Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat Mendadak digelar jajaran Komando Daerah Militer III Siliwangi dua pekan lalu. Sejumlah perwira membahas teknis penggusuran sebuah rumah di Jalan Surapati 29, Bandung, yang akan dikembalikan ke pemilik awalnya. Rapat itu menindaklanjuti kembali surat telegram dari Kepala Staf Angkatan Darat bernomor ST/1474/2009 tertanggal 3 Maret 2009. Isinya perihal pengembalian rumah milik seorang petinggi Partai Komunis Indonesia, Ir Sakirman.
Namun urusan pengembalian rumah yang dirampas Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Jawa Barat—lembaga pelaksana kebijakan Komando Pemelihara Keamanan Ketertiban—sekitar 45 tahun silam itu tak mudah. Beberapa tahun setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S), Resimen Mahasiswa (Menwa) Mahawarman menjadikan rumah itu sebagai markasnya. Hingga kini mereka aktif berkegiatan di sana. ”Itu sebabnya kami melakukan rapat untuk membahas soal itu. Tapi rapat dua pekan lalu itu sebenarnya rapat biasa saja,” kata Kepala Hukum Kodam Kolonel Markoni kepada Tempo.
Kisah rebutan rumah seluas hampir seribu meter persegi yang terletak di jantung Kota Bandung itu bermula ketika Wardono, anak sulung Ir Sakirman, pada 2008 mulai meminta kembali hak atas kepemilikan rumah tersebut. Permintaan Wardono itu ditujukan langsung ke Kodam III Siliwangi, yang mereka anggap sebagai pengawas aset rampasan Laksusda pasca-G-30-S. ”Awalnya hanya lisan, jelas kami tidak mau percaya,” kata Markoni. Ia minta bukti Wardono adalah pemiliknya.
Wardono pun menyerahkan semua yang diminta Kodam, dari ijazah, surat kematian orang tua, hingga rapornya semasa SMP dan SMA. ”Setelah proses verifikasi selesai, kami siap mengakomodasi pengembalian rumah itu dengan bekal surat telegram dari pimpinan Angkatan Darat,” ujar Markoni.
Kodam pun menghubungi pihak Mahawarman untuk membicarakan perihal rumah yang kini nilainya sekitar Rp 3,5 miliar itu. Tapi, berbeda dengan Kodam, pihak Mahawarman tak sependapat jika disebut ahli waris masih berhak atas tanah tersebut. Menurut mereka, rumah dan tanah itu sudah bukan aset Laksusda, tapi menjadi milik negara. Sebab, sertifikat hak guna bangunan rumah itu tak lagi diperpanjang oleh ahli warisnya sejak 20 September 1980.
Menurut Komandan Resimen Mahasiswa Mahawarman Jawa Barat, Djoni Widjaja Aluwi, Mahawarman menilai Kodam telah salah tafsir mengenai kepemilikan tanah itu. Berdasarkan dokumen dari Badan Pertanahan Nasional yang mereka pegang, kata Djoni, status tanah itu tanah negara. ”Bukan lagi okupasi dari Laksusda sejak 1980.”
Penguasaan Menwa atas rumah itu, kata Djoni, juga dikuatkan SK Gubernur Jawa Barat, yang saat itu dijabat Mashudi, tentang pengesahan berdirinya Mahawarman. Surat bernomor Kpts.11/A.19/VIII/1966 tanggal 3 November 1966 itu menyebutkan, staf komando Menwa Mahawarman berkedudukan di Kota Madya Bandung, Jalan Surapati Nomor 33, yang kini jadi nomor 29. Meski bukan bukti hak milik, Djoni menilai SK Gubernur Mashudi itu kuat sebagai dasar bagi Menwa untuk menguasai rumah tersebut. Djoni membantah tanah dan rumah itu sudah diokupasi Kodam sejak 1975.
Pernyataan Djoni disangkal pihak Kodam. Menurut Markoni, surat dari gubernur itu jelas bukan soal kepemilikan rumah. Kodam, kata Markoni, tetap menawari Menwa menempati rumah dinas Kepala Zeni Kodam Siliwangi sebagai ganti rumah Surapati 29. ”Kalau Menwa tetap tidak mau, ya, tidak apa-apa. Yang jelas kami akan tetap melakukan pengosongan di rumah itu,” kata Markoni.
Perebutan rumah ini memang akan berujung di pengadilan. Mahawarman sudah melayangkan gugatan perdata terhadap 10 pihak, mulai lima orang yang mengklaim ahli waris, Panglima TNI, KSAD, Panglima Kodam III Siliwangi, Gubernur Jawa Barat, hingga Badan Pertanahan Nasional. Sidang perdana akan digelar pada 2 Agustus mendatang. ”Dasar gugatan kami kuat,” kata Djoni.
Perebutan rumah ini memang tak hanya didominasi antara Menwa Mahawarman dan Kodam. Selain Wardono, ada orang lain lagi yang mengaku ahli waris Sakirman dan mengaku berhak memiliki rumah tersebut. Salah satunya anak turunan Adi Sidharta.
Kepada Tempo, Wardono menegaskan keluarga Adi tidak berhak atas rumah itu. ”Adi Sidharta itu hanya staf yang pernah diselamatkan Bapak. Jadi tidak ada hak atas rumah,” ujarnya. Menurut Wardono, pihak Adi Sidharta menyatakan memiliki penetapan pemilikan rumah itu. ”Mereka itu hanya mengaku-aku. Dokumen itu tidak sah.” Kodam, kata Markoni, juga tidak mengakui klaim Adi.
Bagi Kodam, kata Markoni, yang terpenting dalam permohonan pengembalian aset okupasi tahun 1965 adalah para ahli waris bisa menunjukkan bukti kepemilikan. Beberapa tahun terakhir ini, kata Markoni, Kodam Siliwangi sudah mengembalikan beberapa aset rampasan Laksusda. ”Itu, antara lain, di Cianjur dan Cirebon.”
Djoni menyatakan pihaknya akan terus mempertahankan markas mereka itu hingga turunnya putusan pengadilan. Kendati demikian, ia menyatakan keheranannya atas keinginan Kodam yang berkeras hendak menggusur mereka. ”Kepentingan Kodam sebenarnya apa sih? Kami ini lahir dari Kodam, tapi kenapa sekarang kami dibeginikan?”
Sandy Indra Pratama (Jakarta), Erick P. Hadi (Bandung)
Belum Lagi Lunas Sudah Dirampas
Rumah itu terpatri kuat dalam ingatan Wardono, 65 tahun. Kamar tidurnya enam, berdiri di atas lahan 900 meter persegi, dan terletak di sudut antara Jalan Surapati dan Jalan Prabu Dimuntur, di kawasan Dago yang tenang dan sejuk. ”Rumah itu dulu mewah sekali,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Di rumah itu, ia ingat, ibunya sudah memasak dengan gas. ”Bayangkan, itu tahun 1960-an.”
Menurut Wardono, rumah tersebut dibeli bapaknya dari seorang Belanda bernama Eduard Rob Randal Linn pada 1962. Dokumen peralihan rumah itu ditandatangani langsung oleh Menteri Agraria Mr. Sadjarwo. ”Bapak mencicil selama sepuluh tahun ke Bank Koperasi Tani dan Nelayan,” kata Wardono. ”Tapi, belum lagi lunas, rumah itu dirampas,” kata bapak dua anak ini.
Sakirman, ayah Wardono, bukan orang sembarangan kala itu. Selain menjabat Wakil Ketua Dewan Perancang Nasional, lulusan arsitek Institut Teknologi Bandung ini juga anggota Politbiro Partai Komunis Indonesia. Lewat partainya itu juga ia kemudian duduk di kursi parlemen. Bahkan menjadi ketua fraksi partainya.
Sakirman langsung menempati rumah Dago itu begitu jual-beli selesai. Dari rumah kontrakan kecil sebelumnya, di sanalah kemudian ia tinggal bersama istrinya, Djuwarti, serta anak mereka, Wardono dan Praktikno. Wardono ingat, jika di rumah, ayahnya kerap memutar tembang Jawa atau cerita wayang.
Sakirman memang hanya sempat menikmati rumahnya itu sekitar lima tahun. Beberapa saat setelah peristiwa G-30-S, rumah itu disita Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Jawa Barat. Sedangkan Sakirman ditangkap tentara. ”Setelah itu hilang,” kata Wardono. Menurut Wardono, saat rumah itu dirampas, ia dan keluarganya ada di Jakarta. ”Jadi mudah tentara menguasai aset kami.” Peristiwa yang menimpa keluarganya itu juga membawa dampak lain untuk Wardono. Kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tak selesai.
Setelah puluhan tahun berlalu, pada 2008 Wardono memutuskan mencoba meminta rumah itu kembali. Ia kemudian mendatangi Markas Kodam Siliwangi. Seperti diduganya, tidak mudah meminta rumah itu begitu saja. Tidak hanya menanyakan bukti kepemilikannya, Kodam juga meminta data-data lain dirinya, termasuk buku rapornya dan ijazah sekolahnya.
Kendati Kodam kemudian mengabulkan permintaannya, jalan untuk mengambil rumah itu kembali tidaklah mudah. Pada 1996, rumah itu sudah menjadi markas Korps Resimen Mahasiswa. Kini Wardono harus berhadapan dengan Menwa, yang berkeras mempertahankan rumah itu. ”Saya tidak ingin mengusik mereka. Saya hanya ingin hak keluarga saya dikembalikan,” katanya.
Sandy Indra Pratama, Erick Piberkah Hadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo