Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggapan Manulife Indonesia

Sehubungan dengan keluhan Bapak Imam Rismanto seperti dimuat dalam rubrik ”Surat” di majalah Tempo edisi 4–10 Juni 2007 yang berjudul ”Kecewa Asuransi Hospital Benefit Manulife”, kami telah menghubungi yang bersangkutan. Kami menjelaskan bahwa proses klaim hospital benefit dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam polis, yaitu jumlah seluruh manfaat yang diterima oleh pemegang polis, baik dari polis ini maupun polis-polis yang diterbitkan oleh pihak lain, maksimum adalah 100 persen dari biaya perawatan yang telah dibayarkan oleh pemegang polis.

Ketentuan itu merupakan penerapan prinsip koordinasi manfaat sesuai dengan asas indemnitas yang umum berlaku dalam industri asuransi. Proses klaim seperti ini juga sudah dijelaskan oleh agen kami sebelum yang bersangkutan mengambil program tersebut. Karena itu, untuk memastikan bahwa jumlah yang diproses tidak melebihi jumlah maksimum pembayaran, kami telah meminta pernyataan yang memuat besarnya klaim yang sudah terbayarkan oleh pihak lain. Untuk pernyataan dimaksud, kami sudah mencoba melakukan follow-up, namun sampai saat ini kami belum menerimanya, sehingga penggantian klaim belum dapat dibayarkan.

Sementara perihal penagihan premi asuransi, saat melakukan penagihan, kami belum menerima permintaan pembatalan program hospital benefit dari klien. Demikian penjelasan kami. Manulife Indonesia memiliki komitmen untuk senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh nasabahnya.

KUMALA D. RUSLIE Marketing & Communications Director Manulife Indonesia


Susu Ultra Rusak

Dua kali saya mendapat produk susu Ultra Milk rusak, padahal masa kedaluwarsanya masih lebih dari setengah tahun. Pertama, saya membeli susu tersebut di gerai Indomart Read Estate, Jatibening, Bekasi. Setelah melapor dengan menyerahkan nomor telepon dan alamat rumah, sehari kemudian manajemen susu menghubungi saya. Susu yang rusak diganti dengan lima dus berisi 250 cc.

Dua bulan berselang, kejadian serupa terulang. Setelah susu dituang untuk dipanaskan, warnanya berubah menjadi abu-abu. Produk rusak itu saya kembalikan ke tempat saya membeli, yakni gerai Alfa Mart, Jalan Harun Raya, Grogol Utara, Kebon Jeruk. Identitas diri saya sertakan pula, dan diterima karyawan setempat. Cuma, sampai saat ini, manajemen Ultra Milk belum memberikan tanggapan.

Berdasar pengalaman itu, konsumen agar berhati-hati dengan produk Ultra Milk. Sebelum membeli, tanyakan kepada penjualnya apakah produk tersebut masih baik atau tidak. Saya berharap Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ikut campur tangan terhadap masalah ini.

UTOMO SARWAN Kebon Jeruk, Jakarta Alamat lengkap ada pada Redaksi


SBKRI Masih Tetap Diminta

Pada April 2007, keponakan saya mengurus surat di Kelurahan Wiyung, Surabaya, untuk keperluan catatan sipil pernikahannya. Berkas sudah diserahkan, tapi petugas wanita di sana tetap minta Surat WNI. Alasannya, semua WNI keturunan di kelurahan itu masih tetap dimintai Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI). Walau tahu ada UU Kewarganegaraan, petugas tersebut berkata, ”Betul UU itu ada, tapi itu omongannya orang di atas saja. Kita yang di bawah belum ada peraturan/instruksinya.”

Terbukti sudah, sewaktu UU ini baru disahkan, banyak orang yang meragukan implementasinya di tingkat kelurahan. Di sejumlah daerah lain, menurut Komisi Nasional HAM, ternyata SBKRI juta tetap diminta. Kalau kondisi seperti ini terus berjalan, berarti ada dua UU Kewarganegaraan yang saling bertentangan, yakni UU No. 62/1958 yang mewajibkan SBKRI, dan UU No. 12 Tahun 2006 yang tidak lagi memerlukan SBKRI. Pasal 2, UU No. 12 Tahun 2006 menyebutkan, ”Yang dimaksud dengan bangsa Indonesia Asli adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya.”

Dengan kenyataan seperti itu, berarti pemerintah turut menciptakan ketidakpastian hukum. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 yang disahkan DPR dan disetujui Presiden itu seolah-olah dapat ”dibatalkan” dengan mudah oleh instansi pemerintah di bawahnya. Keseriusan pemerintah dalam melaksanakan undang-undang itu secara nasional patut dipertanyakan. Sebab, sudah banyak keluhan dari kalangan WNI, tapi tidak ada satu pun otoritas pemerintah yang peduli.

NICOLAS H.T. Surabaya Alamat lengkap ada pada Redaksi


Bersihkan Rekening Liar

Belakangan kita digemparkan oleh adanya rekening liar (gelap) di berbagai departemen. Jumlah seluruhnya amat fantastis, yakni mencapai 1.303 nomor. Nilai uangnya juga tak kalah mencengangkan, yakni Rp 8,5 triliun. Rekening liar ini diduga berada di beberapa instansi/departemen, misalnya Departemen Agama menyimpan dana Rp 2,89 triliun, Departemen Pertahanan Rp 1,83 triliun, dan Departemen Keuangan Rp 1,06 triliun. Rekening-rekening liar itu muncul akibat ketidakpahaman para pengelola institusi terhadap UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Padahal, UU tersebut sangat jelas menyebutkan bahwa setiap kali membuka rekening di lingkup kerja kementerian dan lembaga negara wajib memperoleh izin Menteri Keuangan. Peraturan yang lain adalah Undang-Undang No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. UU ini dengan jelas memerintahkan seluruh uang negara harus disetorkan ke kas negara dan digunakan melalui mekanisme APBN serta tidak ada uang negara yang disimpan di rekening-rekening liar.

Menteri Keuangan berjanji akan segera membereskan rekening-rekening liar itu dengan memberikan tenggat enam bulan kepada kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah untuk menertibkannya. Kecuali Departemen Keuangan, hanya diberikan waktu hanya tiga bulan untuk membereskannya. Kita berharap pemerintah segera menertibkan rekening-rekening liar yang sungguh fantastis itu. Apa pun alasannya, rekening gelap seperti itu harus dianggap sebagai kejahatan.

MILA Kukusan Raya, No. 22 Depok, Jawa Barat


DPR Sudah Ngawur

Kita sangat prihatin dengan terjadinya perdebatan yang tidak produktif di kalangan DPR dalam memahami Tata Tertib DPR, misalnya dalam kasus interpelasi dukungan pemerintah RI terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747. Hal itu terjadi karena peran partai dan fraksi yang tak mampu mengendalikan anggotanya. Terlihat ada anggota Dewan yang mempolitisasi hak interpelasi secara berlebihan dengan alasan kewibawaan citra dan DPR. Padahal, kewibawaan dan citra DPR justru runtuh oleh perilaku mereka sendiri.

Selain itu, substansi hak interpelasi soal nuklir Iran terlalu jauh dan tak relevan dengan kepentingan di dalam negeri. Kalaupun ada relevansinya sangat sedikit. Bahkan mengenai dukungan Indonesia terhadap resolusi DK PBB itu bisa dicabut setiap saat.

DPR memang berpeluang untuk mengajukan hak interpelasi terhadap berbagai persoalan. Cuma, jika semua hak interpelasi harus dijawab langsung oleh Presiden, waktu Presiden akan tersita untuk mengurusi hak interpelasi.

DYAN YUSTISIA S.H. Pokja Praktisi Hukum Bogor Jalan Roda No. 54, Bogor


Interpelasi Makin Kebablasan

Belakangan, DPR begitu bersemangat menggunakan hak interpelasi. Belum selesai interpelasi soal Iran, kembali mereka menggulirkan interpelasi masalah Lapindo karena pemerintah dinilai lamban mengatasi persoalan. Sepertinya, interpelasi merupakan pekerjaan yang diidolakan para wakil rakyat.

Di era keterbukaan, DPR seolah-olah mencari peluang untuk mencari celah dan kesalahan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Interpelasi merupakan salah satu senjata yang dapat menjatuhkan kekuasaan bila jawaban pemerintah dianggap tidak memuaskan. Siapa pun tak dapat mengekang atau melarang DPR untuk menggunakan hak interpelasi. Namun, lambat-laun, penggunaannya makin kebablasan, seolah ada sesuatu di balik penggunaan hak tersebut.

Berkait dengan persoalan perlu atau tidaknya Presiden hadir, pengacara senior Adnan Buyung Nasution menegaskan perlunya DPR melihat sisi ketatanegaraan. Indonesia bersistem presidensial, bukan parlementer yang mengharuskan presiden hadir untuk memenuhi undangan DPR.

YONAS G. Jalan Gandaria Tengah II, Jakarta


Reaksi Penangkapan Dujana

Beberapa hari terakhir, media massa Indonesia dihiasi pemberitaan dan opini seputar penangkapan tersangka pelaku aksi teror Abu Dujana. Yang menarik, Tim Pembela Muslim berencana mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polri karena dianggap melakukan pelanggaran HAM saat menangkap Abu Dujana. Uniknya, gugatan itu dilakukan atas dasar kesaksian seorang bocah berusia 8 tahun (Ervan Hardoko, putra sulung Abu Dujana), yang mengatakan ikut menyaksikan proses penangkapan ayahnya.

Kesaksian itu dengan serta-merta disambut sejumlah kalangan, termasuk sebagian anggota DPR RI, yang juga berencana akan melayangkan surat protes ke Mabes Polri terkait proses penangkapan Abu Dujana. Tanpa bermaksud mengabaikan masalah HAM dalam proses penangkapan tersangka teroris yang seharusnya juga diperhatikan oleh petugas polisi, menurut hemat saya, reaksi atas prosedur penangkapan Abu Dujada terkesan berlebihan. Banyak pelaku tindak pidana dalam kasus lain, yang mungkin mengalami penangkapan tidak prosedural, tetapi belum pernah seheboh ini.

Kasus ini mencuat karena adanya peran media massa. Kesaksian seorang bocah telah ditempatkan sebagai headline berita sejumlah media, baik cetak maupun elektronik. Opini yang berkembang setelah itu, tanpa kita sadari, telah mengubur fakta penting bahwa Abu Dujana patut diduga sebagai tersangka teroris yang memang berbahaya. Andaikan Abu Dujana bisa ditangkap cukup dengan doa, untuk apa polisi harus bersusah payah mengejar, bergulat, dan mengeluarkan tembakan?

RICARD RAJA Jalan Kejora, Oebufu, Kupang, Nusa Tenggara Timur. [email protected]


Prihatin Iklan Kampanye

Saya sangat prihatin menyaksikan iklan kampanye calon Gubernur DKI Jakarta di salah satu situs berita. Sebab, ada kesan kampanye yang kurang sehat di sana. Dalam situs itu, masing-masing pihak memang diberi kesempatan untuk beriklan dengan ruang yang sama dan tempat yang hampir sama. Tim sukses Fauzi/Prijanto memasang iklan dengan menampilkan gambar Fauzi/Pijanto dengan tulisan, ”Jakarta untuk Semua.” Kemudian, ada komentar bergambar mantan Gubernur Ali Sadikin, ”Kalau Jakarta Mau Maju, Serahkan Pada Ahlinya.

Sedangkan Relawan Oranye memasang iklan dengan kalimat, ”Kaciian deh, Bang Yos Pontang-Panting Sendirian Ngurusin Jakarta.” Setelah itu, ada gambar bocah dengan komentar, ”Ahlinya, kemane ajee, Ngkong?” sambil menunjuk ke arah iklan (yang kadang-kadang pas) ke gambar Ali Sadikin. Kemudian disusul iklan, ”Ayo Benahi Jakarta” , dan seterusnya.

Kita semua berharap warga Jakarta telah dewasa sehingga dapat memilih calonnya dengan hati nurani. Warga Jakarta tak perlu terpancing oleh kampanye yang tidak sehat, apalagi ikut-ikutan saling meledek antarpendukung. Mari sukseskan Pilkada DKI agar berjalan baik dan lancar, tanpa kesan saling menjatuhkan lawan.

HANS SUTA WIDHYA Jalan Mangga No. 52A Jakarta


Pilkada DKI Pesta Para Elit

Hiruk pikuk menjelang Pilkada DKI Jakarta cuma terasa di layar kaca, media cetak dan spanduk-spanduk saja. Di lapangan yang terjadi sebaliknya, masyarakat cenderung cuek. Setiap naik taksi, angkutan umum atau KRL saya sering iseng mengobrol dengan para sopir taksi dan penumpang lainnya tentang pilkada DKI juga para kandidat gubernurnya. Pendapatnya hampir sama: Pilkada cuma kendurian para elit partai, pejabat dan orang berduit. Malah kesimpulan lebih ekstrim adalah siapapun orangnya yang jadi gubenur tidak akan pernah bisa membenahi Jakarta. Jakarta tetap banjir, macet, kotor, polusi, pusat kriminalitas dan pengangguran, serta biangnya wabah penyakit. Mengapa seburuk itu? Karena niat para tokoh yang ingin jadi pemimpin Jakarta bukan untuk melayani rakyat tapi cuma mengejar kekuasaan dan tentunya harta!

Skeptisnya sebagian warga Jakarta terhadap kondisi kota dan para pemimpinnya bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Pengalaman hidup keseharian yang serba sulit membentuk itu semua.

Aus zarkasih Bintaro, Jakarta Selatan


Dana Jangan Salah Sasaran

Ketua Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA), Nur Djuli, menyatakan penggunaan dana reintegrasi anggaran 2007 akan dihentikan untuk sementara sambil menunggu kebijakan baru penggunaan dana tersebut. Rencananya, dana reintegrasi 2007 akan diserahkan dalam dua tahap: tahap pertama sebesar Rp 250 miliar dan tahap kedua Rp 450 miliar.

Keputusan Nur itu didasarkan atas temuan tim verifikasi BRA ketika melakukan peninjauan ke berbagai daerah. Tim menemukan beberapa fakta, di antaranya adanya tumpang-tindih dalam kepengurusan BRA di tingkat pusat dengan kabupaten/kota. Juga, masih banyak korban konflik yang belum mendapatkan bantuan dana reintegrasi. Selain itu, jumlah korban konflik terus bertambah setiap bulan. Masing-masing pihak, seperti Komite Peralihan Aceh (KPA), BRA, dan lembaga lain mempunyai data korban menurut versinya masing-masing.

Penghentian sementara penggunaan dana reintegrasi merupakan langkah yang perlu didukung masyarakat Aceh agar tepat sasaran. Walau demikian, supaya tidak menimbulkan kesan negatif yang dapat memicu masalah baru, penghentian itu hendaknya tidak terlalu lama. Saat ini masih banyak korban konflik Aceh yang hidup dalam kondisi sosial-ekonomi yang sangat memprihatinkan. Mereka butuh perhatian dan bantuan agar penderitaan mereka tak berkepanjangan.

RINNY RAMDHIKA Perum Posal Blok P-21 Jonggol, Bogor


Ralat:

  1. Dalam majalah Tempo edisi 11–17 Juni 2007 di rubrik ”Laporan Utama” di halaman 32 terdapat kesalahan dalam keterangan foto. Di sana tertulis, ”...merayakan hari ulang tahunnya yang ke-86 didampingi Mamiek dan Tutut Soeharto.…” Yang benar, ”...didampingi Siti Hediati Hariyadi (Titik) Soeharto dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut).”
  2. Dalam majalah Tempo edisi 18–24 Juni 2007 di rubrik “Pokok dan Tokoh” di halaman 129 terdapat kesalahan yang sangat mengganggu. Pada judul tertulis ”Tamara Gerladine”, yang benar adalah ”Tamara Geraldine”.

Mohon maaf atas kesalahan ini.

—Redaksi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus