Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Kolom Wilson Sitorus
SAYA agak tergelitik membaca kolom Wilson Sitorus berjudul ”Belajar dari Empat Mata” (Tempo 14 Desember 2008) yang menyertakan pendapat Neil Postman dalam buku Amusing Ourselves to Death.
Memang benar televisi tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran pengkhotbah dalam menyuarakan moral, karena memang tidak mungkin. Persoalannya adalah industri televisi adalah industri opini.
Ada yang mungkin sedikit terlupakan dari buku itu, yakni Postman juga menyatakan bahwa, sebagai alat pembawa pesan, televisi juga membelokkan informasi. Televisi mengemas sebuah isu publik yang serius menjadi sesuatu yang menghibur. Akibatnya, masyarakat dapat kehilangan konteks dalam membaca sebuah isu yang sebenarnya serius.
Kini coba lihat kembali bagaimana Tukul menggambarkan Sumanto di acara Empat Mata yang dihentikan Komisi Penyiaran Indonesia. Sumanto sudah jelas-jelas dihukum pengadilan karena dia telah melanggar norma kemanusiaan. Lalu di Trans 7 ada adegan makan ikan dan kodok hidup-hidup hingga mulutnya dipenuhi darah. Menurut saya, ini abnormal meskipun dikemas menghibur.
Persoalannya, pertama, stasiun Trans 7 merupakan televisi terrestrial free to air. Tanpa dibayar pun dia bisa masuk ke ruang tamu kita. Kedua, stasiun ini menggunakan frekuensi milik publik yang bersifat terbatas. Trans 7 meminjam kanal dari publik di setiap daerah yang seharusnya bisa saja diberikan ke televisi lain yang sanggup menyajikan program yang lebih baik. Ketiga, Trans 7 bersiaran secara nasional dan seharusnya lebih sensitif terhadap isi siarannya.
Kasusnya akan sedikit berbeda jika Empat Mata ditayangkan di televisi berbayar atau televisi lokal seperti O’Channel. KPI mungkin tidak akan menjatuhkan sanksi penghentian karena penontonnya sudah memilih membayar siaran televisi itu atau penontonnya lebih terbatas.
Jadi, kalau kemudian KPI dibilang sebagai ”pemadam kebakaran”, memang benar. Tapi, ini karena KPI memang bukan tukang sensor yang menggunting tayangan sebelum disiarkan. Tentulah semuanya dilakukan dengan santun.
SOFYAN HERBOWO
Manajer Program Pemantauan Langsung KPI Pusat
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Pendidikan Antikorupsi Sejak Dini
KANTIN kejujuran di sekolah-sekolah boleh jadi berkesan simbolis, tapi kita mempercayai muatan sifat edukasinya. Kita menyadari, eksistensinya mungkin terlalu kecil di tengah gelombang budaya korupsi dan erosi kejujuran yang mendera bangsa ini. Namun, jalan pikiran itu mesti dibalik, kalau kelak sekolah-sekolah di seluruh Indonesia membudayakan gerakan yang sama, bukankah manfaat besarnya akan sama-sama kita rasakan?
Teknisnya, tiap pembeli boleh mengambil barang apa pun di kantin tersebut, membayarnya, dan mengambil sendiri uang kembaliannya. Maka ukuran sukses atau tidaknya tujuan kantin tersebut akan terlihat dari neraca keuangannya, apakah secara bisnis bisa berjalan terus atau bangkrut.
Jika rakyat tidak jujur, negara akan hancur. Analogi itu tergambar pada kantin kejujuran. Jika pembeli tidak jujur, kantin hancur. Demikian pula negara. Kekayaan dalam bangunan sebuah negara akan habis jika ketidakjujuran yang me-rupakan basis sikap korup telah merajalela.
Bermacam jalan telah ditempuh untuk membangun kejujuran yang bertaut dengan menebar budaya malu. Kantin kejujuran merupakan ungkapan perlawanan terhadap korupsi secara edukatif. Dan, disadari atau tidak, itulah sumbangsih para remaja untuk menyelamatkan Indonesia.
ROSI SUGIARTO
Pondok TK Al-Firdaus, BSB Jatisri
Mijen, Semarang
Sekolah Antikorupsi
INDONESIA menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Nasional, setahun setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa meratifikasi konvensi antikorupsi di Merida, Meksiko, 9 Desember 2003. Peringatan kala itu ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Mengambil momentum peringatan Hari Antikorupsi tahun ini, Kejaksaan Agung dan Departemen Pendidikan Nasional membuka sekolah antikorupsi ”Pangeran Diponegoro” di SMAN 3 Setiabudi, Jakarta Selatan. Inilah sekolah yang ditujukan untuk membina moral antikorupsi sejak dini. Di sekolah itu akan diterapkan kurikulum yang mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Langkah itu jelas merupakan terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi sejak dini. Alangkah eloknya jika pembinaan budaya antikorupsi sejak dini di bangku sekolah itu dijadikan gerakan nasional.
GERRY SETIAWAN
[email protected]
Condet, Jakarta
The Real Diplomat itu Telah Berpulang
INDONESIA kembali kehilangan putra terbaiknya, Ali Alatas, diplomat yang terkenal andal di forum internasional. Tidak hanya bangsa Indonesia yang merasa kehilangan atas wafatnya Ali Alatas, dunia pun ikut merasa kehilangan yang sama. Ali Alatas merupakan tokoh yang mendedikasikan hidupnya tidak hanya bagi bangsa Indonesia, tapi juga untuk dunia. Profesinya sebagai diplomat senior menempatkan almarhum sebagai juru bicara negara berkembang dalam membangun era baru dunia.
Ali Alatas patut diteladani para diplomat muda Indonesia. Kemampuan diplomasinya tidak diragukan lagi. Dalam berbagai momen penting di kancah dunia, ia tampil gemilang memposisikan Indonesia sebagai negara yang dihormati.
Selamat jalan, The Real Diplomat.
MILA
Kukusan 22, Beji, Depok, Jawa Barat
Papua Bagian Indonesia
PAPUA tak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri dari aneka suku bangsa. Papua adalah bagian sah dari Indonesia Raya sejak integrasi 1 Mei 1963. Jadi, deklarasi ras Melanesia adalah bangsa Papua Barat yang dibacakan Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua, Thaha Alhamid, pada 1 Desember (yang disebut-sebut sebagai Hari Kemerdekaan Papua Barat) di Sentani, Kabupaten Jayapura, Senin 1 Desember 2008, adalah provokatif dan tidak berdasar.
Ras Melanesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia, karena bukan hanya masyarakat Papua yang memiliki ras Melanesia. Ras ini pun ada di daerah Indonesia lainnya seperti Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Mereka hidup rukun dan damai bersama saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air Indonesia, yang berideologikan Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bagian lain deklarasi itu, yang mengatakan Papua tanah darurat, juga merupakan kebohongan. Sampai saat ini status Tanah Papua adalah tertib sipil dan tanah damai.
THEODORUS BITBIT
Bogor, Jawa Barat
Pilih Figur, Bukan Fulus
PESTA demokrasi yang akan digelar pada 9 April 2009 tentu menelan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya penyelenggara pemilu, tapi peserta pemilu, partai politik, dan calon anggota legislatif harus mengeluarkan fulus.
Seberapa besar sumbangan yang dapat diterima oleh caleg? Tidak ada aturan terkait hal itu. Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, kegiatan kampanye pemilu didanai dan menjadi tanggung jawab partai peserta pemilu. Ditegaskan pula, dana kampanye pemilu bersumber dari partai, calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai yang bersangkutan dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
Agar pesta lebih hemat, sudah saatnya dibangun paradigma baru bahwa calon anggota legislatif merebut perhatian masyarakat bukan dengan cara membagikan uang atau sembilan bahan pokok.
Kalau sudah membagi-bagikan uang, ketika terpilih nanti calon itu akan berpikir untuk mendapatkan uang pengganti yang sudah mereka keluarkan. Hasilnya, ya, korupsi.
JUSUF SANI
Bogor, Jawa Barat
Pembetonan Jalan Bikin Macet
Saya adalah warga Bekasi yang bekerja di Jakarta. Beberapa waktu ini, saya pusing dengan kemacetan saat berangkat dan pulang kerja, terutama di Jalan Otista, Cawang.
Pekerjaan perbaikan jalan—tepatnya menambal jalan—dengan cara betonisasi telah memperparah kemacetan. Jalur tersebut, terutama di bawah Jembatan Cawang, adalah jalur sibuk setiap pagi dan sore hari. Pembetonan yang dikerjakan dengan mengeruk jalan dan membiarkannya berlubang itu membuat jalur jalan makin sempit.
Saya paham betonisasi itu perlu. Tapi tidak adakah cara yang tidak memperparah kemacetan di Jakarta ini?
Arif A. Kuswardono
Bekasi
[email protected]
Wakaf Buku Islam
KAMI bermaksud mewakafkan buku dan majalah Islam kepada pondok pesantren dan universitas Islam yang membutuhkan, yang berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tujuan kami adalah dalam rangka menumbuhkan pemahaman Islam yang komprehensif, memperkuat akidah, dan menanamkan paradigma berpikir Islami kepada umat Islam. Pondok pesantren dan universitas Islam yang membutuhkan dapat menghubungi kami pada alamat pengirim di bawah ini.
ARDI KAMALUDDIN
Jalan Lontar No. 12, RT 03/RW 15
Kelurahan Menteng Atas,
Setiabudi, Jakarta 12960
Bus Transjakarta Tak Nyaman
Sebagai pengguna setia bus Transjakarta, saya merasa moda transportasi publik ini semakin tidak nyaman saja. Padahal operasionalisasi Transjakarta sudah berjalan lima tahun, tapi tampaknya tidak ada peningkatan pelayanan. Misalnya kondisi halte yang rusak dan tidak segera diperbaiki. Sejumlah atap jembatan jebol, seperti yang terlihat di halte Senen. Padahal saat ini sudah musim hujan. Di halte Glodok, lantai yang rusak hanya diganti dengan papan tripleks.
Selain itu, penumpang terpaksa berdesak-desakan, baik saat menunggu, masuk, maupun di dalam bus. Jumlah bus yang tersedia tidak seimbang dengan banyaknya pengguna. Kurangnya jumlah bus juga mengakibatkan penumpang lama menunggu.
Saya berharap, setelah berjalan lima tahun, ada perbaikan signifikan yang dilakukan pengelola Transjakarta.
Muhamad Iqbal
Kebon Sirih
Ralat
Dalam Majalah Tempo edisi 8-14 Desember 2008, pada halaman 39, tertulis kalimat ”Sekitar seribu euro (Rp 150 juta) per orang per tahun...”. Seharusnya seribu euro setara dengan Rp 15 juta, bukan Rp 150 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo