Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klarifikasi Pembicara Seminar Tambora
SAYA ingin mengklarifikasi pernyataan saya di Tempo edisi 30 Maret-5 April 2015 mengenai keberangkatan saya dan Profesor Adjat Sudradjat ke konferensi internasional bertajuk "Volcanoes, Climate, and Society: Bicentenary of the Great Tambora Eruption" di Universitas Bern, Swiss, 7-10 April 2015.
Pada halaman 66, di paragraf penutup, tertulis: "Saya dan Profesor Adjat bayar sendiri ke Swiss," kata Heryadi. Kenyataannya adalah Profesor Adjat yang membayar sendiri biaya ke Swiss, sedangkan saya dibiayai oleh instansi tempat saya bekerja, Museum Geologi, Pusat, Survei Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Memang saat itu, ketika wawancara dengan Tempo pada 24 Februari 2015, dikarenakan batas akhir pendaftaran 28 Februari 2015, saya menalangi biaya konferensi karena pos anggaran dari instansi belum tersedia. Proses perizinan termasuk pembiayaan baru diberikan instansi pada Maret 2015.
Tindakan saya menalangi biaya itu untuk memastikan keikutsertaan delegasi Indonesia sebagai pembicara di sesi pembuka yang dianggap penting oleh panitia konferensi. Saya mohon maaf bagi semua pihak yang terkait.
Heryadi Rachmat
Perekayasa Utama Museum Geologi
Bandung
Terima kasih atas tambahan informasi dari Anda.
Cadangan Gas Blok Mahakam
MASA kontrak Blok Mahakam, salah satu blok minyak dan gas di Kalimantan Timur, habis pada 2017, setelah selama 50 tahun dikelola Total E&P Indonesie dengan working interest yang dikuasai masing-masing 50 persen oleh Total (Prancis) dan Inpex (Jepang).
Sisa reservoir Blok Mahakam diperkirakan 3,8 TCF cadangan gas. Sampai saat ini belum ada kepastian siapa yang akan menerima "durian runtuh" pengelolaan blok tersebut. Jika Pertamina yang akan mendapat hak pengelolaan, siapa mitra yang akan diajak oleh Pertamina untuk mengelola blok tersebut. Mengingat masih besarnya sisa reservoir, sudah pasti banyak pihak yang tertarik berpartisipasi.
Dengan total pengeluaran operasi dan pengeluaran investasi per tahun sebesar US$ 3 miliar atau hampir Rp 40 triliun adalah normal kalau Pertamina akan mencari mitra. Cara terbaik untuk mencari mitra agar bisa memberi manfaat yang maksimal bagi negara ataupun Pertamina adalah dengan tender terbuka yang transparan dengan prakualifikasi yang ketat dan jelas. Jangan sampai ada calon yang sebenarnya hanya perusahaan portofolio pemburu rente.
M. Sulhan Askandar
Jakarta
Tentang Pencurian Ikan
SAYA ingin menyampaikan pendapat terkait dengan investigasi Tempo tentang "Konglomerat Pencuri Ikan" pada edisi nomor 4352/23 Februari-1 Maret 2015. Dalam edisi tersebut, Tempo telah mengungkapkan bagaimana teknik manipulasi izin, perubahan bendera, data kerugian, perizinan tramper, dan sebagainya.
Tempo melaporkan bahwa adanya illegal fishing dan berbagai manipulasi hanyalah taktik dari pemilik kapal asing, broker, atau agen mereka di Indonesia dan Ditjen Perhubungan Laut (bukan Imigrasi), yang diperparah karena KKP kurang peduli atau pura-pura tidak tahu (halaman 28-29), sama sekali tidak betul.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif pada 1989-2001 (bukan 1970-1980, seperti disebut Tempo di halaman 29), kapal ikan berbendera asing diizinkan beroperasi di Laut Cina Selatan dan Laut Banda-Laut Arafura. Waktu itu operasi ini dikenal dengan istilah licensing.
Operasi dengan bendera asing ini sangat menyulitkan karena bahan bakar mesti diangkut dari home base ke fishing ground selama 12-14 hari. Untuk mengatasi masalah ini, agen Indonesia dan pemilik kapal asing mendesain satu taktik, yaitu perubahan bendera kapal asing ke Indonesia. Perubahan bendera ini diterima oleh Kementerian Kelautan dengan keluarnya surat izin penangkapan ikan.
Jadi sesungguhnya mereka menangkap ikan dengan resmi, bukan mencuri. Dan di sini mulai ada manipulasi izin, laporan palsu, kapal siluman, surat izin untuk dua-tiga kapal, dan penyusupan penumpang gelap. Kenapa bisa terjadi? Karena KKP tidak melakukan pengawasan secara ketat dan, lebih dari itu, tidak menerapkan peraturan secara benar dan konsisten.
Kalau dalam sistem licensing (bendera asing) seperti disebut di atas, hasil tangkapan dibawa langsung dari fishing ground ke negara asal kapal, maka dengan perubahan bendera, hasil tangkapan adalah produk Indonesia, harus dibongkar di pelabuhan Indonesia, selanjutnya sebelum dibawa ke luar negeri harus mengikuti ketentuan ekspor.
KKP membiarkan dan mengizinkan hasil tangkapan dipindah langsung dari kapal penangkap di tengah laut ke kapal pengangkut (tramper). Jadi sesungguhnya yang terjadi bukanlah illegal fishing, lebih tepat disebut sebagai penyelundupan, yang tidak hanya diketahui oleh pemerintah, bahkan difasilitasi (izin tramper juga diberikan KKP).
Kalau hal tersebut tidak diungkap secara jelas, timbul pertanyaan: apakah moratorium dan penenggelaman kapal sudah tepat atau hanya mengatasi pencurian ikan belaka.
T.H. Pandjaitan
Pasar Minggu
Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo