Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKARA kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar adalah coreng di muka pemerintah. Mencopot Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu Senin pekan lalu, sepatutnya Presiden Joko Widodo tak mengulangi praktek ceroboh perekrutan anggota kabinet tersebut.
Terbongkarnya dua kewarganegaraan Arcandra menunjukkan kacaunya sistem verifikasi pemerintah terhadap calon menteri. Presiden, yang disinyalir merahasiakan proses pengangkatan Arcandra—entah dengan alasan apa—nyatanya tak memaksimalkan peran lembaga negara untuk mengecek latar belakang sang calon. Di luar itu, ada pula rumor tentang "tangan-tangan jahat" yang menelikung Presiden. Terlepas dari benar atau tidak desas-desus itu, di bawah kepemimpinan yang tak guyah semestinya semua hal bisa dikendalikan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara jelas menyebutkan bahwa seorang menteri haruslah warga negara Indonesia. Tak mengakui sistem dual citizenship, kewarganegaraan Indonesia Arcandra batal ketika ia disumpah sebagai warga Amerika Serikat pada 2012. Di sisi lain, status warga negara Amerika Arcandra hilang karena ia mengangkat sumpah setia sebagai pejabat di negara lain. Di atas kertas, status Arcandra saat ini adalah stateless.
Berbeda dengan penyusunan kabinetnya dua tahun lalu, pemilihan calon menteri kali ini dilakukan tertutup. Jokowi, misalnya, tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. "Gaduh"—kata sifat yang tak disukai Presiden—dihindari dengan membatasi informasi hanya pada sesedikit mungkin orang. Akibatnya, proses seleksi tidak dilakukan dengan saksama.
Jabatan strategis semacam Menteri ESDM tentulah menjadi perhatian banyak orang. Mengelola duit triliunan rupiah, ia gula bagi banyak semut. Setiap pemangku kepentingan boleh jadi telah menyorongkan calon kepada Presiden seraya mempersoalkan Sudirman Said, menteri sebelumnya. Tapi pertarungan kepentingan itu selayaknya tidak membuat Presiden bermain petak umpet—menyembunyikan kandidat agar pagi-pagi tak ditorpedo musuh. Kepada publik, ia boleh saja menutup rapat informasi tentang kandidat menteri, tapi lewat lembaga negara seperti KPK, PPATK, dan Badan Intelijen Negara, ia harus dengan teliti mengecek latar belakang sang kandidat.
Patut disayangkan, pemerintah terkesan tak sigap ketika media massa dan media sosial gencar memberitakan skandal Menteri ESDM itu. Pada pekan pertama kehebohan tersebut, publik tidak mendapat jawaban yang jelas mengenai benar-tidaknya Arcandra memegang dua paspor.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno, misalnya, hanya menyebutkan Arcandra masuk ke Tanah Air dengan paspor Indonesia. Sebaliknya, Arcandra hanya menyatakan "telah mengembalikan" paspor Amerika miliknya. Dalam wawancara dengan majalah ini, ia mengungkapkan mendapat paspor Amerika sebagai syarat memperoleh paten atas teknologi perminyakan yang ia temukan.
Jawaban Arcandra bahwa ia mau menerima paspor Amerika asalkan tak kehilangan paspor Indonesia—isyarat bahwa ia masih memiliki nasionalisme—bukanlah argumen yang meluluhkan hati. Benar bahwa Arcandra bukan satu-satunya warga Indonesia yang memiliki dua paspor. Tapi harus disadari: dalam sistem hukum kita, praktek itu tidak dibenarkan.
Sikap Arcandra yang tak mau terbuka tentang apakah ia mengembalikan paspor Amerika sebelum atau setelah dilantik menjadi menteri memunculkan tanda tanya. Jika pengembalian itu dilakukan sebelum ia dilantik, semestinya Arcandra bisa meminta izin Presiden agar diperbolehkan masuk kabinet hanya setelah segala urusan selesai. Jika itu ia lakukan, setidaknya kita tak bisa menuduh Arcandra punya niat buruk membohongi Presiden dan rakyat Indonesia. Jika sebaliknya yang terjadi—ia tergopoh-gopoh mengembalikan paspor setelah perkara ini jadi heboh—Arcandra sesungguhnya tengah bermain api.
Keputusan Presiden memberhentikan Arcandra bolehlah disebut sebagai tindakan memadamkan api "gaduh" yang telanjur berkobar. Meski demikian, pandangan lain selayaknya tidak diabaikan: Presiden lebih baik membatalkan pengangkatan Arcandra ketimbang memberhentikannya. Dengan membatalkan, Arcandra tak kehilangan kewarganegaraan Amerika Serikat—sesuatu yang membuat ia menjadi stateless seperti sekarang. Lebih dari itu, segala keputusan Arcandra selama 20 hari memimpin Kementerian ESDM menjadi tak berlaku. Kondisi ini akan memudahkan menteri yang menggantikan Arcandra kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo