Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

28 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rush Money

Isu rush money merebak di media sosial. Seruan rush money ini tampaknya bentuk tekanan kepada pemerintah, yang dianggap tidak bisa melakukan tindakan hukum yang tegas kepada yang diduga melakukan penistaan agama.

Krisis 1998 awalnya karena masyarakat berduyun-duyun mengambil uang ke bank. Mereka menarik uang lalu menukarnya dengan aset lain, seperti dolar dan emas. Setelah itu, Indonesia jatuh ke krisis ekonomi yang dalam.

Sektor finansial Indonesia terbilang paling rentan dan paling mudah mentransmisikan shock ke seluruh sektor ekonomi. Ketika shock negatif tersebut mengalir ke seluruh sektor ekonomi dan tak bisa diantisipasi dan diperbaiki oleh pemerintah, yang terjadi adalah krisis ekonomi.

Lalu apa mudarat besarnya dari rush money hari ini? Akan terjadi shock perbankan nasional. Dan shock ini akan mudah menjadi shock sektor finansial domestik yang besar. Padahal kita juga berhadapan dengan shock ekonomi eksternal yang tidak kalah mengkhawatirkan, dari perubahan geopolitik global dunia, dari fenomena kemenangan sejumlah kekuatan ultranasionalis di Eropa. Puncak gunung esnya tampak dari fenomena Brexit dan terakhir kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat.

Imbas info kemenangan Trump saja segera terasa, menyebabkan pelemahan rupiah, apalagi ketika Trump benar-benar merealisasi agenda ekonomi politik global yang pernah dijanjikan kepada para pemilihnya. Banyak pihak yang memprediksi dampak negatif agenda ekonomi politik Trump tersebut terhadap perekonomian global. Sebagai negara yang tergolong kecil dalam perekonomian global, Indonesia pasti akan terkena imbas yang besar.

Artinya, kalau provokasi rush money berhasil, niscaya kita masuk ke krisis ekonomi. Apakah dengan krisis kita akan untung secara ekonomi-politik? Jawabnya tidak. Di mana-mana di dunia, ketika terjadi krisis ekonomi, masuknya kekuatan global dalam jantung ekonomi negara menjadi niscaya. Contohnya semua krisis ekonomi yang dialami negara berkembang di mana pun meniscayakan lembaga-lembaga kekuatan ekonomi dunia masuk ke dalam negeri melalui Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan lain-lain, yang semua itu menghilangkan kedaulatan ekonomi negara melalui pencangkokan agenda ekonomi global yang dinamakan "Washington Consensus".

Ketika krisis ekonomi itu berimplikasi pada hadirnya krisis politik dan kemanusiaan, juga meniscayakan masuknya kekuatan politik bahkan militer asing seperti yang telah bisa disaksikan di negara-negara seperti Suriah dan Libya. Itulah sebabnya rush money bagi saya adalah ide gila untuk dilakukan.

Andi Irawan
Bogor, Jawa Barat


Hantu Pencitraan

Politik pencitraan (imagology politics) menjadi fenomena sangat menarik untuk diamati. Tidak cuma di Jakarta, tapi juga di 100 daerah lain yang saat ini tengah menghadapi pemilihan kepala daerah serentak 2017.

Sejak pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2004, kata kunci pemilihan langsung telah melenyapkan asas pendelegasian wakil rakyat. Sejak itu pula di republik kita berkembang politik pencitraan. Sekarang rakyat bebas menyatakan "suka" dan "tidak suka" terhadap calon pemimpinnya. Idiom vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, muncul dari kotak suara.

Untuk menerobos vox populi vox dei, para kandidat berlomba meraih simpati dan empati rakyat. Semua upaya diarahkan untuk membangun citra yang baik, berwibawa, populis, elegan, intelektual, agamis, berbudaya, bermoral, dan sebagainya. Benar apa yang dikatakan Yasraf (1999), manusia acap kali menunjukkan hiperealitas multimakna, tak sesuai dengan realitas sang kandidat sehari-hari.

Padahal sejumlah pilkada sebelumnya telah memberi pembelajaran bagi publik bahwa politik pencitraan yang berlebihan cenderung menghadirkan realitas semu. Dalam realitas semu, seseorang yang sombong tiba-tiba menyulap diri menjadi ramah, manusia berwatak korup menjelma menjadi jujur, dari urakan menjadi kesan agamis, seketika kandidat yang serakah tiba-tiba berubah dermawan, serta perilaku kontradiktif lainnya. Seakan-akan semua hadir sebagai demagog.

Lebih parah lagi, jalan pintas politik pencitraan diterjemahkan dalam bahasa ilmiah atau sains. Dengan maksud, sains dipaksakan masuk taktik politik. Itu sebabnya panen raya lembaga survei politik merebak pada saat periode pilkada. Independensi lembaga survei sering dipertanyakan, terkadang merangkap konsultan politik, bahkan bagian dari tim sukses.

Lembaga survei pilkada sebaiknya independen atau netral. Satu kecurigaan mengatakan ada lembaga survei yang merekayasa hasil survei untuk mempengaruhi opini publik. Untuk perbuatan haram itu, mereka dibayar berdasarkan pesanan. Kecurigaan lain, terjadi pembohongan ilmiah secara terbuka kepada masyarakat awam, juga masyarakat ilmiah. Saat publikasi hasil survei di hadapan pers, sulit ditemukan—nyaris tidak ada—lembaga survei yang mengumumkan sumber dana, tumpukan lembar kuesioner, atau bukti kesahihan penelitian lainnya.

Bukan tidak mungkin ada lembaga survei nakal, mengabsahkan metode multistage-random sampling, jumlah responden, tingkat kesalahan sampel, dan koefisien interval, yang selanjutnya dipelintir dengan statistika.

Menurut Solomon Rivlin, dalam ranah ilmiah, orang yang tidak pintar tapi jujur lebih dihormati ketimbang orang yang pintar tapi tidak jujur. Politik pencitraan menonjolkan keunggulan sang kandidat dan meminimalkan kekurangan yang dimilikinya karena pemilihan langsung mengandalkan popularitas. Demi meningkatkan elektabilitas dan popularitas, acap kali menghalalkan segala cara.

Kecerdasan masyarakat pemilih Indonesia memang terus diuji, sementara pendidikan politik rakyat berada pada kulminasi rendah. Patut disadari bersama, kemenangan kandidat pilkada tidak ditentukan oleh pencitraan politik semata, tapi juga dipengaruhi faktor figur, visi-misi, serta kejujuran kandidat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.

Iwan Fauzi
Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus