Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAHAN pertanian kini bisa berada di gedung bertingkat, bukan hanya di sawah. Konsep bertani ini disebut Low-Energy Paddy Vertical Farming Concept atau menanam padi di lahan vertikal.
Lima mahasiswa Institut Teknologi Bandung menggagas konsep tersebut. Empat di antaranya mahasiswa Jurusan Teknik Mesin, yakni Avip Noor Yulian, Bernard Tristian, Daniel Christopher, dan Dennis Setiawan. Seorang lagi, Victorina Arif, dari Jurusan Teknik Arsitektur.
Mereka merancang model bertani ini pada akhir tahun lalu untuk diikutkan dalam lomba Ashare International Competition (AIC) 2016. Ashare atau American Society of Heating, Refrigerating, and Air-Conditioning Engineers merupakan lembaga profesi bidang teknik di Amerika Serikat.
Di bawah bimbingan dua dosen ITB, Pandji Prawisudha dan M. Agus Kariem, Avip dan kawan-kawan mematangkan gagasan ini pada April lalu. "Kami merancang gedung baru sebagai lahan pertanian," kata Avip, Senin pekan lalu.
Dalam rancangan mereka, gedung akan dibangun di sekitar kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, di atas lahan seluas 60 x 80 meter. Gedung terdiri atas beberapa bagian, seperti lantai utama, ruang bawah tanah atau basement, kubah, dan sistem penyinaran matahari.
Bangunan berbentuk kubus terdiri atas sepuluh lantai. Bentuk ini dipilih karena menyediakan lahan lebih luas di setiap lantai serta memungkinkan sinar matahari menjangkau semua sudut bangunan. Lantai dasar digunakan sebagai kantor. Tingkat 2-9 untuk menanam padi. Tingkat 10 untuk menaruh tangki air. Sedangkan basement jadi gudang penyimpanan gabah.
Selanjutnya kubah berbentuk elips dibangun di puncak gedung, terbuat dari kaca setebal 4 milimeter. Struktur kubah mengikuti sudut elevasi sinar matahari di pagi hari, yaitu 29,45 derajat, agar semua permukaan kubah terkena matahari.
Menurut Bernard Tristian, kubah berfungsi sebagai sistem skylighting. Sistem ini dibutuhkan karena banyak bagian gedung yang tidak tersinari matahari. Padahal tanaman padi membutuhkan matahari lebih dari 500 PAR mol/meter persegi untuk proses fotosintesis.
Metode penyinaran ini terdiri atas tiga bagian, yaitu kubah, terowongan, dan cermin. Cara kerjanya: saat menyinari kubah, sinar matahari akan masuk ke terowongan, lalu diteruskan oleh cermin cembung di dalam terowongan. Sinar kemudian dipantulkan lagi ke cermin di setiap lantai. Cermin itulah yang akan memancarkan cahaya matahari ke tanaman.
Walau begitu, sinar matahari yang masuk ke gedung "hanya" 851.005 watt atau 78 persen. Ini dirasa masih kurang sehingga perlu ditambah dari lampu di tiap lantai. Masing-masing lantai juga dilengkapi ventilasi untuk menjaga suhu di dalam gedung.
Gedung ini sanggup memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara mandiri. Kebutuhan setrum dipasok oleh dua panel surya yang berada di kedua sisi kubah. Tenaga matahari sanggup menghasilkan setrum sebanyak 704 kilowatt-jam (kWh) per hari. Listrik digunakan untuk menyalakan lampu serta menghidupkan mesin pompa air, lift, dan alat-alat kantor.
Bernard mengatakan pola bertani di gedung bertingkat ini serupa dengan bersawah di hamparan datar. Bedanya, sistem pengairan di gedung menggunakan pompa. "Membajak, merawat, dan memupuk padi sama seperti biasa," ujarnya.
Masalahnya, biaya pembangunan gedung ini amat mahal, mencapai Rp 40 miliar.
Tim belum menguji efek dari sistem penyinaran terhadap padi.
Meski masih berupa gagasan, kerja keras mereka berbuah manis. Avip dan tim berhasil meraih gelar juara kedua di AIC 2016 pada Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo