.
Lukisan Bruegel menceritakan penderitaan sekumpulan orang yang terpapar, kesakitan, sekarat, dan mati. Di panel kayu berukuran 117 x 162 sentimeter, ia menggambarkan puluhan orang dari banyak level dan profesi sedang terseok menuju pintu ajal. Semua orang itu—dari pangeran, pedagang, kusir kereta, jenderal, nyonya besar, koki, gelandangan, maling, konglomerat, perampok, tabib, seniman, sampai tentara—sedang menggelepar di sebuah lapangan terbuka. Di satu sisi tampak jajaran pendeta yang kurus sedang khusyuk berdoa. Di altarnya ada seseorang yang terkulai lemas.
Terlihat pula jenazah berkafan ditaruh di peti mati yang diseret oleh staf malaikat Jibril. Di latar tengah terlihat pasukan tengkorak sedang merangsek para manusia yang masih berusaha hidup. Di latar belakang yang jauh, terlihat rumah dan kapal yang terbakar serta sejumlah orang di tiang gantungan. Anjing, kuda, burung, dan aneka satwa terlihat mengais-ngais di tengah situasi. Yang menarik, dalam lukisan tidak tampak tikus barang seekor pun! Padahal mamalia kecil inilah yang membawa kutu dan menyebarkan bakteri maut Yersinia pestis.
Lukisan beratmosfer panas dan gersang ini diilhami berbagai lukisan bertema kematian yang sudah ada, yang juga disebabkan oleh wabah. Misalnya gambaran pasukan tengkorak yang diambil dari lukisan Dance of Death di satu permakaman di Paris. Sedangkan judul The Triumph of Death ia pungut dari mural karya pelukis anonim di Palazzo Sclafani di Palermo, Italia. Kisah wabah dan kematian yang tertulis dalam Alkitab juga menjadi ilham.
Ketika saya dan puluhan orang lain berhadapan dengan lukisan ini di Museo del Prado, Madrid, Spanyol, pemandu museum dengan antusias berkata. “Tidak ada lukisan yang menggambarkan musibah wabah dalam gambaran sekompleks ini. Kami (museum ini) meletakkan The Triumph of Death sebagai kitab visual peradaban yang paling mengerikan. Tapi, jangan lupa, lukisan ini diciptakan dengan misi mengingatkan. Recordar a los humanos el abandono! Mengingatkan manusia dari kealpaan, betapa yang memberi peluang wabah sesungguhnya adalah manusia sendiri. Namun lukisan ini sekaligus memberi harapan bahwa setiap wabah pada waktunya akan pergi!”
AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT SENI RUPA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo