Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

22 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tarik-Ulur Proyek Reklamasi

POLEMIK proyek reklamasi masih menjadi isu panas yang diperbincangkan hingga saat ini. Setelah sempat dimoratorium, hingga pergantian Menteri Koordinator Kemaritiman yang baru, perkembangan proyek ini masih belum ada kejelasan. Padahal reklamasi dapat menjadi kunci untuk pembaruan DKI Jakarta ke arah yang lebih baik lagi.

Melalui reklamasi, pemerintah jadi mempunyai kesempatan untuk menata ulang wilayah pesisir utara yang kondisi perairannya telah rusak dan tercemar agar bisa baik lagi. Di samping itu, proyek ini dapat menjadi solusi bagi masalah kepadatan penduduk yang menghantui Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan segala kendala yang melanda proyek ini, sudah pasti akan ada pihak yang merasa dirugikan. Salah satunya para investor atau pengembang yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bisa dibayangkan sudah berapa banyak modal yang mereka keluarkan untuk memulai proyek ini. Tidak hanya secara materi, mereka juga dirugikan untuk waktu yang tidak terpakai selama masa pemberhentian ini.

Tampaknya Nawa Cita Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai negara ramah investasi akan terganjal karena masalah ini. Lantas bagaimana investor akan berdatangan ke Indonesia jika pemerintah saja tidak mendukung dengan penuh segala kegiatan investasi yang dilakukan di sini.

Kalau yang dipermasalahkan adalah segala perizinan, sangat tidak mungkin bagi para investor atau pengembang untuk mulai melaksanakan suatu proyek tanpa ada persetujuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai tuan rumah. Mereka pasti akan menunggu segala syarat terpenuhi dan mendapatkan izin dari tuan rumah untuk melaksanakan proyeknya.

Jadi akan sangat baik jika pemerintah dapat memberikan dukungan kepada para investor yang berniat berinvestasi dalam rangka memajukan Indonesia, khususnya Jakarta, ke arah yang lebih baik lagi.

Aditya Gunawan
Jalan Kampung Baru, Kembangan, Jakarta Barat


Antara Caltex dan Chevron serta YPC

BOLEH disebutkan bahwa Caltex dan Chevron itu adalah satu kesatuan. Manajemennya sama. Sama-sama dikendalikan oleh pemilik dan pemegang sahamnya di California, Texas, Amerika Serikat. Bagaikan Garuda dengan Citilink. Caltex dan Chevron 11-12.

Lalu apa itu YPC? YPC adalah Yayasan Pendidikan Cendana, yaitu lembaga pendidikan yang didirikan Caltex dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas, plus sekolah luar biasa, di Riau (Rumbai, Minas, Duri, dan Dumai). Gunanya untuk mendidik anak-anak karyawan yang bekerja di tambang minyak tersebut.

Dengan didirikannya sekolah ini, para karyawan merasa aman bekerja di ladang minyak. Sebab, anak-anak mereka berada di lingkungan pendidikan yang menjamin keamanan dan mendapat pendidikan terbaik dari guru-guru berkualitas (buku Melintas Cakrawala, Julius Tahija).

Ketika Chevron masih bernama Caltex, semua berjalan baik. Pembayaran honor guru dan tunjangan setelah pensiun diatur dengan baik. Guru-guru yang mengajar tidak mau tahu apakah gaji mereka dibayar dengan dana bagi hasil 88 persen atau yang bagian Caltex yang 12 persen. Mereka/kami tidak mau tahu akan hal tersebut. Kami hanya mengajar dengan memberikan pengabdian terbaik untuk anak bangsa. Seandainya pun diambil dari 88 persen (milik negara), apakah kami tidak boleh mencicipi uang negara? Mentang-mentang kami bukan pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara.

Nah, setelah Caltex berganti dengan Chevron, segalanya berubah tanpa sosialisasi. Guru-guru yang tadinya mendapat pensiun dengan rumus 1,5 persen x gaji x masa dinas, diganti dengan sistem pesangon, tanpa dijelaskan apa rumusnya. Guru yang pensiun sejak 2008 mendapat pesangon berbeda-beda. Perbedaan itu menimbulkan kebingungan. Ada guru yang masa tugas dan golongannya rendah mendapatkan pesangon lebih tinggi dan sebaliknya. Ini menimbulkan masalah bagi 80-an guru yang pensiun setelah tahun disebutkan. Masalahnya telah/sedang dibicarakan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/dinas tenaga kerja/dinas kebudayaan/asuransi.

Pertanyaannya adalah apakah manajemen Chevron di Jakarta dan Texas mengetahui masalah ini? Pengurus Yayasan menyebutkan bahwa Chevron tidak lagi bertanggung jawab perihal yayasan ini. Apa benar Chevron sebesar ini/kelas dunia yang prinsip perusahaannya adalah memberikan keberuntungan bagi siapa saja di mana Chevron berusaha. Jika memang Chevron tidak akan lagi peduli pendidikan di Indonesia, jelaskan secara profesional kepada kami, guru-guru YPC! Jangan hanya di mulut pengurus Yayasan saja.

Kata Bapak Ahmad Bambang, Direktur Pemasaran Pertamina, "Pertamina harus menjadi rahmatan lil alamin bagi rakyat Indonesia." Chevron semestinya melebihi itu. kami hanyalah guru, yang juga manusia. Tak elok kita berhitung untung dan rugi. Kami hanya tak ingin dibodoh-bodohi. Jangan sampai kami bertindak di luar dugaan.

Syaiful Pandu
Pensiunan YPC, Riau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus