Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jemek Supardi melintas. Ia mengenakan topi merah. Pakaiannya rangkap tiga. Berjas, kemeja merah, rompi. Wajahnya dirias putih. Pantomimer Yogyakarta itu lewat di muka para penari yang tengah mengeksplorasi mesin raksasa pengolah tebu yang sudah berkarat dan tak berfungsi. Musik techno berdentum-dentum. Musik yang dimainkan DJ bercadar itu membuat penari bergelora. Mereka memanjat rongsokan mesin, menyelinap di celah-celahnya, bahkan ada yang berani bersalto. Asap buatan yang mengepul mengajak penonton berimajinasi kepada proses produksi pada masa lampau.
Kemunculan Jemek sesaat. Ia seolah-olah bermain tarik tambang dengan para penari, kalah, dan hampir terjatuh. Ia lalu seperti duduk termenung. Penampilannya tak lebih dari empat menit tapi mencuri perhatian. Sebab, di belakang bangkai-bangkai mesin itu ditembakkan film Charlie Chaplin: Modern Times, film bisu hitam-putih tahun 1936. Adegan-adegan Charlie Chaplin bekerja di tengah turbin-turbin raksasa mirip dengan skala turbin yang dilewati Jemek.
"Film Modern Times itu mendapat nyawanya kembali. Meski hanya sebentar, penampilan pantomim cukup memberi makna," kata Milan Sladek, pantomimer Jerman yang menonton. Film itu merupakan refleksi Chaplin terhadap Great Depression, masa-masa Amerika Serikat terjerembap ke resesi ekonomi. Film itu menyajikan betapa para buruh terisap dalam irama kerja mesin. Mesin menjadi tuan atas manusia. Sementara itu, Pabrik Gula Colomadu yang didirikan pada 1861 tersebut kini adalah kuburan besar bagi mesin-mesin. Pada masanya, alat-alat itu sangat canggih. Mesin-mesin itulah yang membuat kolonialisme bertambah kaya. Namun sekarang berkarat, berlumut, tercampak, dan menjadi sarang hantu.
Dan itulah yang menjadikan pertunjukan Sardono menarik. Fabriek Fikr yang digelar kedua kalinya ini adalah juga refleksi atas manusia dan mesin. Bila saja adegan Jemek dan Modern Times itu lebih lama tentu lebih menggigit. Sayang juga Modern ÂTimes hanya ditembakkan di area pojok kanan mesin-mesin di bagian dekat pintu masuk pabrik sehingga penonton ujung kiri tak bisa melihat. Bila saja film ini disorotkan di semua sudut tentu lebih kontekstual. Sebab, Chaplin membuat film ini setelah bertemu dengan Mahatma Gandhi. Adapun Gandhi mengkritik kecenderungan teknologi modern dan industri yang makin mengarah ke dehumanisasi.
Sardono memang masih terlihat mencari-cari bentuk mau "menjadikan apa" artefak Colomadu ini. Ia hanya memberikan stimulus bagi para penari, pantomimer, dan pelukis untuk merespons ruang yang penuh dengan tangki baja, ketel raksasa, pipa, tandon besi, dan benda-benda gigantik lain yang kita tak tahu apa fungsi spesifiknya. Kita hanya bisa menduga-duga semua benda raksasa tersebut merupakan bagian dari proses panjang pembuatan gula, dari mesin penggiling sampai mesin pendidih.
Yang dilakukan penari masih sebatas pesta gerak di antara bangkai mesin. Belum ada koreografi yang terencana. Tapi itu pun sudah melecutkan fantasi bahwa di antara bangkai-bangkai mesin tersebut suatu saat bisa diwujudkan naskah-naskah standar, misalnya Hamlet Machine karya Heiner Muller dan tragedi-tragedi Yunani dari Oedipus sampai Dionysius. Di situ paduan suara bisa bernyanyi dengan berdiri di atas turbin-turbin. Bila ini bisa terlaksana, kiranya akan menjadi tafsir yang tak terduga. Aktor bisa muncul dari sela-sela mesin tua. Adegan-adegan bisa ditebar di berbagai lokasi.
Pertunjukan Sardono sendiri mengalir dari bagian belakang. Di bagian belakang terdapat lantai luas yang mungkin dulu tempat pengemasan gula. Sebab, bagian itu paling dekat dengan jalur kereta lori. Setahun lalu, pada Fabriek Fikr 1, penari Iwan Darmawan menuntun seekor kuda berkeliling di lantai itu karena sedemikian luasnya. Kini para perupa Solo menempelkan lukisan-lukisannya di situ. Dan juga, yang istimewa, para penari Papua, SerraiÂmere Bogie Koirewoa dan kawan-kawan, meminta penonton mencicipi daging kambing yang mereka matangkan di atas batu-batu panas. Papua memiliki tradisi memasak mungkin semenjak zaman megalitikum—yang disebut bakar batu. Daging kambing yang dipanaskan itu bila kita santap memang sampai leleh lemak-lemaknya. Meski bagian atas tetap alot, daging tengahnya lumer dan berminyak. Sebuah sensasi kuliner yang unik.
Lalu penonton diminta berbalik arah, menghadap ke bagian di bawah tak jauh dari jajaran ketel besar dengan ketinggian sekitar 10 meter. Di situ Sardono melakukan painting performance bersama para penari yang mencelupkan rambut panjangnya ke tinta dan mengebas-ngebaskan ke kanvas seperti yang pernah dilakukannya di halaman kompleks Malay Heritage Center, Singapura, beberapa waktu lalu. Di Singapura, pentas ini dilakukan di luar ruang, dekat sebuah kolam dan air mancur, sedangkan kini para penari meniti pipa-pipa panjang, bekas saluran air tebu, yang dijadikan catwalk. Untuk mengiringi pentas ini, komponis Otto Sidharta meletakkan peralatan suara dalam pipa-pipa besar, bekas saluran air tebu itu. Suara gemuruh dan berdentang seakan-akan besi-besi berkarat itu masih berproduksi.
Aktor Tony Broer dan penari Besur kemudian muncul membawa kanvas. Kehadiran mereka disambut air yang dimuncratkan dari bawah. Di bawah guyuran air, penari perempuan menggunakan rambut panjangnya sebagai kuas untuk disapukan ke atas kanvas. Sardono lalu melakukan action painting. Ia melemparkan cat kuning dan merah langsung dari tube ke kanvas. "Kalau hujan, pertunjukan ini bisa lebih dramatis. Air dari atap yang bocor bisa langsung ke kanvas," kata Tony.
Adapun Tony selama sepuluh hari berkemah di pabrik. Ia memasang tenda di berbagai sudut, termasuk bagian-bagian yang paling dianggap angker. Empat aktornya sore itu kemudian berselimut seng—lalu dengan suara gemembreng berlari menggiring penonton ke bagian tengah pabrik. Di bawah ketel-ketel raksasa yang disorot cahaya bergambar buah-buahan, mereka berhenti. Mereka lalu menumpuk-numpuk batu sekepalan tangan yang tak sama bentuknya. Mereka mengusahakan agar susunan itu tak runtuh. Mirip permainan batu yang ada di taman-taman Zen Jepang di Nara atau Kyoto.
Sementara itu, di sebuah ruangan kosong yang sudah boyak, duduk penari Ni Mas Dwi. Ni Mas yang berkemben merah sensual itu menggabungkan diri di tengah para penyusun batu. Ia menggeliat, menampilkan posisi tiduran di tanah dan mengembuskan asap rokok seperti Roro ÂMendut.
Pertunjukan selesai sekitar pukul tujuh malam. Begitu penonton keluar dari pabrik, sisi muka pabrik ditembak oleh video mapping. Sebetulnya bisa lebih mengejutkan bila video ini membuat seolah-olah gedung roboh, hancur lebur. Cerobong utama yang menjadi land mark Colomadu roboh. Tapi video mapping masih cenderung ilustratif dan ornamentik. Toh, rangkaian acara itu bisa dinikmati penonton. "Di kota saya, Koln, Jerman, hal-hal begini susah dilakukan. Menyalakan api di ruangan untuk pentas saja dilarang. Nah, ini para penari membakar batu. Juga menari di atas besi-besi lapuk. Berbahaya. Tentu asuransinya susah bila diadakan di sana," kata Lena Simanjuntak, teaterawan yang lebih dari 30 tahun tinggal di Jerman.
Ia tak menyangka semua sudut pabrik bisa menjadi sebuah panggung pertunjukan. "Wah, sebuah festival pantomim bisa diselenggarakan di sini," katanya ketika menyaksikan bagian belakang yang luas. Ia datang ingin bekerja sama dengan Sardono. "Pada 2018, Milan Sladek akan berulang tahun ke-80. Ulang tahunnya akan dirayakan besar-besaran dengan berbagai pementasan di Bratislava, kota kelahirannya. Kami ingin mengajak Sardono dan Sena Didi Mime berkolaborasi menafsirkan Antigone," katanya—yang bersama Yayu W. Unru dari Sena Didi Mime mendampingi Milan Sladek.
Sampai sekarang bekas Pabrik Gula Colomadu masih di bawah pengelolaan PT Perkebunan Nusantara. Yang mengkhawatirkan adalah bila instansi ini kelak menyewakan Colomadu kepada investor yang lebih tertarik menjadikannya mal, hotel, atau apartemen. "Kami sudah menawarkan mengelola Colomadu selama tujuh tahun. Kami yakin bisa break-even point. Pabrik tetap kami utamakan sebagai gedung pertunjukan. Sementara itu, area sekelilingnya jadi kawasan expo. Seperti expo mebel. Tapi sampai saat ini belum mendapat izin," kata arsitek Paulus Mintarga, yang membantu Sardono menghidupkan bekas pabrik Colomadu.
Penonton yang mengalir sampai malam membuktikan lingkungan itu bisa menjadi sebuah "Taman Ismail Marzuki" yang lain. Yang avant-garde sekaligus merakyat. Sebuah pasar malam pertunjukan kontemporer.
Seno Joko Suyono, Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo