Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Mengenai Tanah Papua
SAYA perlu menanggapi surat Yonas G. pada majalah Tempo edisi 7-13 Desember 2009 dengan judul ”Tanah Papua Lebih Baik”. Pertama, warga asli Papua yang melarikan diri ke luar negeri, seperti Papua Nugini dan Australia, yang sekarang kembali, berstatus sebagai pengungsi. Mereka terpaksa meninggalkan Papua karena alasan keamanan. Saat itu Papua dijadikan Daerah Operasi Militer. Jadi, bukan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Kedua, benar bahwa tanah Papua lebih baik. Dan ini tidak hanya bagi penduduk asli, tapi juga untuk semua warga Indonesia karena kekayaan alam pulau ini berlimpah. Namun Bung Yonas perlu tahu bahwa masyarakat Papua makin miskin karena terimpit dan tersisih sehingga tak mampu bersaing dengan para pendatang.
Pdt. Martin Luther Wanma
Desa Sowi, Manokwari Selatan Papua Barat
Jangan Dikte Peradilan Indonesia
PENGADILAN Tinggi Yogyakarta membebaskan pilot Garuda, Marwoto Komar, yang mengalami kecelakaan di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 7 Maret 2007. Majelis hakim menilai unsur dakwaan terhadap Marwoto tidak terpenuhi dan penerapan hukum terhadap Marwoto salah.
Mantan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer mengaku kecewa dan terkejut. Alasannya, pilot yang menewaskan 21 penumpang, termasuk beberapa wartawan Australia, itu tidak dihukum.
Pejabat Australia sering mengkritik proses peradilan Indonesia. Terkadang mereka juga mengintervensi. Biasanya ini dilakukan untuk menyelamatkan warga negaranya yang tersangkut hukum di Indonesia. Contohnya kasus narkoba yang dilakukan sembilan warga Australia (Bali Nine): penyelundupan 8,2 kilogram heroin di Bali. Tiga orang dijatuhi hukuman mati. Lalu pejabat Australia mendesak agar hukuman mati dihapuskan. Seharusnya pejabat Australia menghormati sistem hukum Indonesia. Mereka boleh mengkritik, tapi tidak bisa mendikte, apalagi mengintervensi. Sebagai bangsa yang berdaulat, kita berhak menentukan sendiri urusan kita.
Ferdiansyah Putra
Kota Kembang Permai 42
Depok, Jawa Barat
Pengaderan Presiden dan Menteri
MEMBUAT sebuah keputusan (eksekutif) sangat bergantung pada bobot pengalaman eksekutif seseorang. Juga pada seberapa besar tingkat kebenaran informasi yang diberikan pendahulunya.
Presiden dan sebagian menteri baru belajar setelah menjabat. Bila jabatan itu hasil penunjukan, biasanya pertimbangan yang digunakan adalah aspek politiknya, bukan profesionalisme. Akibatnya, kebanyakan lebih mementingkan partai mereka. Alangkah baiknya pengaderan presiden melalui jabatan gubernur, sedangkan menteri melalui jalur direktur, sekretaris jenderal, atau profesional direktorat terkait.
Lie Gan Yong
Rawamangun, Pulogadung
Jakarta Timur
Indonesia Negara Agraria?
MASIH layakkah Indonesia disebut sebagai negara agraris? Setelah Soeharto lengser dan empat presiden silih berganti, tidak pernah terdengar ada pembangunan bendungan atau dam baru. Juga tak ada pembukaan lahan baru untuk pertanian.
Padahal, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, kita sangat memerlukan persediaan pangan. Dan problem pangan akan teratasi bila Indonesia benar-benar menjadi negara agraris.
Tapi arah ke sana tampaknya akan sulit. Lahan pertanian di Pulau Jawa terus menyusut karena digunakan untuk industri, perumahan, dan sarana yang tak ada hubungannya dengan pertanian. Padahal hampir seluruh tanah pertanian di Jawa sangatlah subur. Adapun program sejuta hektare lahan pertanian di Sumatera dan Kalimantan sudah lama kandas.
Bila ingin menjadi bangsa cerdas, kebutuhan pangan harus tercukupi. Maka kita perlu membuka bendungan, lahan, dan sarana pertanian baru.
Samesto Nitisastro
Pesona Khayangan, Margonda Depok
Tak Butuh Badut Politik
SIAPA sebenarnya dalang kisruhnya persoalan yang melilit Bank Century? Setiap saat rakyat dipaksa membaca, mendengar, dan menonton pertengkaran para politikus dalam hak angket Bank Century.
Penanganan kasus tersebut sudah mengarah pada mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, yang kini menduduki kursi wakil presiden, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dalam hemat saya, mereka justru memberikan solusi kepada negeri ini sehingga Indonesia keluar dari krisis finansial global. Dunia internasional juga mengakui dua teknokrat itu memiliki kemampuan menata perekonomian.
Tapi, begitulah kacamata politik, yang hitam bisa menjadi putih, yang putih menjadi abu-abu. Begitu banyak badut politik yang tak memiliki kemampuan memimpin tapi terus ber-akrobat.
Saya masih ingat wajah Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu: begitu banyak anggota Dewan tersangkut korupsi dan tindakan asusila. Maka rakyat harus benar-benar memelototi setiap gerak anggota Dewan sehingga mereka tidak sekadar menjadi wakil partai dan golongan mereka, melainkan benar-benar wakil rakyat.
Nining Suprapto
Perdatam, Pancoran
Jakarta Selatan
Tanggul Penahan Banjir
HUJAN mulai sering mengguyur Jakarta. Dan seperti tahun-tahun lalu, air menggenang di mana-mana. Di daerah aliran sungai, air kerap meluap. Tak sedikit kawasan permukiman kebanjiran. Sejumlah perumahan elite tak luput dari terjangan banjir.
Untuk menahan air agar tetap di sungai, beberapa rukun warga membuat tanggul sepanjang sungai, misalnya warga kompleks Kelapa Gading, Pegangsaan Dua, Jakarta Utara. Mereka membangun tanggul setinggi satu setengah meter sepanjang tiga kilometer.
Dana pembangunan yang menelan biaya Rp 1,6 miliar itu ternyata hasil iuran warga. Sumbangan sekitar 1.800 penduduk bervariasi dari Rp 1 juta hingga Rp 1,3 juta. Akhirnya, bukan hanya tanggul yang bisa dibangun, tapi juga dua pintu air berikut pompa air. Hal yang sama dilakukan warga Pluit, Penjaringan.
Kita salut atas kesadaran warga menekan dampak banjir. Saya kira hal ini perlu dicontoh. Dan pemerintah selayaknya malu. Lembaga negara yang mempunyai duit triliunan rupiah hasil pajak rakyat sering telat membangun sarana infrastruktur. Bila dikerjakan pun, acap kali amburadul dan anggarannya dikorupsi. Semoga mata para pejabat terbuka oleh tindakan warga yang patut diteladanikan.
Asep Hartono
Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Kasus Century Membingungkan
KASUS Bank Century begitu menyita perhatian publik. Sikap pro-kontra bermunculan. Pihak yang bersilang pendapat dengan sengit saling serang secara terbuka di media massa. Semuanya, tentu saja, mengatasnamakan rakyat.
Akibatnya, rakyat bingung melihat para elite politik selalu ribut dalam menyelesaikan kasus ini. Padahal masyarakat berharap para elite ini lebih dingin dan jernih dalam melihat permasalahan. Sebaiknya mereka tidak mudah terpancing provokasi.
Selesaikanlah kasus Century dengan cara terbaik. Berdebat di ruang Dewan Perwakilan Rakyat sepertinya lebih terhormat daripada saling serang di ruang publik. Masalah bisa diselesaikan dengan tenang dan para elite politik tidak terkesan cari popularitas.
Satya
Jalan Heulang Tanah Sareal
Bogor, Jawa Barat
Reformasi Belum Sesuai Harapan
REFORMASI di Indonesia telah berjalan sebelas tahun. Namun apa yang menjadi tujuan reformasi masih jauh dari harapan. Awalnya bertujuan mengadakan perubahan fundamental, reformasi kini justru kian banyak melenceng. Memang ada beberapa yang dapat dipetik, di antaranya kembalinya TNI pada tugas pokoknya, reformasi birokrasi, serta gerakan pemberantasan korupsi kian gencar dan transparan.
Sebagai anggota masyarakat, saya mengharapkan reformasi membawa perubahan lebih baik. Namun, bila dikaitkan dengan kondisi saat ini, ketika urusan pemerintah kian kompleks, seluruh persoalan masyarakat seakan tak teratasi, mulai harga kebutuhan pokok yang menanjak, pengangguran, ancaman terorisme, korupsi, hingga kemiskinan.
Saat ini masyarakat cenderung menyikapi persoalan dengan penyelesaian kontraproduktif. Hasilnya pun tidak lebih dari sekadar pelampiasan amarah. Bila pola-pola pemikiran seperti ini terus berkembang, bangsa kita akan makin sulit maju.
Siti Umiyati
Jalan Raya Wangun, Tajur Ciawi Bogor , Jawa Barat
Politik Skandal Century
Beberapa hari lalu saya kaget luar biasa, karena ternyata gencarnya pemberitaan kasus Bank Century sampai merasuki benak anak kecil. Seorang anak kelas V sekolah dasar bertanya: mengapa banyak orang unjuk rasa soal Bank Century?
Tak mudah menjawabnya. Saya jelaskan begini: banyak orang unjuk rasa di berbagai kota itu bukan berarti benar. Mereka belum tentu mengerti duduk persoalan, termasuk DPR.
Banyak pernyataan anggota DPR bermuatan politik, tapi tak proporsional, tentang skandal Bank Century. Dapat diduga, tujuannya adalah citra diri dan partai politiknya. Saya tak yakin politikus Senayan jernih berpikir saat merespons kasus Bank Century. Mereka sudah terjebak di dataran perdebatan yang melibatkan retorika politik belaka.
Saya ragu mereka paham penjelasan BI atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Jangan heran kalau pernyataan mereka sepotong-sepotong, agak kasar, dan belum tentu masuk akal.
Beberapa hari atau pekan ke depan, mari kita saksikan dan cermati pernyataan mereka melalui media massa. Saya berani bertaruh mereka masih menggebu dengan retorika politik. Lumayan sebagai hiburan segar setelah seharian bekerja.
Zaenal Wafa
Kompleks Pura Bojong Gede
Tajur Halang, Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo