Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pungutan Liar Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat
SAYA calon pegawai negeri sipil golongan III di salah satu kejaksaan negeri di Sumatera Barat. Pada Jumat, 13 Agustus lalu, saya dikagetkan surat edaran dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, yang meminta setiap calon pegawai negeri sipil membayar Rp 2,2 juta untuk biaya pendidikan prajabatan 18 Agustus hingga 2 September. Pendidikan itu supaya calon pegawai diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Anehnya, surut keputusan itu tidak ditandatangani Kepala Kejaksaan Tinggi, melainkan Asisten Pembinaan Riwayadi.
Menurut saya, kebijakan itu bertentangan dengan keputusan Kejaksaan Agung yang dikeluarkan pada 30 Juni lalu. Isinya, ”Biaya pendidikan prajabatan untuk tahun 2010 sepenuhnya ditanggung Kejaksaan Agung.” Surat itu ditujukan ke kejaksaan tinggi se-Indonesia dan diteruskan ke kejaksaan negeri masing-masing.
Seorang anggota staf pembinaan kejaksaan negeri mengatakan pungutan itu telah lazim di lingkungan kejaksaan Sumatera Barat. Tahun lalu pungutan liar serupa terjadi pada calon pegawai, jumlahnya sama, Rp 2,2 juta. Meski berdalih dikembalikan, ternyata—setelah saya telusuri—pungutan tersebut hanya dikembalikan Rp 600 ribu.
Jika dibiarkan, pungutan liar ini akan merugikan 87 calon pegawai seperti saya. Saya yang pernah bekerja di lembaga swadaya masyarakat antikorupsi merasa kebijakan ini harus dilawan. Kebijakan semacam ini menunjukkan institusi kejaksaan belum mereformasi diri. Semakin ke dalam semakin karut-marut.
NAMA DAN ALAMAT DIKETAHUI REDAKSI
Ustad-ustad Kapitalis
SAAT ini beberapa stasiun televisi swasta dan TVRI marak menayangkan iklan siaran para ustad. Mereka mengklaim mampu mengobati melalui ”rukiah”, baik dengan menggunakan tenaga dalam (prana) maupun jamu dan obat herbal. Mereka membumbui pengobatan dengan membaca zikir dan doa-doa tertentu.
Anehnya, mereka menetapkan tarif jutaan kepada mereka yang hendak berobat. Bahkan salah satu ustad menetapkan tarif Rp 5 juta untuk sekali berobat. Apa maksud mereka menetapkan tarif gila-gilaan? Padahal zikir yang digunakan adalah milik Allah SWT. Yang akan berobat ke mereka pun sebetulnya adalah korban iklan televisi.
Saya yakin, mereka belum tentu bisa menyembuhkan penyakit. Ini ironis karena di tayangan televisi, ustad tersebut terlihat seperti orang yang ikhlas. Padahal faktanya mereka benar-benar kapitalis. Mereka buta karena yang ingin berobat pun ada orang yang tidak mampu. Apakah mereka membayar pajak untuk penghasilan yang mereka terima itu?
MOHAMAD
Jalan Kebon Pala I Nomor 79b,
Tanah Abang, Jakarta Pusat
Telepon 087880030070
Pemerintah Wajib Jamin Korban Ledakan Gas
SATU kebijakan pemerintah yang berhasil menghemat anggaran subsidi bahan bakar adalah konversi dari minyak tanah ke elpiji. Meski demikian, kebijakan itu jangan dilihat dari aspek politis, ekonomi, dan komersial semata. Lebih jauh harus melihat pula latar belakang sosial masyarakat terbawah. Karena itu, harus pula disiapkan program pendidikan massal konsumen menyangkut tata cara pemakaian elpiji yang aman dan benar.
Kita tahu, kebijakan ini belum sepenuhnya memikirkan segi teknis, kualitas, keselamatan, pendidikan, ataupun aspek psikologis masyarakat yang tidak bisa diabaikan. Instansi pemerintah terkait, termasuk Pertamina, tampak kurang berhasil melakukan pendidikan konsumen. Mereka justru abai dalam aspek pengawasan peredaran mutu komponen tabung, regulator, selang, dan kompor elpiji.
Kini hampir setiap hari ada rakyat kecil menjadi korban ledakan gas. Siapa yang harus bertanggung jawab? Siapa yang harus menanggung biaya korban? Lantas bagaimana seharusnya masalah ini ditanggulangi?
Saya kira sudah sepatutnya pemerintah membuat pos anggaran asuransi untuk menjamin pembiayaan para korban le-dakan gas. Asuransi ini mencakup asuransi kebakaran rumah atau bangunan, jaminan perawatan kesehatan, bahkan kematian. Jika ini terealisasi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat benar-benar memiliki kebijakan riil prorakyat.
RETNO SAWITRI
Jalan Nanas 22, Bandung
retno [email protected]
Komplain Kartu Kredit Bank Danamon
PADA awal Juli 2008, saya mendapat penawaran kartu kredit bundling kredit Instakas berjangka dua tahun dari Bank Danamon. Karena merasa tertarik, pada 7 Juli 2008 melalui Ibu Maya, tawaran saya terima. Sejak itu saya selalu melunasi tagihan dan tak pernah bermasalah.
Setahun kemudian, saya ingin menutup kartu kredit bernomor 4567xxxxxxxx9006 itu karena jarang dipakai. Saya menghubungi bank dan menanyakan nomor rekening Instakas agar saya tetap bisa membayar cicilan Instakas. Singkat cerita, dengan banyak usaha, harus ke sana-kemari, kartu tersebut bisa ditutup pada 14 September 2009 melalui Ibu Tiwi.
Saat itu saya juga membayarkan tagihan kartu kredit serta tagihan Instakas bulan berikutnya agar tidak didebit oleh kartu kredit. Konfirmasi pembayaran saya terima via Ibu Anjar pada 18 September 2009. Dengan demikian, kartu kredit itu resmi ditutup, sedangkan pelunasan cicilan Instakas tetap rutin saya lakukan setiap bulan, tanggal 21-22 hingga lunas pada Juni 2010.
Tiba-tiba pada Agustus 2010 saya dikejutkan oleh telepon dari Irfan, yang mengaku dari Bank Danamon. Dengan cara bicara bak preman jalanan, dia mengklaim bahwa saya belum melakukan pembayaran.
Saya lantas menghubungi layanan konsumen bank pada 3 Agustus 2010. Dari Ibu Diah dijelaskan bahwa pada Mei 2010, bank belum menerima pembayaran cicilan, sehingga dibebankan ke kartu kredit Bank Danamon pada 24 Mei 2010.
Yang sangat saya herankan, mengapa kartu kredit yang telah ditutup dan tidak aktif selama delapan bulan lebih masih bisa melakukan aktivitas. Sehari setelah membayar cicilan Instakas saya pada 25 Mei 2010, ternyata pembayaran saya masuk dan diterima oleh Bank Danamon.
Hal ini tidak diberitahukan kepada saya, sehingga saya punya tagihan kartu kredit yang sudah mati hingga berbunga dan didenda hingga tiga bulan. Sedangkan di rekening Instakas saya ada kelebihan pembayaran. Celakanya lagi, sistem Bank Danamon pun ternyata amburadul, sehingga untuk menyelesaikan keruwetan ini, sayalah yang harus membuat surat penjelasan lengkap dengan fotokopi KTP dan sebagainya. Saya kira pengalaman ini bukan yang pertama. Saya imbau kepada nasabah lain agar berhati-hati dengan Bank Danamon.
HENRY AGUS SUHARTONO
Ex cardholder 4567xxxxxxxx9006
Tanggapan Bank Danamon
SEHUBUNGAN dengan surat pembaca Tempo yang dikirimkan Bapak Henry Agus Suhartono, kami sampaikan bahwa kami telah menghubungi Bapak Henry secara langsung untuk mengklarifikasi keluhannya. Bapak Henry dapat menerima penjelasan yang kami berikan. Terima kasih.
RITA ROMPAS
Customer Service Management Head
Danamon Card Center
PT Bank Danamon Indonesia Tbk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo