Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggapan Mengenai Tanah Papua

SAYA perlu menanggapi surat Yonas G. pada majalah Tempo edisi 7-13 Desember 2009 dengan judul ”Tanah Pa­pua Lebih Baik”. Pertama, warga asli Papua yang melarikan diri ke luar nege­ri, seperti Papua Nugini dan Australia, yang sekarang kembali, berstatus sebagai pengungsi. Mereka terpaksa meninggalkan Papua karena alasan keamanan. Saat itu Papua dijadikan Daerah Operasi Militer. Jadi, bukan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Kedua, benar bahwa tanah Papua lebih baik. Dan ini tidak hanya bagi penduduk asli, tapi juga untuk semua warga Indonesia karena kekayaan alam pulau ini berlimpah. Namun Bung Yonas perlu tahu bahwa masyarakat Pa­pua makin miskin karena terimpit dan tersisih sehingga tak mampu bersaing dengan para pendatang.

Pdt. Martin Luther Wanma
Desa Sowi, Manokwari Selatan Papua Barat


Jangan Dikte Peradilan Indonesia

PENGADILAN Tinggi Yogyakarta membebaskan pilot Garuda, Marwoto Komar, yang mengalami kecelakaan di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 7 Maret 2007. Majelis hakim menilai unsur dakwaan terhadap Marwoto tidak terpenuhi dan penerapan hukum terhadap Marwoto salah.

Mantan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer mengaku kecewa dan terkejut. Alasannya, pilot yang menewaskan 21 penumpang, termasuk beberapa wartawan Australia, itu tidak dihukum.

Pejabat Australia sering mengkritik­ proses peradilan Indonesia. Terka­dang­ mereka juga mengintervensi. Bia­sanya­ ini dilakukan untuk menye­la­matkan warga negaranya yang tersangkut hukum di Indonesia. Contoh­nya kasus narkoba yang dilakukan sem­bilan warga Australia (Bali Nine): penyelundupan 8,2 kilogram heroin di Bali. Tiga orang dijatuhi hukuman mati. Lalu pejabat Australia mendesak agar hukuman mati dihapuskan. Seharusnya pejabat Australia menghormati sistem hukum Indonesia. Me­reka boleh mengkritik, tapi tidak bisa mendikte, apalagi mengintervensi. Sebagai bangsa yang berdaulat, kita berhak menentukan sendiri urusan kita.

Ferdiansyah Putra
Kota Kembang Permai 42
Depok, Jawa Barat


Pengaderan Presiden dan Menteri

MEMBUAT sebuah keputusan (eksekutif) sangat bergantung pada bobot pe­ngalaman eksekutif seseorang. Juga pa­da seberapa besar tingkat kebenaran in­­­formasi yang diberikan pendahulu­nya.

Presiden dan sebagian menteri baru belajar setelah menjabat. Bila jabatan itu hasil penunjukan, biasanya pertimbangan yang digunakan adalah aspek politiknya, bukan profesionalisme. Akibatnya, kebanyakan lebih­ mementingkan partai mereka. Alangkah baiknya pengaderan presiden melalui jabatan gubernur, sedangkan menteri melalui jalur direktur, sekretaris jende­ral, atau profesional direktorat terkait.

Lie Gan Yong
Rawamangun, Pulogadung
Jakarta Timur


Indonesia Negara Agraria?

MASIH layakkah Indonesia disebut sebagai negara agraris? Setelah Soeharto lengser dan empat presiden silih berganti, tidak pernah terdengar ada pembangunan bendungan atau dam baru. Juga tak ada pembukaan lahan baru untuk pertanian.

Padahal, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, kita sangat memerlukan persedia­an pangan. Dan problem pangan akan teratasi bila Indonesia benar-benar menjadi negara agraris.

Tapi arah ke sana tampaknya akan sulit. Lahan pertanian di Pulau Jawa terus menyusut karena digunakan untuk industri, perumahan, dan sarana yang tak ada hubungannya dengan pertanian. Padahal hampir seluruh tanah pertanian di Jawa sangatlah subur. Adapun program sejuta hektare lahan pertanian di Sumatera dan Kalimantan sudah lama kandas.

Bila ingin menjadi bangsa cerdas, kebutuhan pangan harus tercukupi. Maka kita perlu membuka bendungan, lahan, dan sarana pertanian baru.

Samesto Nitisastro
Pesona Khayangan, Margonda Depok


Tak Butuh Badut Politik

SIAPA sebenarnya dalang kisruhnya persoalan yang melilit Bank Century? Setiap saat rakyat dipaksa membaca, mendengar, dan menonton pertengkaran para politikus dalam hak angket Bank Century.

Penanganan kasus tersebut sudah mengarah pada mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, yang kini mendu­duki kursi wakil presiden, serta Mente­ri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dalam hemat saya, mereka justru memberikan solusi kepada negeri ini sehingga Indonesia keluar dari krisis finansial global. Dunia internasional juga meng­akui dua teknokrat itu memiliki kemampuan menata perekonomian.

Tapi, begitulah kacamata politik, yang hitam bisa menjadi putih, yang putih menjadi abu-abu. Begitu banyak badut politik yang tak memiliki kemampuan memimpin tapi terus ber­-akro­bat.

Saya masih ingat wajah Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu: begitu­ ba­nyak anggota Dewan tersangkut korupsi dan tindakan asusila. Maka rak­yat harus benar-benar memelototi seti­ap gerak anggota Dewan sehingga mereka tidak sekadar menjadi wakil partai dan golongan mereka, melainkan benar-benar wakil rakyat.

Nining Suprapto
Perdatam, Pancoran
Jakarta Selatan


Tanggul Penahan Banjir

HUJAN mulai sering mengguyur Jakarta. Dan seperti tahun-tahun lalu, air menggenang di mana-mana. Di daerah aliran sungai, air kerap meluap. Tak sedikit kawasan permukiman kebanjiran. Sejumlah perumahan elite tak luput dari terjangan banjir.

Untuk menahan air agar tetap di su­ngai, beberapa rukun warga membuat tang­gul sepanjang sungai, misalnya ­war­­ga kompleks Kelapa Gading, Pe­gangsa­an Dua, Jakarta Utara. Mere­ka membangun tanggul setinggi satu se­tengah meter sepanjang tiga kilometer.

Dana pembangunan yang menelan biaya Rp 1,6 miliar itu ternyata hasil iuran warga. Sumbangan sekitar 1.800 penduduk bervariasi dari Rp 1 juta hingga Rp 1,3 juta. Akhirnya, bukan hanya tanggul yang bisa dibangun, tapi juga dua pintu air berikut pompa air. Hal yang sama dilakukan warga Pluit, Penjaringan.

Kita salut atas kesadaran warga menekan dampak banjir. Saya kira hal ini perlu dicontoh. Dan pemerintah selayaknya malu. Lembaga negara yang mempunyai duit triliunan rupiah hasil pajak rakyat sering telat membangun sarana infrastruktur. Bila dikerjakan pun, acap kali amburadul dan anggar­annya dikorupsi. Semoga mata para pejabat terbuka oleh tindakan warga yang patut diteladanikan.

Asep Hartono
Lebak Bulus, Jakarta Selatan

Kasus Century Membingungkan

KASUS Bank Century begitu menyi­ta perhatian publik. Sikap pro-kontra­ bermunculan. Pihak yang bersilang­ ­pen­­dapat dengan sengit saling serang­ secara terbuka di media massa. Se­mua­nya, tentu saja, mengatasnamakan rak­yat.

Akibatnya, rakyat bingung melihat­ para elite politik selalu ribut dalam menyelesaikan kasus ini. Padahal masyarakat berharap para elite ini lebih dingin dan jernih dalam melihat permasalahan. Sebaiknya mereka tidak mudah terpancing provokasi.

Selesaikanlah kasus Century dengan cara terbaik. Berdebat di ruang Dewan Perwakilan Rakyat sepertinya lebih terhormat daripada saling serang di ruang publik. Masalah bisa diselesaikan dengan tenang dan para elite politik tidak terkesan cari popularitas.

Satya
Jalan Heulang Tanah Sareal
Bogor, Jawa Barat


Reformasi Belum Sesuai Harapan

REFORMASI di Indonesia telah berjalan sebelas tahun. Namun apa yang menjadi tujuan reformasi masih jauh dari harapan. Awalnya bertujuan ­meng­adakan perubahan fundamental, reformasi kini justru kian banyak melenceng. Memang ada beberapa yang dapat dipetik, di antaranya kembalinya TNI pada tugas pokoknya, reformasi birokrasi, serta gerakan pemberantasan korupsi kian gencar dan transparan.

Sebagai anggota masyarakat, saya mengharapkan reformasi membawa per­­ubahan lebih baik. Namun, bila dikait­kan dengan kondisi saat ini, ketika urus­­an pemerintah kian kompleks, selu­ruh persoalan masyarakat seakan tak ter­atasi,­ mulai harga kebutuhan pokok yang menanjak, pengangguran, ancam­an­ te­rorisme, korupsi, hingga kemiskinan­.

Saat ini masyarakat cenderung menyikapi persoalan dengan penyelesaian kontraproduktif. Hasilnya pun tidak lebih dari sekadar pelampiasan amarah. Bila pola-pola pemikiran seperti ini terus berkembang, bangsa kita akan makin sulit maju.

Siti Umiyati
Jalan Raya Wangun, Tajur Ciawi Bogor , Jawa Barat


Politik Skandal Century

Beberapa hari lalu saya kaget luar biasa, karena ternyata gencarnya pemberitaan kasus Bank Century sampai merasuki benak anak kecil. Seorang anak kelas V sekolah dasar bertanya: mengapa banyak orang unjuk rasa soal Bank Century?

Tak mudah menjawabnya. Saya jelaskan begini: banyak orang unjuk rasa di berbagai kota itu bukan berarti benar. Mereka belum tentu mengerti duduk persoalan, termasuk DPR.

Banyak pernyataan anggota DPR bermuatan politik, tapi tak proporsional, tentang skandal Bank Century. Dapat diduga, tujuannya adalah citra diri dan partai politiknya. Saya tak yakin politikus Senayan jernih berpikir saat me­respons kasus Bank Century. Mereka sudah terjebak di dataran perdebatan yang melibatkan retorika politik belaka.

Saya ragu mereka paham penjelasan BI atau Komite Stabilitas Sistem Ke­uang­an. Jangan heran kalau pernyataan mereka sepotong-sepotong, agak kasar, dan belum tentu masuk akal.

Beberapa hari atau pekan ke depan, mari kita saksikan dan cermati pernya­taan mereka melalui media massa. Saya berani bertaruh mereka masih menggebu dengan retorika politik. Lumayan sebagai hiburan segar setelah seharian bekerja.

Zaenal Wafa
Kompleks Pura Bojong Gede
Tajur Halang, Bogor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus